Oleh: Vanisof Kristin Manalu
Pernah melihat mayat berjalan? Di Tana Toraja dapat kita temukan hal tak biasa yang sarat akan budaya unik seperti ini. Ma’nene namanya.
Seorang pria bertubuh kurus berdiri. Kepalanya tak berambut dan sedikit miring ke arah kanan. Bajunya kelihatan baru dengan setelan dasi bercorak abu-abu. Banyak masyarakat yang mengelilingi, tampak bahagia dan bersuka cita dengan berbagai hidangan yang disediakan. Ternyata orang itu adalah seorang mayat. Ma’nene namanya, kebudayaan dari Tana Toraja, Sumatera Selatan.
Tana Toraja sangat dikenal dengan berbagai kebudayaan yang tak lazim orang dengar. Sensasi ini dimanfaatkan untuk menggaet wisatawan berkunjung, baik domestik maupun mancanegara. Alih-alih untuk melestarikan budaya nenek moyang, tradisi ini juga dapat meningkatkan perekonomian lewat wisata. Terkenal dengan tradisi pemakaman yang tak biasa, Toraja juga memiliki keunikan lainnya seperti Ma’nene.
Ma’nene merupakan upacara adat mengganti pakaian mayat para leluhur. Upacara ini dilakukan setiap tiga tahun sekali dan biasanya pada bulan Agustus. Ritual Ma’nene dilakukan khusus oleh masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara. Masyarakat adat Toraja percaya bahwa jika ritual tersebut tidak dilakukan, maka sawah-sawah dan ladang mereka akan rusak oleh hama dan ulat yang datang tiba-tiba.
Proses Ma’nene sudah berlangsung sejak lama dan waktu pelaksanaannya berdasarkan kesepakatan bersama keluarga dan tetua adat melalui musyawarah desa. Ne’tomina merupakan gelar adat yang diberikan kepada tetua kampung, di mana orang yang dituakan juga imam atau pendeta
Saat Ma’nene berlangsung, peti-peti mati para leluhur akan dikeluarkan dari makam-makam liang batu dan diletakkan di arena upacara. Baik jasad tersebut sudah tinggal tulang-belulang sampai yang masih utuh dibersihkan dengan cara dimandikan lalu pakaiannya diganti.
Bagi mayat pria akan dikenakan pakaian jas lengkap dengan dasi dan kacamata hitam yang serba baru. Biasanya baju tersebut dibelikan oleh cucu dan anak-anak mereka yang sudah berhasil. Mereka memperlakukan mayat tersebut seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian dari keluarga.
Ritual Ma’nene dimulai dari seorang pemburu bernama Pong Rumasek yang menemukan jasad sesorang yang telah lama meninggal dunia terletak di bawah pepohonan dan hanya tinggal tulang-belulang. Merasa iba, Pong Rumasek membawa mayat tersebut ke rumah lalu merawat dengan semampunya.
Tulang-tulang dari mayat tersebut dibersihkan lalu dibungkus dengan pakaian dan diletakkan di area yang lapang. Setelah memperlakukan mayat tersebut dengan baik, Pong tak menyangka mendapati sawah miliknya telah menguning dan panen sebelum waktunya. Ia beranggapan bahwa keberuntungan itu didapatkannya sebab ia telah merawat mayat yang ia temukan. Sejak saat itu, Pong Rumasek menurunkan tradisi tersebut kepada keturunannya dan desa tempat ia tinggal dan hingga saat ini masih berjalan dengan baik.
Kegiatan ini dilakukan selama tiga puluh menit. Usai mengganti pakaian mayat leluhur, masyarakat kemudian berkumpul mengikuti acara makan bersama. Makanan yang disajikan adalah hasil sumbangan setiap keluarga keturunan leluhur yang melaksanakan kegiatan prosesi adat Ma’nane. Masyarakat Toraja berharap arwah leluhur mereka akan menjaga mereka dari gangguan jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.
Ma’nene biasanya dilakukan beriringan dengan upacara adat Rambu Solo, di mana keluarga membawa kurban hewan seperti babi atau kerbau ke kuburan untuk meminta perlindungan dan mendoakan agar rezeki melimpah. Beberapa tempat melakukan Ma’nene biasanya disebut Ma’ta’da yang artinya memberikan sesajian kepada arwah keluarga yang telah meninggal dunia.
Budaya ini juga telah menarik minat wisatawan luar untuk berkunjung. Keberagaman budaya yang tak biasa rupanya mengundang penasaran wisatawan dan akhirnya memilih untuk melihat langsung.