Oleh Guster CP Sihombing
Judul Buku: Surat dari dan untuk Pemimpin
Penulis: Tim Buku Menjadi Indonesia Tempo Institute
Penerbit: PT TEMPO INTI MEDIA
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman : 411
“MENJADI INDONESIA adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai.” – Goenawan Mohamad
Kutipan itu ada di lembar pertama buku ini. Di surat yang ditulis Goenawan, ia paparkan bagaimana sebenarnya Menjadi Indonesia.
Ia bilang, Menjadi Indonesia juga berarti menjadi-Indonesia-bersama-orang-Indonesia-lain. Dalam artian, kita mau tidak mau harus bersentuhan dengan hasil usaha orang yang berbeda-beda. Yakni orang yang tidak kita kenal, yang tidak kita tanyai asal-usulnya agama maupun etnisnya.
Kita tidak pernah dan tidak mungkin bekerja sendiri. Pada tiap jalan yang kita tempuh, ada keringat ribuan orang lain. Saya setuju dengan Goenawan.
Menjadi Indonesia adalah tagline dari sebuah Kompetisi Esai Mahasiswa (KEM) yang diselenggarakan Tempo Institute, salah satu sayap nonprofit Tempo Inti Media. Kompetisi yang sudah memasuki usia kelima, 2013 lalu.
Kompetisi inilah yang melahirkan buku ini. Sesuai judulnya, buku ini berisi 120 surat dari 120 orang Indonesia yang berbeda. Mulai dari wakil presiden, penyanyi, gubernur, politikus, penulis, seniman, petinju, ekonom, menteri, wartawan, guru, hingga pegiat lingkungan.
Setelah terbit pertama kali 2012 lalu, ada penambahan jumlah ‘pemimpin’ yang menulis suratnya di cetakan kedua ini. Ada 24 surat baru.
Namun saya banyak tak mengenal hampir setengah nama ‘pemimpin’ yang menuliskan suratnya.
Banyak pula nama-nama terkenal yang menuliskan suratnya. Seperti Ahok, Jokowi, Boediono, Sri Mulyani, Andrea Hirata, Ayu Utami, Gol A Gong, Melanie Subono, Jakob Oetama, Sapardi Djoko Damono, Butet Manurung, Chris John, Adnan Buyung Nasution, Rahmad Darmawan, Susi Susanti, Pandji Pragiwaksono, Mahfud Md dan lainnya.
Saya lebih tertarik membaca surat dari nama-nama yang sudah saya tahu sebelumnya lebih dulu. Saya juga tak tahu mengapa. Ada kedekatan sendiri ketika kita sudah tahu namanya.
Tapi saya tak kalah penasaran dengan nama-nama yang tak saya kenal. Sebab bertanya-tanya kenapa ia sampai bisa nulis surat dari seorang ‘pemimpin’. Setelah dibaca, saya baru tahu kalau semua orang-orang itu memang hebat. Mereka adalah orang berpengaruh di bidangnya.
Ke-120 ‘pemimpin’ ini punya gaya masing-masing menuliskan suratnya pada kita. Ada yang menuliskan banyak petatah-petitih, pengalaman, ada yang benar-benar surat seperti surat yang pernah saya baca sebelumnya, ada juga yang menurut saya orasi ilmiah.
Semua punya gaya masing masing. Sekarang tinggal bagaimana kita menangkap maksud si ‘pemimpin’.
Saya suka gaya penulisan Dahlan Iskan yang menulis surat buat Gina dan Andri pada halaman 105. Gina dan Andri adalah mahasiswa yang kritis bertanya dari sebuah universitas (namanya tak dituliskan) ketika ia memberi kuliah umum di sana.
Sekilas ia menulis nama Gina dan Andri sebagai objek pembicaraan. Tapi, secara tak langsung Dahlan berpesan kepada anak muda Indonesia agar tak menyia-nyiakan masa muda agar setelah tua tak menyesal.
Ia juga mengungkapkan kekagumannya pada mereka yang bergabung dalam organisasi mahasiswa, yang ia bilang terlihat lebih matang dari mahasiswa yang sekedar tahu teori dari baca buku saja.
Atau gaya tulisan Andy F Noya, yang menceritakan kisah-kisah orang inspiratif dari tamu-tamunya di acara Kick Andy.
Katanya, kita selalu menunda untuk memberi. Merasa kurang tepat, atau merasa belum cukup kaya untuk sedikit menyisihkan sebagian uang membantu saudara-saudara yang butuh uluran tangan. Memang.
Beda cerita dengan Pandji Pragiwaksono yang menulis surat untuk anak-anak muda yang penuh rasa pesimis dengan kondisi Indonesia sekarang. “Salahkan pemudanya, sebagai motor perubahan, yang terlalu larut dalam keraguan”.
Tak sampai dua ratus karakter. To the point dan lugas. Intinya, ia muak dengan rasa pesimis anak muda Indonesia saat ini.
Buku ini bisa dibaca dengan santai. Muatannya, pesan-pesan positif untuk Indonesia yang lebih baik. Tak perlu butuh waktu lama melahap semua surat-suratnya.
Meski 411 halaman, kita tak akan kecewa menyelami ke-Menjadi Indonesia-annya ‘pemimpin-pemimpin’ ini. Apalagi ada beberapa ‘pemimpin’ menuliskan suratnya dengan tulisan tangan. Secara psikologis, kita akan merasa lebih dekat dengan si ‘pemimpin’.
Untuk memudahkan kita, surat-surat ini dikategorikan dalam sepuluh judul sesuai arah tulisan masing-masing yang kebetulan sama.
Tapi, saya kecewa dengan proses pembuatan buku yang tak rapi. Pengantar dan prolog buku ini masih sama dengan buku terbitan pertama. Sementara buku ini dilahirkan KEM Menjadi Indonesia 2013.
Seharusnya pengantar dan prolognya diperbaharui agar kita lebih mengetahui bagaimana kondisi KEM terbaru.
Nah, sudahkah kita ‘Menjadi Indonesia’?