BOPM Wacana

Menilik Dilematis Efek Post-Kolonialisme di Indonesia

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh Hadissa Primanda

Foto: Hadissa Primanda
Foto: Hadissa Primanda

Judul: Ambivalensi, Post Kolonialisme Membedah Musik sampai Agama di Indonesia

Editor: Budiawan

Penerbit: Jalasutra

Tahun terbit: 2010

Jumlah halaman: 164 halaman

Kepergian penjajah dari Indonesia sesungguhnya banyak meninggalkan ambivalensi nan dilematis. Ada terlalu banyak luka sejarah yang ia torehkan, namun ada juga kemajuan peradaban yang ia tinggalkan sebagai kenangan.

Buku ini terdiri dari sembilan esai yang ditulis oleh mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya. Mereka mengupas mengenai teori post-kolonialisme yang sesungguhnya masih baru berkembang untuk diperbincangkan, dengan ambivalensi sebagai kata kuncinya. Ambivalen karena kedatangan penjajah ke Indonesia sesungguhnya punya dua wajah yang bertolak belakang saat pada akhirnya ia pergi. Mereka boleh jadi menguras habis air mata rakyat Indonesia hingga menimbulkan dendam, namun ada banyak hal baik yang mereka wariskan dan masih berdampak hingga sekarang, setelah puluhan tahun mereka tiada.

Seperti esai dari Norita N Sembiring berjudul Ambivalensi Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera Utara. Ia memaparkan sikap ambivalensi masyarakat Karo, yang pada awal ekspansi Belanda ke Sumatera Timur menyerang, membakar, dan membabat perkebunan-perkebunan milik Belanda. Mereka juga menolak mentah-mentah upaya pengembangan pendidikan dan kesehatan serta pengikisan budaya yang dilakukan Belanda. Hingga pada akhirnya, usaha penginjilan Belanda ini melahirkan hibriditas dalam masyarakat Karo itu sendiri. Hibriditas di sini merupakan ciri kehidupan batin internal seserang yang terbelah dan bingung, tetapi tidak dibedakan berdasarkan gender, kelas, atau lokasinya (hal 89).

Identitas baru inilah, yang menyebabkan masyarakat Karo menerima hal yang baru yang ditawarkan misionaris, namun tetap mempertahankan apa yang sudah mereka miliki sedari dulu. Lalu kolonial menjadi sosok yang dirindukan karena kenangan kemajuan yang diberikannya.

Ada pula cerita konflik batin dari seorang Kartini, yang merasa benci sekaligus cinta pada keberadaan Belanda. Pada esai berjudul Dalam Himpitan Feodalisme dan Kolonialisme: Membaca Ulang Kartini melalui Lensa Pramoedya Ananta Toer, Choirotun Chisaan mencoba membedah ambivalensi dari sosok Kartini berdasarkan buku Panggil Aku Kartini Sajakarya Pramoedya Ananta Toer. Kartini yang notabane-nya adalah seorang priayi yang terpelajar, juga merasa dilema terhadap kolonial. Sebagai priayi, ia terbiasa hidup dengan sikap perlakuan kebangsawanan.

Seperti yang ia tuliskan dalam salah satu suratnya, jika ia ingin lewat sementara saat itu adiknya sedang duduk, maka sepantasnyalah si adik turun dan menekuri tanah hingga orang itu tidak terlihat lagi. Ia gerah dengan adanya lapisan-lapisan masyarakat yang demikian: dari atasan ke bawahan, yang tua ke yang muda dan sebagainya. Baginya, nilai manusia itu sendiri terletak pada kecakapan, kemampuan, dan jasanya terhadap masyarakat.

Maka dari itu ia ingin menyerap budaya Barat yang sudah lebih terbuka pemikirannya di mana manusia itu dipandang sama. Namun kenyataan yang ia temui berbeda. Pemerintahan kolonial yang ada pada saat itu sangat kejam dan menindas pribumi dengan sistem tanam paksanya. Dengan demikian ia menyimpulkan bahwa Belanda yang saat itu ditemuinya bukanlah “Belanda yang sesungguhnya”. Ia kemudian menerawang pada masyaraka Belanda yang hidup di negrinya sendiri, yang dipandangnya lebih beradab, demokratis, dan egaliter.

Membaca buku ini akan membuka mata kita mengenai keberadaan kolonial yang sebenarnya. Seperti yang kita tahu, dari bangku SD kita sudah dijejalkan dengan cerita Belanda yang teramat kejam dengan masa penjajahan yang seperti tiada akhir; 3,5 abad. Namun sikap ambivalensi yang dikupas pada buku ini menegaskan bahwa ada banyak nilai-nilai baik dari Belanda yang kita serap dan kita aplikasikan hingga saat ini.

Dari segi buku bergenre pemikiran sejenis, buku ini cukup ringan untuk dibaca. Dengan jumlah halaman yang tidak begitu tebal dan dikemas dalam bahasa yang mudah dimengerti. Selain itu, kesembilan esai yang terangkum dalam buku ini, membahas berbagai jenis masalah yang berbeda, dari musik, budaya, hingga agama, yang dekat dengan kehidupan kita sehingga lebih mudah dicerna. Tak hanya cerita kristenisasi di tanah Karo dan konflik batin Kartini, buku ini juga mengulas ambivalensi dari sejarah indorock, tindakan mimikri dalam musik Indonesia yang justru lari dari konteks yang sebenarnya, serta perlawanan barat dan Islam yang seakan tiada usai.

Ada cukup banyak istilah yang masih awam dalam setiap esai hingga terkadang sulit dimengerti, namun bisa menambah pembendaharaan kata-kata dari pembaca. Buku ini didedikasikan kepada mereka yang ingin mencoba membaca buku-buku pemikiran.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4