BOPM Wacana

RUU Minerba Sah, Taipan Tambang Kian Berkuasa

Dark Mode | Moda Gelap
Foto Ilustrasi : Dokumentasi Pribadi

 

Oleh: Annisa Octavi Sheren

Tak peduli protes sana-sini hingga kondisi krisis pandemi, DPR tancap gas sahkan RUU Minerba. Lantas siapa yang paling diuntungkan ?

Meski menuai banyak penolakan, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tetap mengetok palu atas sahnya revisi Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) pada 12 Mei 2020. Kebetulan atau tidak, waktu pengesahan ini bertepatan dengan hari peringatan 22 tahun tragedi Trisakti yang terjadi pada tahun 1998 silam. Tak heran ketika rangkaian bunga ucapan duka cita berdatangan ke kantor DPR RI pada hari itu, mengisyaratkan duka rakyat yang mendalam.

Pengesahan RUU Minerba kompak disepakati oleh delapan fraksi DPR RI yang terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,  Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional , Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, serta Partai Golongan karya. Sedangkan Partai Demokrat menjadi satu-satunya yang tidak sepakat karena menilai ini bukan keputusan yang tepat untuk diambil pada masa krisis pandemi Covid-19.

RUU Minerba sendiri merupakan pembahasan yang diwariskan dari DPR RI periode lalu dan termasuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2020. Pembahasannya oleh Tim Panitia Kerja RUU Minerba berjalan cukup singkat, yakni selama Februari-Mei 2020 dan menghasilkan total 209 pasal. Rinciannya, terdapat 83 pasal diubah, 52 pasal baru, serta 18 pasal yang dihapus.

Penolakan terhadap RUU Minerba telah bergulir sejak lama. Puncaknya adalah ketika penolakan RUU Minerba ini menjadi salah satu tuntutan dalam aksi bertajuk Reformasi Dikorupsi pada September 2019. Nyatanya, pengesahannya hanya tertunda. Namun, suara-suara protes dari aktivis dan warga sipil terkait isi revisi tidaklah diindahkan.

Bukan tanpa alasan, RUU Minerba diprotes karena isinya yang dianggap memberi jalan mulus bagi taipan tambang untuk berkuasa mengeruk mineral dan batubara di negeri ini. Beberapa pasal dalam UU Minerba memberi peluang terjadinya eksploitasi sumber daya alam oleh konglomerat dan menghasilkan kemelaratan bagi rakyat. Selain itu, dampak sosial-ekonomi hingga lingkungan juga tidak diberi perhatian dalam RUU ini.

Salah satu perubahan isi RUU Minerba yang paling disoroti adalah Pasal 169A menyatakan pemerintah menjamin perpanjangan izin perusahaan pemegang lisensi Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) sekaligus mengubahnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa proses pelelangan setelah memenuhi persyaratan dan ketentuan. Pasal 169A huruf a menyebutkan kontrak yang belum memperoleh perpanjangan akan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 tahun. Hal ini menjadi angin segar bagi bandar batubara karena perusahaan tambangnya diperkenankan mengeruk isi perut bumi Indonesia setidaknya selama 20 tahun lagi.

Sahnya RUU Minerba lantas mengundang kecurigaan. Perlu diketahui, ada tujuh perusahaan tambang besar di Indonesia yang kontraknya akan segera berakhir dalam waktu dekat, yakni PT Arutmin Indonesia yang habis 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia yang habis 13 September 2021, kemudian PT Kaltim Prima Coal yang habis 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama habis 1 April 2022, PT Adaro Indonesia habis 1 Oktober 2022, PT Kideco Yaja Agung habis 13 Maret 2023, serta PT Berau Coal habis 26 April 2025. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa DPR RI laiknya kejar tayang untuk agenda pengesahan RUU Minerba ini dengan tujuan untuk menyelamatkan kepentingan perusahaan tambang kalut dengan persoalan kontrak. Bukan kebetulan pula, terdapat sejumlah nama elite politik dibalik perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut.

Pada aturan sebelumnya, KK dan PKP2B yang telah habis harus mengajukan perpanjangan setidaknya lima tahun sebelum kontrak habis. Kemudian akan ada proses penetuan persetujuan perpanjangan kontrak. Dalam masa inilah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat berkesempatan untuk mengambil alih pengelolaan tambang. Namun kini kesempatan itu terhalang karena negara terlanjur memberi jaminan perpanjangan kontrak meski dengan berbagai persyaratan.

Padahal BUMN sebagai kepanjangan tangan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sember daya alam. Salah satu insrumen penguasaan negara yaitu melalui fungsi pengelolaan (beheersdaad) yaitu penguasaan negara melalui peranan BUMN dalam mengelola sumber daya alam.

Menjadi ironi ketika negara “melepaskan” kekayaan sumber daya alam negeri ini untuk dikeruk oleh para konglomerat yang jelas tujuannya adalah memperkaya diri sendiri dan golongannya. Padahal negaralah yang sebaiknya mengelola kekayaan alam sebagaimana semestinya dengan tujuan untuk rakyat. Pembukaan Undang-undang dasar (UUD) 1945 mengingatkan salah satu tujuan negara yakni memajukan kesejahteraan umum. Diperkuat dengan amanat sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai ini yang harus diserap dan diterjemahkan dalam regulasi.

Negara harusnya punya kuasa yang besar untuk mengelola sumber daya alam ini untuk kesejahteraan rakyat. Kita tahu betul bunyi UUD 1945 pasal 33 Ayat 3: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Namun, kini negara seolah tak berdaya dalam mengelola kekayaannya sendiri. Alih-alih memberdayakan BUMN, nyatanya negara justru membentangkan karpet merah bagi taipan tambang untuk berkuasa atas energi dalam negeri. Pada akhirnya rakyat yang akan terdampak secara ekonomi hingga dampak lingkungan yang ditinggalkan. Dan lagi, negara tidak hadir dalam hal ini.

Besar harapan rakyat agar kiranya peran negara bukan hanya sebagai regulator. Mengingat sektor pertambangan adalah bagian dari sumber daya alam yang merupakan anugerah bagi negeri ini. Negaralah yang harusnya berkuasa dan mengelolanya sendiri, bukan justru segelintir konglomerat.

Pengesahan RUU Minerba di masa pandemi ini pun jelas menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR tidak memiliki empati dan upaya serius dalam penanganan Covid-19. Seharusnya pemerintah dan DPR kini fokus menyusun langkah efektif dalam mengatasi pandemi ini, bukan melanggengkan RUU bermasalah.

Meski telah sah, masih ada langkah yang dapat diambil untuk menggalgalkan RUU  Minerba, ya, uji materi ke Mahkamah Konstitsi (MK). Koalisi Masyarakat Bersihkan Indonesia kini tengah berencana mengajukan gugatan judicial review atau uji materi RUU Minerba kepada MK. Ini menjadi upaya konstitusional yang ditempuh agar dapat membatalkan RUU Minerba. Harapan dipertaruhkan, kiranya MK tidak disusupi  taipan tambang yang berkepentingan.

Komentar Facebook Anda

Annisa Octavi Sheren

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4