BOPM Wacana

Rumah Belajar Sianjur Mula-Mula, Rumah Segala Ilmu

Dark Mode | Moda Gelap
Rumah Belajar Sianjur Mula-Mula | Dokumentasi Pribadi

 

Oleh: Sagitarius Marbun

Semua orang adalah guru, alam raya sekolahku.

Rumah Belajar Sianjur Mula-mula berdiri pada 25 Oktober 2015 lalu tepatnya di Huta Balian, Sianjur Mula-mula, Samosir. Rumah belajar ini didirikan oleh Reinhard Sinaga atau yang lebih dikenal dengan nama Nagoes Puratus. Nama yang ia ambil dari plesetan marganya, Sinaga Oppuratus. Siapapun bisa ikut bergabung dengan rumah belajar ini. Tidak ada persyaratan khusus bagi calon anak didik atau pun bagi calon relawan. Cukup datang di setiap jam operasional dengan bermodalkan buku catatan.

Semua orang adalah guru, alam raya sekolahku. Menjadi kalimat yang mewakilkan, bahwa Rumah Belajar Sianjur Mula-mula menerima siapa saja yang ingin mengajar maupun yang ingin belajar jiwa sosial. Tak hanya itu, kalimat itu juga mengambarkan konsep belajar yang memadukan budaya, lingkungan, dan sosial.

Saat ini rumah belajar memiliki 21 murid aktif dengan 5 relawan yang mengisi kelas setiap harinya. Nagoes sebagai pendiri dibantu Edward Limbong, Manto Nababan, Johannes Sagala, dan Winda Sagala yang memantapkan dirinya sebagai relawan sejak usia dininya. Winda merupakan alumni generasi ke dua Rumah Belajar Sianjur Mula-mula dan menjadi relawan sejak kelas satu SMP.

Pada awal berdiri, Nagoes hendak memberi nama Rumah Belajar ini sebagai Sekolah Adat. Tapi menimbang pemikiran negatif para penetua kampung yang beranggapan rumah belajar beraliran sesat –menyembah-nyembah leluhur, si pele begu, animisme, dan lain sebagainya akhirnya ia memberi nama Rumah Belajar Sianjur Mula-mula. Pun anggapan kalau adat itu hanya sebatas membahas kedudukan seseorang dalam pesta, baik pernikahan, kematian, dan pesta-pesta lainnya.

Suasana belajar di Rumah Belajar Sianjur Mula-Mula | Dokumentasi Pribadi

 

“Padahalkan kalau bicara budaya, tata cara masak pun budaya, cara jalan di depan khalayak pun ada adatnya,” katanya di sela-sela waktunya mengajar adik-adik. Rumah Belajar ini membuka kelas yang dimulai dari pukul 15.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB pada setiap hari, kecuali hari Rabu. Ini dikarena hari Rabu merupakan hari pekan bagi warga Samosir.

Rumah belajar dibangun karena kerisauan dan ketakutan akan hilangnya kebudayaan tersebut. Nagoes mengaku, sudah jarang menemui anak-anak yang memakai bahasa ibu, kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur-campur, tidak tahunya bertutur kata kepada orang yang lebih tua darinya, dan masih banyak lagi. Berangkat dari kerisauan tersebut, maka ia meninggalkan pekerjaannya di rumah sakit dan kembali ke kampung sejak tahun 2012.

Semua hal diajarkan di rumah belajar ini. Mulai dari tari Tor-tor, cara bertutur kata, martarombo, bercocok tanam, bahkan pelajaran sekolah yang tidak mereka –anak-anak dapatkan di sekolah. Tidak ada kurikulum yang diikuti, tapi semua hal yang diajarkan melatih moral dan mental mereka.

“lestarikan budayamu, pature hutam (perbaiki kampungmu)” ujar Nagoes. Kalimat tersebut serasa menjadi peluru yang menembus dada para anak muda yang melupakan kampung halamannya. Merongrong seolah meminta pertanggungjawaban, apa yang dapat aku berikan kepada kampung halaman setelah aku menjadi manusia.

Bangkit, bergerak, bersatu. Menjadi harapan jangka panjang dari rumah belajar. Banyak kendala yang mereka –para relawan hadapi. Ocehan masyarakat dan juga guru-guru sekolah formal menjadi boomerang.

Uniknya, sarung menjadi pakaian khas saat mereka melakukan proses belajar mengajar. sebagaimana diketahi sarung sebagai simbol kesederhanaan. “Mau sebagus atau seburuk apapun baju si anak, akan sama kalau sudah memakai sarung,” kata Nagoes.

Murid Rumah Belajar Sianjur Mula-Mula menari Tortor | Dokumentasi Pribadi

 

Sebagaimana visi rumah belajar, menciptakan generasi bangsa yang beriman, berpendidikan, kreatif serta berwawasan budaya dan lingkungan, maka ketika mereka memasuki rumah belajar, anak-anak harus mengucapkan “Horas”. Begitu juga sebelum dan setelah proses belajar-mengajar anak-anak akan berdiri melingkar, membuka dengan doa kemudian mengucapkan nama hari-hari Batak secara bergiliran

“Harapnya kelak jika mereka sudah jadi alumni, mereka sudah bisa manjujur ari (memprediksi hari baik),” terangnya.

Mereka tidak hanya belajar di dalam rumah bolon yang masyarakat sumbangkan. Lingkungan sekitar juga kelas bagi mereka. Sawah, ladang, taman, jalan-jalan berbatu, semua tempat turut mereka gunakan menjadi sarana untuk membuat anak-anak semakin mencintai lingkungan.

Komentar Facebook Anda

Sagitarius Marbun

Penulis adalah alumni Mahasiswa Sastra Indonesia FIB USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4