Oleh: Wan Ulfa Nur Zuhra
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) segera mengesahkan Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia. Rancangan tersebut sudah mengendap sejak 2006 dan diabaikan oleh dua menteri sebelum Tifatul Sembiring. Perlawanan pun mulai muncul, tak hanya dari beberapa pemilik jasa internet, tetapi juga dari hampir seluruh pegiat pers. Perlawanan tersebut dikarenakan rancangan peraturan tersebut dianggap menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi lewat media online.
Apa yang ingin dilakukan pemerintah sebenarnya suatu hal yang tak perlu diherankan. Berbagai pemerintahan di dunia banyak yang berusaha membuat regulasi bahkan menutup diri sepenuhnya dari internet. Dari mulai yang paling tak kentara, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dengan menyensor komunikasi elektronik warganya, ke tindakan sensor yang terang-terangan seperti yang dilakukan China, sampai ke taraf ekstrim seperti yang dilakukan rezim pemerintah Korea Utara.
Pada dasarnya, hal tersebut memiliki alasan yang cukup bisa diterima oleh akal. Internet, berdasarkan filosofinya adalah merupakan self-regulated community/society (Komunitas yang mengelola dirinya sendiri). Tercatat beberapa badan regulasi di internet seperti IANA (the Internet Assigned Numbers Authority), ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Numbers), dan IETF (The Internet Engineering Task Force).
Namun, badan-badan tersebut bersifat non-profit dan sukarela. Selain itu, badan-badan ini lebih banyak mengatur mengenai aspek-aspek tekhnis dari internet itu sendiri. Pengaturan domain misalnya. Juga pengaturan penggunaan alamat IP, serta protokol-protokol tekhnis yang terkait dengan internet itu sendiri.
Sedang mengenai konten yang tersedia melalui internet, hampir tidak ada pembatasan sama sekali. Dalam hal ini internet, terutama world wide web merupakan pengejawatahan situasi anarki dimana setiap individu setara dengan individu lain dan berhak mengakses dan menyajikan informasi tanpa penyaringan apapun.
Kebebasan inilah yang lantas menjadi momok bagi setiap bentuk pemerintahan, karena segala jenis informasi dapat dikases dengan mudah oleh semua orang, tanpa batasan. Sedangkan berdasarkan definisinya, pemerintah adalah suatu badan atau organisasi yang mengatur dan membuat serta mengawasi pelaksanaan peraturan atau regulasi untuk ditaati oleh suatu masyarakat dalam suatu negara.
Perbedaan filosofis inilah yang kemudian menimbulkan konflik terus menerus antara internet dan pemerintah. Beberapa pemerintahan yang dewasa mampu mengelola konflik tersebut sedang beberapa pemerintahan lain terutama yang belum dewasa dalam hubungannya dengan masyarakatnya berusaha melakukan sensor terhadap internet atau bahkan memblokir internet sepenuhnya.
Sejatinya, pemerintahan dibentuk oleh masyarakat adalah untuk menciptakan suatu ketertiban melalui wewenangnya untuk membuat dan menegakkan peraturan. Dari sudut pandang ini, apa yang dilakukan oleh Menkominfo dapat dimengerti dan dipahami.
Meskipun demikian, hal itu tak sekonyong-konyong menjadikan rancangan peraturan menkominfo tentang konten multimedia tersebut menjadi sesuatu yang dibenarkan. Mengapa? Karena dalam rancangan peraturan tersebut terdapat beberapa hal yang dianggap berpotensi melanggar hak warga untuk mengakses dan menyampaikan informasi.
Pertama, potensi terjadinya pelanggaran hak privasi pengguna terhadap data-data pribadinya yang disimpan oleh penyedia layanan. Hal ini dikarenakan pemerintah berhak meminta data tersebut kepada penyedia layanan (dan tidak ada penjelasan secara implisit dalam peraturan menteri tersebut yang mewajibkan pemerintah untuk menjaga kerahasiaan data-data pribadi pengguna tersebut)
Kedua, definisi pelanggaran konten yang tidak jelas atau abu-abu. Definisi ini dapat digunakan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan-kepentingan yang tidak bertanggung jawab.
Ketiga, peraturan menteri ini akan sulit untuk diimplementasikan. Apakah pemerintah akan mampu ‘memaksa’ penyedia layanan yang berasal dari luar negeri untuk mematuhi rancangan peraturan ini? Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah memblokir akses layanan tersebut secara menyeluruh di Indonesia bila terjadi pelanggaran. Hal ini juga tidak akan efektif karena pengguna akan tetap dapat mengakses layanan yang diblokir dengan sedikit usaha.
Dapat dirasakan bahwa tiga hal tersebut lebih mengundang terjadinya pelanggaran hak warga negara untuk mengakses dan berbagi informasi. Pada gilirannya hal ini akan menghambat pertumbuhan dan kreativitas dari penyedia layanan lokal. dan hal ini menjadi ironis bila mengingat program pemerintah untuk menumbuhkan ekonomi berbasis kreativitas.
Selain tiga hal di atas, dampak dari rancangan peraturan menteri ini juga akan sangat luas dan merugikan. Secara mendasar, peraturan menteri ini sangat berpotensi untuk menghambat hak warga negara untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. yang mana hal ini akan menghambat partisipasi warga dalam berbagai bidang kehidupan seperti pengawasan terhadap pemerintah serta sarana untuk menyampaikan aspirasi warga.
Dalam bidang ekonomi, rancangan peraturan menteri ini sebagaimana disebutkan diatas berpotensi membunuh sektor layanan informasi karena beban tambahan terhadap penyedia layanan serta ancaman sanksi-sanksi terhadap penyedia layanan. Secara umum rancangan peraturan menteri ini juga menghambat arus informasi yang merupakan faktor penting dalam ekonomi yang semakin terintegrasi di masa sekarang ini.
*Koordinator Online SUARA USU