Oleh: Ridho Nopriansyah
Tidak, kuncup-kuncup nyeri sepertinya mulai kurasakan. Cahaya menusuki mataku pelan. Ah, apakah aku akan segera terjaga dari tidur ini? Aku tidak suka mendapati keadaan kalau aku masih akan ada pagi ini. Dengan macam keberhasilan terlebih buntut kegagalan atasmu.
“Hei, Angin, bangun!”
Lamat-lamat aku mendengar sayup suara seseorang. Suara perempuan. Mungkin saja itu suara Demit. Bisa jadi Lana. Tapi tunggu, mengapa mereka ada di tempatku? Maksudku, jarak rumah kami puluhan kilometer dan aku mendengar suara salah satu dari mereka di kamarku. Mustahil.
“Sepertinya kamu terlalu banyak minum. Bangunlah! Sudah pukul delapan. Sebentar lagi anak-anak kantor yang lain datang. Damn.”
Sekarang aku tahu suara siapa itu. Hanya satu orang yang selalu membubuhi perkataannya dengan damn. She must be Demit. Perlahan aku membuka mata. Dan jelaslah semuanya. Demit sedang merapikan meja kerjanya. Sepertinya dia sudah mandi.
“Aku lelah sekali. Mengapa kamu tak membangunkanku lebih awal?” sambil bangkit aku mencoba membela diri. Aku baru sadar ternyata aku tidur di kantor, di meja kerjaku. Bukan di kamar.
“Sudah kulakukan, nona. Sebetulnya aku mau tanya. Apa kamu selalu begini? Maaf, seliar ini?” pertanyaan Demit kedengarannya terlalu serius. Tak cocok dikonsumsi pagi-pagi.
“Maksudmu? Tadi malam kita cuma minum, dan wajar bukan? Sedikit santai setelah deadline yang nyaris merenggut satu minggu kita,” aku jelas memberikan alasan yang pantas.
“Bukan itu, lebih tepatnya pria-pria yang kerap menjemputmu,”
“Hahaha,” kesadaranku sepenuhnya muncul. Lucu sekali. “Mereka cuma teman biasa,” aku menjawab seadanya.
“Aku enggak bodoh, Angin. Apa teman biasa yang kemudian menginap semalaman di rumahmu? Aku mau kamu hati-hati.”
“Ya ya baiklah. Aku memang mengencani mereka satu per satu,” aku lantas bangkit dan meninggalkan Demit dengan bola matanya yang nyaris keluar.
“Damn,” terdengar ia mengutukiku dari belakang.
***
Pip pip pip
Sore, jelang pulang kantor. Ponselku berdering. Api. Ada apa dia mengirimiku pesan?
Aku sudah di depan. Kita jalan bareng ya.
Kusempatkan menyingkap tirai kaca dan sedikit melongok. Betul saja, aku melihat Honda CR-V Api terparkir. Lantas aku turun. Kupikir tak masalah jalan sebentar dengannya. Lagi pula aku tak ada janji dengan siapa-siapa.
Baiklah. Tunggu sebentar. Kubalas pesan singkatnya.
Sesampainya di lobi, Demit melirikku dengan tatapan penuh selidik. Sepertinya ia tengah menduga-duga apa yang akan terjadi nanti.
“Angin, pria lain lagi? Damn.”
Aku hanya tersenyum berlalu meninggalkan Demit.
***
Dari kantorku, mobil Api bergerak lamban menuju salah satu restoran hotel. Kemacetan rupanya mulai mengular. Katanya, Api hendak berbicara serius. Padahal baru dua hari sejak terakhir kali berhubungan. Jadi agak aneh jika tiba-tiba dia datang dan mengajakku jalan. Mau berbicara serius pula.
“Kamu bukan mau melamarku kan?” Setelah duduk di satu meja, aku langsung menuntaskan rasa penasaranku.
“Memang ada hubungannya dengan prosesi lamaran,” Api menjawab namun ada kesan menggantung di kalimatnya. Pandangannya terpaku pada daftar menu di tangannya. “Pesan menu biasa?” kepalanya mendongak. Matanya menangkap pandanganku.
