Oleh : Yael Stefany Sinaga
“Kini patahan itu tak lagi bertuan. Menunggu untuk kembali pulih. Itu pun jika bisa.”
“…. aku sudah berjuang, Bu. Laknat sekali dia. Sungguh aku tak bisa bersolek. Cukup kita terus dibodohi.” Disela tangisanku yang tak hentinya. Kuberlutut di ujung pintu dapur sambil mencakar lantai. Sesekali aku tertawa. Tersenyum. Kembali parau. Sudah sepuluh menit sejak dia berhasil mengukir gembok luka itu. Luka yang sekuat tenaga kusimpan agar dia tak liar. Ternyata rasa sebangsat itu.
“Nak. Pulang lah. Tak kasihan kau dengan dirimu. Tak sanggup aku.” Ibu berkata lirih.
“Dia sudah pergi terlalu jauh. Kurasa dia tak ingat pulang. Salah aku? Tidak. Dia jahat. Sangat jahat.”
Sekali lagi aku mencakar lantai dan mulai menarik rambutku. Bernyanyi. Melantunkan sajak. Lalu kembali menangis. Kuayunkan badanku. Tertawa lirih sambil menyanyikan lagu kesukaanku bersama dia. Air mata terus mengalir. Serupa dengan Ibu yang terus membasuhnya dengan ujung baju.
****
Aku bertemu Dian saat aku masuk ke dalam komunitas sastra bernama Nirmala. Saat itu aku masih duduk di bangku perkuliahan. Masih muda. Kira-kira semester enam. Aku diajak seorang temanku. Dia meyakinkan aku bahwa tempat ini akan cocok untuk diriku. Maklum. Aku suka menulis kalimat tidak jelas. Di meja. Di dinding bahkan di kaca toilet.
Padahal dulunya aku tak suka terlalu banyak kegiatan selain kuliah. Mengikat pikirku. Terlalu banyak aturan dan terlalu sistematis. Ini sesuai saat aku mengikuti kegiatan paskibra waktu duduk di bangku sekolah menengah pertama. Asli tak ada istirahat. Bahkan waktu untuk diri sendiri saja tak bisa. Memuakkan.
Dian orang pertama kukenal. Romantis tapi tidak berlebihan. Aku terpukau saat dia membacakan puisi Mawar Hitam di malam perkenalan. Perlahan tapi pasti. Kupandangi matanya. Kuperhatikan bibirnya hingga ke wajah. Kupastikan bahwa dia lah kuasa Tuhan yang tak tertandingi. Sungguh sempurna.
“…Izinkan untuk aku menimang bidadari tak bersayap itu.
Dibawah rembulan dia paksa menyelip dan masuk tanpa seizin pemuka
Dia mawar hitamku. Menghujam tanpa memberi ampun.
Ditusuk sembilan kali namun dicumbu berkali-kali.
Dapatkah renjana ini bermekaran tanpa diberi pupuk?
Kuharap demikian….”
Tepuk tangan kala itu mengakhiri lantunnya. Tersenyum tipis. Juga aku yang tanpa sadar masih tetap memandangnya lekat. Sampai lah dimana mata kami saling bertemu. Tajam namun meyakinkan. Brengsek. Dia berhasil mencuri hatiku.
****
Dua tahun berlalu. Akhirnya aku menyelesaikan kuliahku dan langsung diterima bekerja disebuah restoran. Sejak saat itu juga kami semakin dekat. Bahkan tidak ada yang ditutupi. Dia mengenalku begitu juga aku. Tak bisa aku berbohong dengannya. Tak bisa aku sembunyikan apapun darinya. Dia tahu. Bahkan bisa menerka. Makin hari semakin gila dibuatnya. Dihujani kata. Dibekali sajak. Hampir setiap hari. Kusadari lesung pipinya yang menjadi mantra pelindung. Aku menyerah. Tak bisa beranjak. Dia istimewa disetiap katanya, tingkah lakunya sampai pemikirannya.
Da suka buku pembebasan. Entah lah. Kenapa bisa orang bercumbu dengan teks serta segala teori didalamnya. Lalu sangat senang berbicara, berkumpul membahas bagaiamana kondisi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Ini lah yang kumaksud. Dia menarik disegala keadaan.
Pernah suatu malam kami duduk di di bahu jalan. Sambil makan telur gulung dia mengarahkanku dengan seorang anak kecil yang mengais sampah. Mencari botol minuman yang masih bisa di daur ulang. Lalu menaruhnya di tas goni yang ia bawa. Pergi lagi mencari tempat lain.
