Oleh: Santi Herlina
Akhir tahun 2004 silam, Kenek masih berumur dua tahun. Goncangan yang begitu dahsyat datang. Semua makhluk berlarian, tak hanya manusia, hewan-hewan pun berlarian mencari tempat, menyelamatkan diri masing-masing. Sekejap kemudian air menghantam apa saja yang berdiri di kota itu, bak ombak ganas menyapu apapun yang ia lewati.
Setiap sudut kota digenangi, air tinggi melebihi atap rumah, sampah-sampah melewati arus deras. Air genangan amat keruh bercampur lumpur menyelimuti semua benda di dalamnya. Sesaat setelah itu, terlihat manusia berwajah lumpur di permukaan. Kayu-kayu kepingan rumah yang tersapu juga mengambang menemani puluhan bahkan ratusan mayat yang mengapung.
Tit..tit..tit. Klakson mobil berbunyi.
Lamunan Kenek sekejap buyar, ia baru saja teringat tragedi tsunami Aceh delapan tahun lalu yang membawa ayah dan ibunya pergi entah ke mana. Hingga kini ia tak pernah lagi bertemu. Kalau saja saat itu ia tak ditemukan Tim SAR di bawah sampah bekas tsunami, dan kalau tak ada Nenek Ami yang bersedia mengadopsinya, mungkin ia sudah mati terbawa arus dan sekarang entah di mana. Mungkin terinjak-injak atau membusuk karena tak satupun orang yang melihatnya.
Mobil sedan bernomor pelat Sumatera Utara membuka kaca mobilnya, seseorang mengulurkan tangannya keluar dari celah kaca mobil. Kenek pun mengulurkan tangannya, pengemudi sedan membuka genggaman tangannya dan melepaskan sejumlah koin ke permukaan tangan Kenek.
“Terima kasih, Pak,” katanya menundukkan kepala.
Hari ini, terik matahari tak seperti biasa. Keringat Kenek bercucuran tak henti. Bajunya setengah basah. Ia merasa kakinya keram. Mengapa tidak? Ia sudah berdiri sejak pukul sembilan pagi tadi. Sekarang matahari sudah tepat di atas kepalanya, yang artinya sekarang kira-kira sudah pukul satu atau dua siang.
Kenek belum makan apapun selain mencomot dua buah gorengan dagangan Nenek Ami tadi pagi sebelum kemari. Kenek memegang perutnya yang sesekali berbunyi, teman-temannya ikut tertawa mendengar suara dari dalam perut Kenek.
“Terus, terus.. op, op.. tahan,” suara Kenek melengking.
Tangannya amat lincah memberi aba-aba pada pengendara yang akan melewati persimpangan ini. Keneklah yang menjadi pemberi perintah, maka semua kendaraan yang akan melintas melaju berdasarkan instruksinya. Kendaraan yang ingin lewat tak akan lewat jika ia belum mengayunkan jari kanannya.
Berdiri tepat di perempatan, semua orang kini mengenalinya. Bocah bertubuh mungil, tingginya tak lebih dari satu meter, kulitnya hitam kecokelatan. Rambutnya sedikit berantakan sebab ujung rambut di kedua belah sisi kepala hampir melewati telinganya. Ia selalu memakai celana pendek dan kaos oblong berlengan pendek hasil guntingan tangannya. Peluit tua yang sudah berubah kecokelatan selalu menggantung di leher pendeknya saat ia mulai bertugas sebagai polisi cepek di persimpangan ini sejak umurnya masih delapan tahun.
Brukkk. Terdengar suara hantaman.
Sebuah mobil Jazz hitam benabrak bokong sedan Fortuner. Pengemudi sedan terhentak dan spontan keluar dari dalam mobil menuju bagian belakang mobilnya.
“Hei, bocah totol,” bentak si pengendara sedan sembari mengarahkan telunjuknya ke arah Kenek.
Kenek terkejut, matanya melotot. Ia heran kenapa bukan pengemudi Jazz yang dimarahi tapi malah dirinya.
“Gimana sih, lihat mobil gua penyot gara-gara lu,”
“Iya, Pak. Maaf, Pak.”
Si pengemudi sedan menampar kepala kanan Kenek, membuat wajahnya berganti arah. Kemudian ia berlalu begitu saja. Pegendara lain yang juga berada di sana diam saja, termasuk pengendara Jazz yang menabrak sedan Fortuner milik si pegendara tadi.
Kenek tak bisa salahkan si pengendara sedan sepenuhnya, bisa jadi tubrukan tadi sebab dirinya salah memberi aba-aba. Seperti biasa, setelah menghitung uang yang ia dapat barulah ia pulang ke rumah. Sekarang sudah lepas magrib, perutnya keroncongan, ia harus cepat pulang mengisi perut dan menyantap masakan Nenek Ami di rumah.
***
Sekarang pukul satu siang, Kenek baru pulang sekolah. Ia mendapati Nenek Ami sedang membuat bubur kacang hijau di dapur. Nenek Ami memang sangat gemar membuat makanan, apalagi bubur. Kenek sangat menyukai bubur buatan Nenek Ami. Setelah menghabiskan dua mangkuk bubur, Kenek pamit pergi ke persimpangan.
“Hari ini pergi, Ken? Cuacanya mendung tuh, kayaknya mau ujan,” kata Nenek Ami.
“Iya, Nek, entar kalo ujan cepet pulang,”
Setibanya di sana, teman-teman Kenek sudah tiba lebih dulu. Cuaca hari ini memang sangat mendung, pun kendaraan sangat macet membuat Kenek dan teman-temannya kesulitan mengontrol kendaraan yang akan melewati persimpangan. Tiba-tiba, hujan mengguyur daerah itu, badan mungil Kenek basah kuyup. Ia tetap sibuk mengontrol kendaraan yang lewat, kemudian beberapa saat setelahnya macet mulai lengang.
Kendaraan mulai sepi, hujan masih belum reda. Kenek masih saja berdiri di persimpangan, di bawah guyuran hujan yang mulai reda. Dari arah simpang di depan tempat Kenek berdiri, ia melihat sebuah mobil akan menyemberang ke jalan sisi sebelah kiri. Kenek berlari dari tempatnya berdiri, hendak menyeberang mendekati mobil sedan itu.
Tiba-tiba, dari arah berlawanan sebuah angkutan umum melaju kencang. Sedetik kemudian angkutan umum tersebut menabrak tubuh Kenek hingga terpelanting beberapa meter dari tempat semula. Persis di samping trotoar tubuh Kenek terbujur, cairan kental berwarna merah pekat mengalir dari sela kepala dan lubang hidungnya.
Semua orang berlari ke arah tubuh Kenek dan terkejut. Belum ada yang berani menyentuhnya, semua wajah di sana berubah, menutup mulut mereka dengan sebelah telapak tangan seperti ingin menahan tagis. Kenek si Polisi Cepek sudah mati, jasadnya terbujur kaku di jalan. Tak ada lagi si Kenek Polisi Cepek, tapi namanya tak akan hilang, sosoknya akan selalu diingat.