Oleh: Amelia Ramadhani
Ibu, apa kabar? Masih sakitkah? Aku baru sadar kemarin ada yang tak beres. Ada yang kau dan orang-orang di rumah tak mau sampaikan padaku. Kenapa begitu? Toh, akhirnya aku tahu Ibu tak baik-baik saja.
Orang bilang, saat hujan turun semua rindu bisa saja berkelebat di kepala. Mereka bisa saja teringat masa lalu yang sayang untuk tak diingat. Mungkin juga mereka mengenang orang terkasih yang jaraknya sampai ribuan mil. Namun, rinduku tak seperti itu. Bayangmu selalu datang. Aku rindu suaramu walau hujan tak turun. Ibu tahu kenapa? Karena rinduku tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Ibu, jangan buru-buru. Hati-hati melangkah. Pelan-pelan saja karena semua datang tepat pada waktunya.
Tidak perlu jauh-jauh. Tetap di sini juga tak masalah. Tetap diam dan tak bercakap pun tak ada salahnya. Tapi, jangan lupa bahagia. Kita semua punya hak akan kata itu.
Ibu. Jangan lupa senyum.
Katanya Ibu jatuh lagi kemarin. Pasti buru-buru dan enggak sabar lagi. Ibu jangan terlalu ambisius. Bukan untuk.Ibu lagi kata itu ada. Kata ambisius harusnya untuk golongan muda sepertiku. Kalau untuk Ibu, hanya kata bahagia yang tersisa.
Mau marah lagi? Semua anakmu toh sudah bisa memilih jalan masing-masing. Mau ambisius lagi? Sudah tak banyak hal yang bisa dikejar di usia 63 tahun. Sudah. Sekarang waktunya bahagia.
Pelan-pelan saja. Karena sekarang waktunya untuk bahagia.
Ibu. Jangan menangis. Untuk apa bersedih? Anak-anak sudah besar dan bisa mandiri. Jangan sering bermenung. Kami pasti datang setiap liburan.
Ibu. Kenapa terlihat sulit bahagia? Karena kami tak punya mobil seperti tetangga? Atau kami tak sepintar anak teman-temanmu? Punya mobil cantik belum tentu bisa tertawa setiap hari. Punya otak pintar dan dibutuhkan banyak orang bukan berarti bisa hadir setiap Ibu rindu kami. Jika aku pintar, bisa jadi aku harus kian kemari untuk meneliti atau memberi materi di acara-acara seminar. Makin rumit toh. Kita akan sulit berjumpa.
Ibu. Tetaplah bahagia. Tetaplah tersenyum. Aku di sini. Anak-anakmu yang lain juga sering berkunjung. Saudara? Hampir setiap hari datang. Dia senang masih bisa jumpa Ibu di sela-sela waktu kerjanya.
Ibu. Kenapa hari ini menangis lagi? Masih semakkah sama kejadian beberapa bulan lalu itu? Sudahlah. Semua sudah terjadi. Bahagialah.
Bruuuk.
Sekarang giliranku untuk bersedih sepertinya. Ternyata anjuranku untuk selalu bahagia, tak manjur sama sekali padaku. Disuruh bahagia di saat susah terasa mustahil.
Tapi, dalam menjalani hidup tak boleh tergesa-gesa. Seorang pelari maraton tak pernah lari sekencang yang ia bisa saat mulai lomba. Mana pernah ada orang yang kaya mendadak karena jualan sayur. Semua butuh proses.
Masih empat bulan. Belum lama dibandingkan si Fulan yang butuh enam tahun untuk bangkit. Masih empat bulan.
Ayo, kita coba lagi. Tapi dengan syarat pelan-pelan. Tak ada kata buru-buru karena kita juga tak punya deadline. Kita tidak bekerja kepada perusahaan asing. Kita juga tak harus menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai target. Rumah ini sistemnya biar lambat asal selamat.
“Cocoknya itu kan, Ibu?”
Aih. Jangan menangis lagi. Aku di rumah tak lama. Sebentar saja. Hanya melepas lelah dan sesak beberapa minggu. Hanya saja, aku tetap hadir di telepon.
Ayo, kita coba lagi. Kumpulkan tenaga dan amunisi.
“Ke belakang sebentar ya, Ibu.”
Aku dengar Ibu menangis. Meringis kesakitan. Sontak aku pun terhambur. Jatuh lagi. Kali ini aku yang kalah. Aku tak sanggup bahagia.
Kupastikan semuanya baik-baik saja. Aku telusuri semua jejak yang ada di badanmu. Bagian mana yang sakit? Bagian mana yang luka? Adakah yang memar? Adakah tulang yang retak?
Wajar aku menangis. Menangis diam-diam di belakang Ibu. Berharap tak satu pun yang tahu. Berharap semua terlihat baik-baik saja.
Wajar jika Ibu tak bisa terima keadaan ini. Wajar jika Ibu mengalami gangguan psikolagi gara-gara keadaan yang tak kita harapkan. Tapi kita tak bisa melawan takdir. Kita juga tak bisa salahkan Tuhan. Semua sudah terjadi. Tabah-tabah ya, Ibu.
Ayo, kita belajar berjalan lagi. Tak apa jika tak normal seperti manusia pada umumnya. Takkan kecil hatiku jika Ibu hanya bisa berjalan dari kamar ke ruang tamu. Bapak takkan kecewa kalau Ibu tak bisa berjalan dan berladang lagi. Namanya juga musibah. Siapa yang tahu Ibu bakal terserang penyakit. Siapa yang tahu Ibu akan jatuh kemudian terserang stroke.
Pelan-pelan. Bisa berjalan selama empat bulan sudah perubahan yang signifikan. Ingat pasien yang kita jumpai di klinik waktu itu? Enam tahun, dia baru bisa berjalan dengan tongkat. Sedangkan Ibu bisa berjalan dengan tongkat dalam waktu empat bulan.
Besok aku pergi. Aku masih harus sekolah. Jangan lupa bahagia. Jangan lupa berlatih. Tak masalah pakai tongkat selamanya. Tak masalah walau hanya mampu dari kamar ke ruang tamu.
Jangan sedih harus pakai pamper sepanjang hari. Tak usah merasa merepotkan orang.
Ibu, aku berangkat dulu. Tak masalah jika tak bisa ikut ke halte bus seperti tahun-tahun lalu. Kuat-kuat ya, Ibu. Aku akan selalu rindu walau tak datang hujan.