BOPM Wacana

Cecah Reraya Gayo, Makanan Penyambut Syawal yang Mulai Punah

Dark Mode | Moda Gelap
Sumber Istimewa

 

Oleh: Widiya Hastuti

Makanan merupakan ciri khas suatu suku. Sayangnya, banyak makanan tradisional yang kini mulai jarang dibuat oleh masyarakatnya. Cecah reraya gayo salah satunya.

Gayo merupakan salah satu suku yang berada di Aceh, khususnya Aceh Tengah. Mungkin tidak asing lagi bagi sebagian orang mendengar kata Gayo, terutama bagi pencinta kopi. Namun, kuliner Gayo yang memiliki kekhasan rasa tidak hanya kopi.

Cecah merupakan salah satu kuliner Gayo yang tak kalah sedapnya. Cecah merupakan makanan yang tidak dimasak. Banyak jenis cecah yang terdapat di Gayo salah satunya cecah reraya (cecah hari raya) atau juga biasa disebut cecah kekulit (cecah kulit). Cecah reraya biasanya dimasak pada penghujung ramadan, untuk menyambut bulan syawal atau hari raya.

Inen (panggilan untuk ibu dalam bahasa gayo) Bohari, salah seorang nenek suku Gayo yang biasa membuat makanan tradisional ini, mengatakan cecah reraya merupakan makanan wajib suku Gayo saat hari raya. “Dulu kalau reraya (hari raya) lepat, peyek, cecah reraya gak pernah tinggal. Kalau rumah orang Gayo pasti ada,” kata Inen Bohari.

Satu hari sebelum hari raya, masyarakat Gayo yang mayoritas muslim biasa mengadakan meugang, yaitu acara memotong hewan bersama-sama. Biasanya masyarakat Gayo akan memotong kerbau atau sapi untuk kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat secara merata. Hal ini yang menyebabkan masyarakat Gayo membuat cecah reraya yang berbahan dasar kulit kerbau atau sapi di penghujung ramdan.

Cecah reraya biasanya terbuat dari kulit kerbau, hati kerbau, otak kerbau, dan jeroan. Untuk menghilangkan bau, bahan-bahan tersebut direbus. Sedangan untuk kulit kerbau dipanggang hingga bulunya hangus kemudian diserut.

Bahan yang telah direbus tersebut dirajang halus kemudian dicampur dengan serai, jahe, lengkuas empan (andaliman), bawang merah, bawang putih, cabai, dan garam yang telah digiling halus. Kemudian dicampur dengan air perasan kayu uwing atau tingkem.

Cecah reraya dipercaya masyarakat Gayo dapat kembali menormalkan tubuh yang terbiasa berpuasa ke keadaan yang tidak lagi berpuasa. Rasa getir dan hangat dari empan dan jahe dipercaya mampu meningkatkan daya tahan tubuh, terlebih untuk daerah Gayo yang cukup dingin.

Namun, sangat disayangkan saat ini cecah reraya sangat sulit didapatkan. Bahkan, kini masyarakat Gayo tak lagi menghidangkan cecah reraya saat menjelang hari raya.

Inen Bohari sediri tidak mebuat cecah reraya pada hari raya kali ini. Ia mengaku merasa sulit mendapatkan bahan-bahan untuk pembuat cecah reraya. “Harga kulit koro (kerbau) pun mahal kali,” katanya.

Memang bahan-bahan cecah reraya sulit didapatkan. Seperti kayu uwing yang tidak tersedia di pasaran, bahan yang berasal dari kerbau yang sulit didapat serta cukup mahal. Kebiasaan memotong kerbau saat meugang juga telah punah. Masyarakat Gayo lebih suka mengadakan meugang di rumah masing-masing.

Bengi, suku Gayo asli yang baru menikah mengaku tidak pernah membuat cecah reraya. Menurutnya membuat cecah reraya cukup repot. Terlebih membakar kulit kerbau yang harus menggunakan api unggun, sedangkan Bengi telah menggunakan kompor gas. “Malas ngerok-ngerok bulu kerbau,” ujarnya.

Karena tidak banyak lagi masyarakat Gayo yang membuat cecah reraya, generasi muda Gayo tidak mengetahui cara membuat cecah ini. Bahkan sebagian besar belum pernah mencobanya. Hal ini  juga dapat menjadi salah satu pemicu semakin langkanya makanan ini.

Saat ini kita hanya dapat menemui cecah reraya di rumah orang tua yang kebanyakan telah lanjut usia. Seperti Inen Bohari yang masih merasa cecah reraya merupakan hal wajib penyambut hari raya. Itu pun, jika mereka berhasil menemukan bahan-bahan pembuat cecah reraya.

Jika makanan khas ini tidak diteruskan oleh generasi yang lebih menyukai makanan instan, tak ayal jika cecah reraya dapat punah dari kalangan masyarakat Gayo.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus