BOPM Wacana

Penguasa Lautan Kini Mengkhawatirkan

Dark Mode | Moda Gelap

Keberadaan hiu di lautan semakin ditakuti sebagian manusia. Bukan karena buas, tapi karena hampir punah. Semua pihak harus sama-sama menghentikan itu.

2014 - Hiu

2014 - FerdiansyahHiu punya identitas sebagai pemangsa nomor satu di lautan. Coba ingat berapa banyak film yang mengangkat hiu sebagai pemburu manusia seperti Jaws atau Shark yang akhirnya juga memengaruhi pikiran kita kalau hiu juga hewan buas pemakan manusia. Namun, realitasnya kini justru berbalik. Manusia jadi makhluk buas pemakan hiu.

Demi kepentingan pribadi, sirip hiu dihidangkan dalam semangkuk sup di restoran-restoran maupun hotel di seluruh dunia. Untuk memenuhi kebutuhan sirip hiu dunia, data FAO tahun 2010 menunjukkan Indonesia kokoh di puncak daftar pemasok sirip hiu terbesar di dunia. Daftarsembilan belas negara lain yang juga tercatat sebagai pembunuh hiu terbesar di dunia adalah India, Spanyol, Taiwan, Argentina, Mexico, Amerika Serikat, Malaysia, Pakistan, Brasil, Jepang, Perancis, Selandia Baru, Thailand, Portugal, Nigeria, Iran, Sri Lanka, Korea Selatan dan Yaman.

Seperti dilansir Mongabay.co.id dalam sebuah terbitan berjudul ‘Global Catches, Exploitation Rates and Rebuilding Options for Sharks‘. Worm dan tiga peneliti lain dari Dalhousie University berkolaborasi dengan sejumlah pakar dari University of Windsor, Kanada, Stony Brook University New York, Florida International University di Miami danUniversity of Miami, melakukan perhitungan kematian hiu dan mencari pemecahan untuk melindungi spesies hiu di dunia.

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian itu, angka kematian hiu diperkirakan sekitar 100 juta ekor di tahun 2000 dan 97 juta ekor di tahun 2010. Kemungkinan rentang kematian hiu setiap tahun adalah antara 63 juta hingga 273 juta. Padahal, hiu termasuk hewan yang lamban perkembangbiakannya. Satu ekor induk hiu biasanya beranak sampai dua belas ekor saja.

Masalah perburuan hiu sebenarnya bisa dibilang kompleks, karena melibatkan berbagai dimensi dalam isu lingkungan, baik itu dimensi ekonomi, sosial, budaya hingga konservasi itu sendiri. Upaya menghentikannya pun bukan sebuah perkara mudah. Selama masih ada pembeli yang mau menerima sirip-sirip ini, maka pasar akan selalu terbuka dan perburuan masih akan terus terjadi.

Butuh juga sebuah peninjauan secara menyeluruh termasuk segi ekonomi politik untuk mengatasinya. Tidak hanya cukup menangkap pelaku perburuan, namun juga memperkuat regulasi dan undang-undang serta penegakan hukum di lapangan terhadap negara pengirim maupun penerimanya.

Bersama-sama Hentikan Perdagangan Hiu

Selain menekan pemburu dan pemerintah, tentu pihak terakhir yang berhadapan dengan sirip hiu adalah konsumen. Memang kenapa lantas hiu bisa jadi makanan kelas atas di restoran atau hotel? Masyarakat sebenarnya cenderung mengonsumsi hiu karena terjebak oleh pemikiran yang sudah terbangun sejak dahulu.

Ternyata mitos yang terlanjur melekat di masyarakat muncul dari zaman Dinasti Ming. Para kaisar atau raja sering memakan sirip hiu waktu itu hingga dianggap sebagai Chinese Delicacy Luxurious Item—makanan Cina yang lezat dan mewah. Ada juga anggapan salah lainnya dalam masyarakat mengenai khasiat dari sirip ikan hiu yang dikatakan dapat meningkatkan gairah dan kemampuan seksual seorang pria.

Para praktisi kesehatan dan pakar kuliner justru mengimbau masyarakat tidak mengonsumsi sirip hiu karena hiu bukan makanan yang baik untuk kesehatan. Faktanya, untuk membuat tampilannya lebih menarik, sirip hiu sering ditambahkan hidrogen peroksida yang dapat meningkatkan radikal bebas dan berbahaya bagi tubuh manusia. Cara memasak sirip dan daging ikan hiu itu dengan panas yang tinggi dan waktu yang lama juga memungkinkan besar proteinnya sudah hilang. Dibanding lagi, ceker ayam mengandung kolagen yang lebih tinggi dibanding sirip ikan hiu.

Namun kabar baik muncul dari Cina, negara konsumen sirip hiu nomor satu dunia. Penjualan sirip hiu khususnya di Beijing, mulai menurun. Ini menyusul peringatan keras dari pemerintah Cina yang selama enam bulan terakhir melarang semua jamuan makan yang menghadirkan menu sirip hiu. Harga sirip hiu kini juga mulai menurun dua puluh hingga tiga puluh persen di pasar ikan utama di Macau dan Hong Kong. Beberapa restoran di Beijing juga telah menghapus menu tersebut.

Sementara di Eropa dan California yang kerap menjadi celah yang memungkinkan transaksi penjualan bahan sirip hiu sudah mulai ditutup.

Dukungan lain muncul dari dalam negeri. Garuda Indonesia mengeluarkan kebijakan embargo dan mulai efektif diberlakukan tanggal 8 Oktober 2013. Walaupun sejumlah maskapai penerbangan seperti Air New Zealand, Cathay Pacific, Emirates Airlines, Fiji Airways, dan Korean Air telah lebih dulu mengeluarkan kebijakan internal Embargo On Shipment All Kind Shark Fin atau embargo terhadap pengiriman semua jenis sirip hiu dalam penerbangannya.

Bagaimanapun ini sungguh mendukung gerakan kampanye antiperdagangan hiu #SOSharks yang diusung oleh WWF-Indonesia sejak 2013. Kita sebagai masyarakat bisa apa? Hentikan konsumsi hiu.Kita juga dapat terlibat aktif dalam kegiatan kampanye anti perdagangandan konsumsi hiu serta menyebarluaskan pengetahuan tentang konservasi hiu kepada lingkungan sekitar kita.

Sharks are friends, not food.

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komputer USU 2011 dan aktif sebagai Pemimpin Perusahaan Pers Mahasiswa SUARA USU.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4