Oleh: Fredick Broven Ekayanta Ginting
Kreativitas kadang datang di saat terdesak. Kampung Nipah pernah merasakan sulitnya tanpa mangrove sehingga kemudian muncul kesadaran melestarikannya. Kini, penduduk menikmati hasilnya.
Sekitar tahun 80-an silam, pemerintah Orde Baru menggalakkan program pertambakan besar untuk menghasilkan udang windu secara nasional. Alhasil terpaksa dibuka lahan besar di pinggiran pantai. Termasuk di sepanjang pesisir pantai timur Sumatera Utara.
Salah satu lokasi yang dirombak jadi tambak adalah hutan bakau di Desa Sei Nagalawan Dusun III. Ahmad Yani kala itu masih anak-anak. Ia ingat sekali, dulu bakau masih banyak tumbuh di desa tempat tinggalnya ini, “tapi dibabat habis, selain untuk udang juga dibuka untuk permukiman,” kenangnya.
Tahun 1990-an, Ian dan penduduk lain mulai merasakan dampak kehilangan hutan bakau. Abrasi parah terjadi hingga ratusan meter. Pada 1993, tanaman bakau mulai ditanam secara swadaya oleh penduduk.
Penduduk harus mengeluarkan uang seadanya dan tenaga sendiri saat itu. Sayangnya, “pemerintah belum peduli,” sesal Ian. Pemerintah baru sibuk memikirkan lingkungan pasca 2004 ketika bencana Tsunami melanda Aceh, mulai maraknya isu pemanasan global, dan banjir bandang yang melanda Bahorok.
Pada 2009 pertama kali penduduk Desa Sei Nagalawan dusun III mendapat perhatian dari pemerintah. Saat itu Badan Penyuluh Hutan Mangrove (BPHM) II yang berkedudukan di Medan membantu menanam bakau. Setahun setelahnya diterima lima puluh ribu bibit bakau dari program Kebun Bibit Rakyat (KBR) Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
Hasilnya saat ini kawasan Desa Sei Nagalawan Dusun III memiliki sekitar 5 hektar areal yang dipenuhi mangrove. Terdiri dari tanaman bakau jenis Jeruju, Api-api, Nyirih, Ketapang, hingga Nipah.
Yang unik, Desa Sei Nagalawan Dusun III banyak ditumbuhi bakau jenis nipah (Nypa fruticans). Nipah adalah jenis mangrove yang tumbuh agak di belakang mangrove lainnya. Nipah hanya tumbuh jika ia disentuh air asin dan air tawar.
“Dulu kawasan Desa Sei Nagawalawan Dusun III banyak tumbuh bakau jenis Nipah, jadi orang menyebutnya Kampung Nipah,” ujar Ian. Sejak 2012 lalu, Kampung Nipah terbuka untuk umum dan kini telah menjadi objek wisata yang berbasis pendidikan dan lingkungan.
Sebagai tempat wisata, penduduk telah menyulap Kampung Nipah dengan mendirikan beberapa fasilitas. Kini, bila berkunjung ke Kampung Nipah, sudah ada pondok, homestay, perahu wisata, kafe, kedai penjual hasil budidaya mangrove, hingga musala. Ada juga jalan setapak dari bambu yang melintasi rawa dan bakau. Semua diciptakan untuk membuat pengunjung nyaman.
Ian mengatakan Kampung Nipah juga menawarkan paket edukasi mangrove kepada para pengunjung. Pengunjung bisa mengikuti kelas mangrove, keliling hutan mangrove hingga menanam langsung mangrove di kawasan Kampung Nipah. Melalui edukasi, ia harap pengunjung menyadari bahwa keberadaan mangrove sangat penting bagi keberlangsungan lingkungan dan alam.
Mangrove memiliki banyak manfaat yaitu sebagai tempat berkembang biak burung dan satwa, tempat tinggal alami untuk beragam jenis biota darat dan laut, sebagai pelindung pantai dari abrasi, sebagai penahan sedimen, hingga sebagai penyerap karbondioksida dan proses daur ulang oksigen. Oleh penduduk, mangrove diolah jadi penganan unik. Ada keripik dari jeruju, kolak dari nipah, dodol dari api-api, cendol dari daun jeruju hingga sirup dari buah perekat/pidadah.
Berawal dari Kelompok Nelayan
Kata Kepala Seksi Promosi Pariwisata Dinas Pariwisata, Budaya, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Serdang Bedagai Hadi Sumantri, usulan Kampung Nipah menjadi tempat wisata datang dari masyarakat Kampung Nipah sendiri. “Mereka yang mengembangkan, mereka pula yang lihat potensinya,” ujarnya.
Ian merupakan salah seorang dari kelompok masyarakat yang melestarikan bakau dan mengembangkan objek wisata Kampung Nipah. Kelompok tersebut berbentuk Koperasi Serba Usaha (KSU) bernama Muara Baimbai. Koperasi tersebut beranggotakan sekitar 60-an nelayan di Kampung Nipah. Ian merupakan wakil ketua koperasi tersebut.
Ian cerita inisiatif pembentukan koperasi ini berasal dari Sutrisno. “Pak Ketua (Sutrisno –red) bilang habis tenaga kita (nelayan –red) habis riwayat kita,” cerita Ian pada awal mula pendirian koperasi tersebut. Para nelayan sepakat dan terbentuklah pada 2009 lalu.Harapannya dengan adanya koperasi, mindset para nelayan berubah menjadi mandiri dan bebas dari tengkulak. “Nelayan identik dengan kemiskinan, kebodohan,” tambahnya. Melalui koperasi nelayan ditujukan untuk berkembang dan lebih sejahtera.
Penanaman bakau dan pengembangan Kampung Nipah menjadi objek wisata merupakan hasil dari pengembangan koperasi ini. Selain itu, penduduk membudidayakan mangrove menjadi produk lain yang mampu memberi nilai tambah dan menjadi sumber pemasukan ekonomi lain bagi penduduk.
Andy Boy, lulusan Universitas Negeri Medan yang berkunjung ke Kampung Nipah mengapresiasi penduduk yang mampu dengan kreatif menciptakan kawasan ekowisata. “Ini kan masih jarang ada,” ujarnya. Namun ia menilai Kampung Nipah masih perlu banyak pembenahan jika ingin menarik lebih banyak pengunjung. “Kebersihannya masih kurang, perlu ditingkatkan perawatan,” lanjutnya.
Tulisan ini pernah dimuat pada Rubrik Podjok Sumut Tabloid SUARA USU Edisi 103, Juni 2015.