BOPM Wacana

Penerapan Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan, Bisakah?

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

 

Oleh: Nikyta Ayu Indria

Zaman semakin berkembang dengan pesat. Kebutuhan masa kini mau tak mau sejalan dengan kemajuan dari globalisasi. Konsumsi dan produksi berkelanjutan menjadi bentuk solusi yang ditawarkan.

Menjelang perayaan atau peringatan besar, masyarakat lapisan menengah ke atas beramai-ramai mengunjungi supermarket atau pusat perbelanjaan guna memenuhi segala kebutuhan. Berbagai macam yang di beli tak jadi masalah asal dengan begitu bisa merasakan euforia acaranya masing-masing. Paling banyak misalnya makanan kaleng dan minuman kemasan.

Sah saja sebenarnya jika ingin berbelanja demikian. Toh, kita—masyarakat yang penting bisa menikmatinya. Kalau kata seseorang yang saya kenal ‘nikmati saja dahulu, belum tentu besok bisa seperti ini. Apa yang terjadi besok, ya besok saja dipikirkan’. Sederhana tapi sebenarnya salah.

Lebih seringnya lagi adalah ketika berbelanja sulit membedakan antara belanja produk yang hanya memenuhi keinginan semata, atau membeli barang yang benar-benar sedang dibutuhkan. 

Setelah acara tersebut berakhir, lalu apa? Sampah bertumpuk. Bahan-bahan berbentuk kaleng dan kemasan yang di beli tadi di buang, di pungut oleh petugas sampah. Setelah itu di bawa kemana? Ke Tempat Pembuangan Akhir yang penuh dengan bahan-bahan yang sama. Mirisnya sudah menggunung bahkan. Karena apa? Tidak terurai dalam waktu cepat. Tambah lagi sampah masuk setiap hari, proses penguraian makin lama.

Itu yang masih kita sering dengar. Belum lagi bahan-bahan lain yang mencemari lingkungan seperti puntung rokok, styrofoam, kantong plastik dan baterai. Ada jangka waktu yang berbeda tiap bahan tersebut untuk terurai, dan itu memerlukan waktu berdekade bahkan bisa selamanya.

Menurut persepsi orang, satu orang yang melakukan hal tersebut tak akan berdampak apapun. Namun jika cara ini diikuti oleh seratus orang yang beranggapan sama pula, bagaimana hasilnya? Kembali lagi lingkungan yang menjadi korban akibat tercemar.

Konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992 memunculkan pengakuan bahwa penyebab utama kerusakan lanjutan lingkungan ada pada pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan. Kemudian pada 2012, di Konferensi Rio+20 PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan, kepala-kepala negara sepakat untuk mempercepat penerapan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan dengan mengadopsi Kerangka Kerja 10 Tahun Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan, yang salah satu programnya yaitu memperbanyak komunikasi guna mendorong perubahan sikap Pola Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan.

Menurut pendidikanekonomi.com, pengertian konsumsi berkelanjutan merupakan suatu pola konsumsi barang dan jasa yang tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan guna memenuhi kebutuhan dasar manusia. sementara produksi berkelanjutan merupakan mekanisme sistematik yang mengatur konsumsi suatu produk benar-benar mengikuti kaidah yang menjamin keseimbangan ekosistem dan kesinambungan khususnya sumber daya alam.

Baik konsumsi berkelanjutan maupun produksi berkelanjutan sasarannya yaitu mengarahkan kita pada pola berkonsumsi yang lebih sedikit, tetapi dengan manfaat yang lebih besar. Memilih produk dengan masa pakai lebih panjang dan lebih bisa didaur ulang. Serta mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, misalnya dampak terhadap ekonomi nasional misalnya.

Artinya adalah ketika para konsumen sadar bahwa pentingnya menerapkan konsumsi berkelanjutan, bisa saja retail menerima permintaan untuk produksi berkelanjutan. Atas permintaan tersebut retail menjual produk ramah lingkungan yang memiliki dampak langsung untuk konsumen.

Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan bumi yang sudah tidak sehat. Pemanasan global, efek rumah kaca, suhu bumi meningkat adalah istilah yang sering kita dengar.

