BOPM Wacana

Melihat Everything Everywhere All at Once Sebagai Upaya Penerimaan dalam Benturan Moralitas

Dark Mode | Moda Gelap
Sumber Istimewa

 

Judul Everything Everywhere All at Once
Pemain Michelle Yeoh, Stephanie Hsu, Ke Huy Quan, Jenny Slate,

Harry Shum Jr., James Hong, Jamie Lee Curtis

Sutradara/Penulis Daniel Kwan dan Daniel Scheinert
Rilis 11 Maret 2022
Durasi 140 menit
Genre Fantasi, aksi, ilmiah, petualangan
Tersedia di Amazon Prime Video, Apple TV

Bukan hanya sajian dengan kompleksitas sinematik yang imajinatif. Film ini berhasil mengangkat konflik yang terasa begitu dekat. Tentang memahami, merelakan, dan memaafkan.

Setiap tindakan yang kita lakukan dalam hidup adalah pilihan yang mengarahkan kita pada sebuah konsekuensi. Ini adalah sebuah keniscayaan yang pasti. Namun, pernahkah kita mencoba mempertanyakan pilihan yang kita ambil di masa lalu? Apakah pilihan berbeda yang kita ambil di masa lalu mungkin mengarahkan kita pada konsekuensi yang berbeda pula?

Dalam pemahaman ilmiah, pertanyaan tersebut dijawab dengan konsep yang dinamakan multi-semesta. Sebuah pemahaman tentang semesta yang lahir atas pilihan berbeda yang kita ambil. Konsep multi-semesta ini menjadi premis dasar yang diangkat dalam film Everything Everywhere All at Once



Konsep ini belakangan kembali populer dalam industri film melalui produksi Marvel Cinematic Universe. Everything Everywhere All at Once merupakan film bergenre aksi komedi fiksi ilmiah petualangan. Disutradarai oleh Daniel nyatanya film ini jauh lebih berhasil mengemas premis multi-semesta. Film ini dengan baik menjelaskan multi-semesta melalui dialog dan visualnya. Sangat sulit untuk tidak mengatakan film ini telah menjadi “landmark” baru di genrenya. 

Berkisah tentang seorang ibu bernama Evelyn, seorang imigran Cina di Amerika yang bekerja sebagai penatu. Ia harus berkutat dengan masalah perpajakan yang rumit dan masalah keluarga yang jauh lebih rumit. Namun, masalah hidup Evelyn itu malah membuka sebuah pintu gerbang multi-semesta yang membawa dirinya kepada peran pentingnya dalam tatanan semesta yang lebih luas.

Film ini dikemas dengan gaya visualisasi yang penuh warna, artistik, terasa absurd namun menyenangkan. Gaya penyutradaraan eksentrik ini justru mendorong visualisasi multi-semesta yang cukup liar namun terarah. Sesuai dengan konsep dasarnya yang memang harus mendorong sisi imajinatif sutradaranya agar dapat tervisualisasi dengan baik.

Seperti pada adegan yang membahas tentang semesta dimana manusia memiliki jari-jari berbentuk sosis atau hanya sebongkah batu di tengah bukit bebatuan. Permainan komedi visual yang digunakan juga berada pada porsi yang tidak berlebihan. Alih-alih hanya menarasikan konsep multi-semestanya, film ini tidak “pelit” dalam menunjukkan keberagaman wujud multi-semesta yang ingin ditampilkan. 

Walaupun secara garis besar film ini terlihat seperti film fantasy-superhero, melalui adegan aksi dengan beragam alat-alat canggih, namun Everything Everywhere All at Once bukan hanya sekedar film yang demikian. Jika babak pertama film ini adalah babak pembuka bagi penonton untuk mengenal plot dan karakter, maka babak kedua dan ketiga film ini menyelam lebih dalam ke hati penontonnya. Sebuah pemaknaan tentang pertentangan moralitas yang filosofis. Upaya melihat hidup sebagai perjalanan tidak pasti yang dinikmati. Everything Everywhere All at Once adalah benturan dua pemikiran.

