Oleh: Aulia Adam
Judul : Metropolis
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Grasindo
Tehun Terbit : 2009
Harga : Rp 56.000
Tebal Buku : 332 Halaman
ISBN : 9789790257146
“Sebagian bukti datang terlambat, sebagian lainnya tidak muncul sama sekali.”
Dilatarbelakangi dendam, seseorang dari masa lalu tengah memburu kepala dan jantung tiap pemimpin mafia narkoba dalam Sindikat 12: sebuah julukan untuk jaringan bandar-bandar narkoba yang sudah menjerat Jakarta selama beberapa dekade. Tak ada yang menyadari hal ganjil ini hingga hanya tersisa empat orang yang tersisa dari 12.
Bram, seorang inspektur baru di Sat Reserse Narkotika Polda Metro Jaya, adalah salah satu yang mulai menyadari. Ia dan Erik, asistennya mulai menggali kasus ini dari bukti-bukti yang tercecer di permukaan, hingga ke akarnya. Investigasi itu membawa mereka berdua bertemu Miaa, seorang Polwan yang baru saja diberhentikan. Diam-diam Polwan itu juga mengejar kasus yang ditangani Bram demi tujuannya sendiri.
Di tengah konflik, Bram bertemu dengan Indira, seorang gadis yang kurang beruntung karena berada di tempat dan waktu yang salah. Begitu pula Miaa, yang malah mulai jatuh cinta dengan pembunuh berantai yang selama ini dikejarnya. Johan Al, otak dari semua pembunuhan berantai itu juga mulai jatuh hati pada sekutunya, Miaa. Namun keduanya tetap diam dalam strategi dan tujuan masing-masing.
Keempat orang ini digambarkan sebagai karakter berbeda-beda. Tapi tak ada baik melawan buruk. Tidak ada yang putih, dan tak ada yang hitam. Semuanya abu-abu, semua bisa dibenci sekaligus diberi empati.
Windry benar-benar bertaruh di buku keduanya ini. Ia melemparkan genre baru nan segar ke pasar buku Indonesia. Di tengah novel-novel teenlit,mainstream romantic serta struggle story yang menjamur di toko buku, Arsitek lepas ini justru berani dengan inovasi segarnya.
Metropolis menjadi bukti eksistensinya sebagai penulis baru yang cukup diperhitungkan. Sempat hadir dengan Orange, yang benar-benarmainstream, kali ini Windry mengemas tema kriminalitas yang jarang diangkat penulis dalam negeri menjadi novel metropop yang aduhai. Ia meberikan kesan yang sungguh berbeda dari novel sebelumnya. Walau juga mengandung sedikit unsure romansa, tapi tak terlalu banyak bunga yang ditabur Windry.
Pemilihan nama-nama unik yang memikat dan riset yang mendalam menambah kesan realistik yang diciptakan novel ini. Tentu saja selainsetting yang benar-benar dibuat senyata aslinya. Bahkan penambahansetting buatan seperti Metropolis, sebuah bar ala Italia yang direka Windry ikut terasa nyata.
Diksi segar dan penuturan khas membuat novel ini sulit ditolak. Kita akan penasaran dengan lembaran selanjutnya; dan itu terjadi secara terus-menerus hingga halaman terakhir. Windry pintar mengajak pembacanya ikut berpikir, tapi sekejap pun tidak membiarkan mereka tertinggal dalam kebinguangan.
Ia juga menyelipkan beberapa nama penyanyi lawas dalam cerita ini, menambahkan beberapa selera musiknya. Seperti Aretha, Frank Sinatrha, Elvis Presley. Bahkan simfoni gubahan Debussy.
Tapi Windry nampaknya lupa menonjolkan masa lalu Bram, si tokoh utama, sehingga subjudul ‘demi ayahku yang sudah mati’ menjadi kurang menggigit. Selebihnya, riset mendalam yang disulap jadi fiksi-aksi ini benar-benar harus masuk ke list wajib baca Anda.