Pada tahun 2015 lalu, World Wide Fund of nature (WWF) Indonesia telah melakukan kampanye mengajak dengan hashtag #BeliyangBaik yang secara intensif kepada konsumen dan retail untuk membeli dan menjual yang berkelanjutan. Kampanye ini didorong oleh fakta bahwa mayoritas konsumen Indonesia sudah menyadari bahwa produk yang mereka konsumsi, bukanlah produk ramah lingkungan.

Riset menunjukkan faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan produk pada perilaku konsumen yaitu harga 73%, manfaat produk 64%, dan dampak terhadap lingkungan 10%. Sumber informasi dalam hal memilih produk lebih banyak lewat televisi yaitu sebesar 80%, kemudian media sosial 57%, dan berasal dari rekomendasi 56%.

WWF-Indonesia juga mengurutkan daftar produk ramah lingkungan yang diketahui dan digunakan seperti makanan: minyak kelapa sawit, makanan laut, dan vitamin; serta perawatan diri: pasta gigi, sampo, dan sabun. Sementara produk yang yang diketahui berpotensi merusak lingkungan seperti elektronik: lemari es, pendingin ruangan, pengering rambut; makanan: kaleng, cepat saji, beku, minuman: kemasan, alkohol; personal care: pembalut wanita, gel rambut/hair spray, popok bayi, tisu; perlengkapan rumah tangga: kertas, bohlam; perawatan rumah: produk pembersih seperti detergen, pembersih lantai.

Nielsen—perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran modern melakukan survei pada tahun 2017 terkait Persepsi Retail dan Konsumen Terhadap Konsumsi Berkelanjutan. Hasil survei menunjukkan respon positif datang dari konsumen, setidaknya 63% responden bersedia menggunakan/membeli produk ramah lingkungan walaupun harganya lebih mahal dari produk biasa.

Hal ini dipengaruhi oleh faktor pendorongnya yakni merasa bertanggung jawab untuk lingkungan, merasakan dampak pemanasan global secara langsung (61%), dan merasa bahagia karena sudah berkontribusi untuk menjaga lingkungan (52%). Sementara yang menjadi penghambatnya, yaitu harga (65%) dan tidak tersedia di toko (53%).

Diantara total responden keterlibatannya terkait hal ini yaitu membuang sampah pada tempatnya (79%), menggunakan air seperlunya (54%), menggunakan listrik seperlunya (59%) dan mengurangi rokok (48%). Melakukan perlakuan lebih maju seperti menghindari penggunaan plastik (46%), lebih memilih produk yang bisa di daur ulang (43%), dan membeli produk yang memiliki label ramah lingkungan (18%).

Bagaimana dengan retail?

Pada umumnya, retail lokal dan nasional membuat keputusan persediaan berdasarkan permintaan konsumen dan legalitas dari produk tersebut, terutama dalam hal menghemat biaya. Retail mengetahui tentang produk ramah lingkungan, namun lebih fokus untuk menyediakan produk yang dianggap netral yaitu produk yang dianggap legal namun belum tentu ramah lingkungan. Karena produk tersebut lebih banyak dicari dan memberikan keuntungan.

Untuk hal ini diperlukan adanya pemahaman mengenai pentingnya konsumsi dan produksi berkelanjutan. Misal melalui iklan layanan masyarakat, brosur, aplikasi, buku saku. Melalui dari tulisan ini diharapkan juga dapat menjadi salah satu bentuk pemahaman tambahan.

Hal penanganan yang sudah dilakukan di atas sudah baik. Tak apa bila sedikit demi sedikit diterapkan asal konsisten. Satu orang yang melakukan kebaikan, lambat laun juga akan ada yang mengikuti.

Untuk berubah langsung menjadi berkelanjutan agaknya memang sedikit berat. Tapi setidaknya bisa meminimalisir termasuk buang energi. Penggunaan 4R (recycle, reduce, reuse, refill) serta gerakan menanam pohon juga jangan dilupakan.

Kampanye mengenai jual-beli berkelanjutan diharapkan terus digaungkan oleh anak-anak muda Indonesia. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4