“Itulah kenapa aku tak ingin melanjutkan hidup di kota. Kau lihat. Negara ini keterlaluan. Berapa banyak duit negara yang keluar untuk hal sia-sia. Bayangkan, membeli alat kantor saja pemerintah dan anteknya harus menggelontorkan uang sampai triliun. Jika itu digunakan untuk memberi anak-anak jalanan makan, aku yakin kemiskinan dapat teratasi.”
“Lalu apa yang kau inginkan?”
“Pergi ke kampung halaman. Bersama seseorang yang akan menemani sisa hidupku. Berjuang bersama. Belajar bersama. Membangun kehidupan bersama dan melahirkan generasi penerus. Bercumbu. Sesekali berdiskusi dan bertengkar menghasilkan kesepakatan yang membangun.”
“Siapa seseorang itu?”
“Dirimu satu-satunya.”
****
Kudapati diriku sudah tak berbaju. Selimut tebal membalut badanku. Aku menoleh. Dian sudah tidak ada disampingku. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku memakai pakaianku kembali dan keluar kamar. Kudapati Dian sedang membuat teh. Sadar akan kehadiranku dia menyuruhku duduk di kursi makan dan memberikan secangkir teh hangat.
Aku hanya diam. Tiba-tiba perasaan getir menghampiriku. Kejadian semalam terulang dalam ingatan. Kami benar-benar menikmati malam itu. Beradu dengan deru yang panjang. Sempat ragu tapi terpatahkan dengan janji yang terucap bahwa Dian tak akan meninggalkanku. Apapun yang terjadi.
Semenjak saat itu kami memutuskan untuk menjalani hubungan tanpa status ikatan. Katanya dia ingin langsung meminangku. Tak mau terjebak dalam romantisme belaka. Malam itu, dia ikrarkan sumpah bahwa ia akan menikahiku dan membawaku bertemu orang tuanya di kampung.
Tapi semua berubah semenjak kejadian itu…..
*****
Dua bulan sejak kejadian itu Dian sangat sulit dihubungi. Hampir tiap malam dia tak pernah ada dirumah. Bahkan tempat biasa Dian berdiskusi pun tak pernah kelihatan. Teman-temannya tak ada yang tahu. Padahal saat itu aku sedang mengandung. Walaupun begitu aku tetap percaya dan kembali pulang. Dirumah Ibu pasti sudah menunggu.
Sejak Ibu tahu aku mengandung, Ibu menyuruhku untuk menikah dengan Dian. Bagaimana pun Ibu tetap meminta pertanggungjawaban dan janji yang telah diucapkan. Walau Ibu marah besar tahu anak gadis satu-satunya hamil di luar nikah. Aku berusaha meyakinkan Ibu. Kutahu dia sangat sayang terhadapku. Apalagi semenjak dirinya ditinggal Bapak 10 tahun yang lalu.
Sampai dirumah kudapati Ibu menghapus air matanya sambil menggenggam kertas. Aku mendekatinya. Dia memelukku dan menciumku. Bahkan ia mengelus perutku dengan perasaan getir. Aku tak mengerti. Dia menuntunku duduk di tempat tidur. Membelai kepalaku dan mulai menangis.
“Nak, tahukah kau apa yang lebih kejam dari sebuah perpisahan? Menaruh harapan setinggi langit dan kau dijatuhkan tanpa aba-aba. Kau terpaksa menikmatinya lalu dicecoki dengan kebohongan yang tiada ujung,”
Dia memberikan kertas yang adadigenggamannya. Aku pun membaca. Ternyata itu surat dari Dian.
“Pernahkah kau mendengar bahwa seorang yang gagal akan menjadi pecundang selamanya? Ternyata aku memang kalah. Diluar takdir yang ingin kuciptakan. Kuberikan kabar bahwa dengan berat hati aku harus menebus. Biarlah ini kubawa sampai kapanpun. Rin, ini sajak untukmu :
….Izinkan untuk aku menimang bidadari tak bersayap itu.
Dibawah rembulan dia paksa menyelip dan masuk tanpa seizin pemuka
Dia mawar hitamku. Menghujam tanpa memberi ampun.
Ditusuk sembilan kali namun dicumbu berkali-kali.
Dapatkah renjana ini bermekaran tanpa diberi pupuk?
Kuharap demikian dan ternyata aku gagal…..”