“Boleh,” jawabku, kemudian bertanya lagi, “Jadi kamu betul mau melamarku. Ini tidak lucu.”
“Jamela. Aku mau menikahi perempuan bermata air itu,” ucap Api setelah memesan dua paket makan malam kepada pramusaji.
Sampai di situ aku tercengang. Maksudku, Api bukanlah pria seperti ini. Aku tahu sebejat apapun Api, dia tetap mau menikah. Tapi menaruh hati pada perempuan yang tak pernah menjejakkan kaki di kelab malam. Bukanlah tipe Api. Jamela, sepengetahuanku ia perempuan biasa saja. Lagi pula air dan api tak akan pernah bersatu.
“Jujur, aku sedikit terguncang. Semuanya terserah kamu. Namun harus serius. Jangan mempermainkannya.” Bagaimanapun aku tak punya hak melarang Api. Aku tak merasakan kehilangan berarti, maksudku aku tak merasakan ada kuncup-kuncup nyeri menusukku.
“Alah, santai. Dia enggak seperti kamu kok.”
Sebetulnya aku cukup tersinggung dengan pernyataan Api. Namun pandanganku keburu terhenti pada sosok di luar dinding kaca yang membatasi restoran. Dia, aku tak mungkin salah lagi. Hanya satu orang yang memiliki tatapan seperti itu. Satu-satunya pria yang mampu menggetarkanku lahir batin. Dia menatapku, dan aku mati dengan ragam perasaan. Guntur. Ia menyambar-nyambar.
***
Wahai pemilik mata elang. Jangan mengawasiku begitu. Tatapanmu menghancurkan ruang-ruang tempatku berpegang.
“You were felling happy, weren’t you? Tidur dengan pria itu tadi malam, hah?” Guntur menghantamku dengan pertanyaannya. Sakit. Kurasakan tambahan rasa itu merajam hatiku. Beraninya ia berkata begitu. memojokkanku. Oh, seketika tubuhku memanas. Kata-katanya cukup memberiku alasan untuk…
Plaaaak
Alasan untuk melakukan itu, aku juga tak tahu pasti. Aku hanya merasa ia sangat lancang. Apa hak dia menuduhku begitu. Pun seandainya betul, dia tak memiliki kewenangan melarangku bergumul dengan pria mana saja, bukan?
Oh, aku tetap tidak mampu menatap sepasang matanya. Keduanya tak bisa diam. Liar menusukiku. Aku merasa ditelanjangi. Pun dalam keadaan seperti ini. Tentu hanya kuteriakkan dalam hati. Belum bisa kumuntahkan langsung ke mukanya.
“Jangan lari lagi. Berhentilah padaku, Angin. Kumohon,” kali ini Guntur begitu dekat. Tadi dia memakiku, kini dia memujaku. Ada apa denganmu?
Astaga. Sesak dalam dadaku tak bisa lagi kubendung. Aku tahu arah inginmu. Sebab saat kamu menyambar, ada aku meniti di tepianmu. Kalau saja—aku membenci frasa ini. Ia pertanda semua ketidakberhasilanku. Penyebab aku tak ingin terjaga di pagi hari—kamu lebih cepat mengungkapkan ini. Dulu, sebelum ujung-ujungmu menancap di tanah. Kupastikan aku mau. Tapi tidak hari ini. Baik kau maupun aku tak dapat saling merengkuh lagi. Sayang, aku gamang. Oleh keputusanku sendiri.
“Aku pulang saja, sebentar lagi istrimu juga kembali bukan. Selamat sore, Guntur.” Aku bergegas keluar dari kamarnya sambil menyeka air mata dengan lipatan di bajuku. Tak terperi amuk perasaanku kini.
***
Guntur, apapun yang terjadi sejak hari ini, pun kita tak bersatu. Akuhakul yakin kita akan selalu bersentuhan. Angin akan selalu bergerak mengisi ruang-ruang yang kosong dan panas. Guntur selalu tercipta dari lompatan ekstrem keduanya. Aku cukup puas menjadi bayanganmu. Angin.