Oleh Izzah Dienillah Saragih
Judul Buku : Negeri di Ujung Tanduk
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2013
“Aku baru saja membuat sebuah teori konspirasi yang serius; mafia hukum”
Masih ingatkah pada cerita Thomas dan drama konspirasi 48 jam-nya? Negeri di Ujung Tanduk (NDUT, well singkatan buku yang lumayan buruk) adalah sekuel dari buku Tere Liye, Negeri Para Bedebah (NPB). Kali ini mengusung terminologi yang Thomas buat sendiri; mafia hukum. Mafia Hukum, menurut Thomas (yang masih digambarkan sebagai sosok yang brilian, cerkas, dan cemerlang) ada di mana-mana di negeri ini. Di pasar, di pengadilan bahkan di gedung parlemen sekalipun. Memanipulasi kasus hukum mana yang menyangkut kepentingan orang-orang tertentu.
Pasca setahun drama penyelamatan Bank Semesta, yang berujung dengan penahanan sang paman, Om Liem, hidup tenang Thomas kembali terusik. Menjelang konvensi salah satu partai politik, klien thomas di perusahaan konsultan politiknya ditangkap atas tuduhan korupsi. Padahal sang klien yang merupakan calon presiden berinisaial JD (Silakan dicocokkan dengan nama-nama familiar di sekitar kita), merupakan mantan gubernur yang dikenal berintegritas.
Konon, tuduhan korupsi itu dilontarkan guna menghambat langkah JD yang sesumbar akan memberantas mafia hukum di Indonesia. Thomas tak tinggal diam. Belum lagi ada serentetan kejadian aneh yang menyertainya di Hongkong beberapa hari sebelum sang klien ditangkap; menegaskan ada mafia hukum dibalik kasus tersebut.
Bersama Maryam, wartawan politik yang mewawancarainya untuk sebuah majalah review politik, Thomas berusaha untuk mencari tahu siapa sebenarnya dalang penangkapan sang klien. Seperti biasa, Thomas dikelilingi orang-orang baik yang siap sedia menolongnya.
Maggie, staff-nya yang cekatan. Lee rekan di klub petarung yang beberapa kali menjadi malaikat penyelamat. Rudi, polisi yang diturunkan pangkatnya pasca kasus Bank Semesta, serta masih banyak tokoh lain-nya yang menambah keheroikan aksi Thomas.
Simpul demi simpul menuntun Thomas pada kenyataan yang mengerikan; dalang peristiwa penangkapan sang klien sekaligus bosnya mafia hukum di negeri di ujung tanduk ini adalah orang dekat Thomas dan keluarganya. Juga orang yang sama di balik drama Bank Semesta. Siapakah dia? Akankah Thomas berhasil ‘mengalahkan’ sang musuh utama?
Seperti NPB, NDUT mampu membuka paradigma pembaca tentang parahnya beberapa hal yang bergulir di sekitar kita di negeri ini, di Indonesia.
Tentang politik yang tak segan ‘membunuh’, tentang uang yang jadi penguasa, tentang demokrasi yang sering membodohi, dan masih banyak lagi. Negeri di Ujung Tanduk juga memberikan optimisme bagi pembaca untuk memiliki mental pejuang, petarung, dan pemenang. Mental itulah yang diwajahkan Thomas, yakni mental mausia beradab, berkarakter, dan berintegritas.
Namun, secara keseluruhan membaca buku ini terasa sekali cetak biru buku terdahulunya, atau kalau boleh saya bilang, usang. Kosong. Terlalu banyak de-javu. Misalnya, tokoh Maryam yang mengingatkan kita pada Julia, wartawan ekonomi di NPB. Memangnya Thomas adalah James Bond yang harus berganti gadis di tiap sekuelnya?
Beberapa dialog Thomas dengan tokoh lainnya sama persis dengan dialog di NPB. Pun aksi heroik Thomas terasa kurang gereget, sekadar repetisi saja. Tak ada pesan khusus yang benar-benar baru dan ingin disampaikan Tere Liye lewat buku ini. Quotes tentang kepedulian yang disampaikan di sampul buku pun hanya dijelaskan di tiga lembar terakhir buku ini. Sampai di ujung cerita, saya berkesimpulan: Negeri di Ujung Tanduk adalah sebuah sekuel yang tak perlu ada.