Nihilisme Bukan Solusi

 

Sumber Istimewa

 

“Hidup itu nihil, baik-buruk, benar-salah ciptakan sendiri, orang lain juga ciptakan versinya sendiri, maka buatlah sesukamu.” Nietzsche mengartikan kalimat ini sebagai pemaknaannya akan hakikat hidup yang sejati. Ketika sistem kepercayaan dipisahkan dan sistem nilai runtuh, maka manusia akan berada pada kondisi nihil. Kondisi ketika kita menikmati jati diri sebagai manusia yang bebas berakal. 

Kita mungkin pernah memikirkan tentang hakikat kehidupan. Mengapa fase kehidupan yang kita jalani rasanya hanya lingkaran berulang yang terus berjalan. Semua hal yang kita lakukan saat ini terasa tanpa tujuan dan tidak berarti. Hingga akhirnya membawa diri pada kesadaran yang skeptis. “Nothing really matters.” 

Perasaan ini pula yang dirasakan oleh Joy. Karakter antagonis dalam film ini. Seorang anak yang sedang tertekan dan kurang mendapat perhatian. Merasa bahwa kesedihannya adalah bagian dari sebuah proses menuju kesedihan yang lain. Bahkan dalam tatanan multi-semesta sekalipun. Kesadaran tersebut kemudian membawa dirinya pada sebuah kesimpulan, “nothing matters.” Tidak ada yang penting lagi di dunia ini. Joy menyadari bahwa tidak ada nilai apa pun yang mengikatnya. Prinsip moral tidak lagi menjadi batasan yang menghalanginya. Dan kematian absolut menurutnya adalah kebebasan yang sejati.

Prinsip nihilisme kuat digambarkan dalam film ini melalui dialog dan simbol-simbol yang ditunjukkan melalui Joy. Joy adalah perwujudan dari nihilisme itu sendiri. Kesadaran nihil inilah yang melahirkan motifnya dalam menciptakan materi yang disebut Bagel. Sebuah materi yang memberikannya pilihan untuk tidak menjadi wujud yang pernah “ada”. Simbol keputusasaan Joy pada realita.



Apakah pilihan hidup yang Joy jalani adalah sebuah jalan yang sejati? Jika bersikap nihil pada dasarnya memilih skeptis pada kehidupan, lantas apakah sikap optimis bukan pilihan? Pertanyaan inilah yang coba dijawab Evelyn dengan membenturkan prinsip moralnya terhadap pilihan moral yang Joy ambil.

Albert Camus pernah mengatakan, “Kebahagiaan (kebebasan) itu adalah hak yang harus diperjuangkan setiap hari oleh setiap orang dengan cara sendiri dan usaha bersama.” Melalui prinsip moral inilah Evelyn mencoba membenturkan keragu-raguan Joy pada hidupnya. Nyatanya hidup memang tidak jelas. Arahnya memang tidak bisa ditebak. Namun sikap optimis masih jadi pilihan. Aliran pemikiran yang mungkin absurd namun berhasil menjadi jawaban alternatif tentang hakekat hidup yang sejati.

Prinsip nihil yang dianggap sudah final bagi Joy akhirnya dibenturkan oleh Evelyn melalui prinsip ini. Joy mungkin menganggap bahwa tidak ada yang penting di dunia ini. Pada prinsip ini absurdisme melihatnya dengan cara pandang yang berbeda. Ketidakjelasan dunia harus terus dilihat dengan optimis. Tidak ada yang penting di dunia lantas teruslah bersikap baik. Tidak ada yang penting lantas teruslah mencari arti.

Menyadari bahwa hidup memang nihil harus disertai dengan semangat pantang menyerah. Siklus kehidupan yang berputar harus terus dilihat sebagai sebuah proses mencari dan mengulang kebahagiaan. Proses mencari inilah yang membuat hidup menjadi berarti. Semua benturan moral ini kemudian ditutup melalui sebuah adegan pelukan yang menarasikan penerimaan keduanya pada kehidupan. “Kita bisa lakukan apapun yang kita mau. Karena tidak ada yang penting.” Joy akhirnya memahami dan menerima kehidupan sebagai siklus kebahagiaan yang diperjuangkan.

Pada akhirnya film ini membawa kita untuk lebih dalam mengenal diri dan mencoba mengubah cara pandang kita pada hidup. Skeptis mau pun optimis, nihilis maupun absurdis, tidak ada yang salah pada keduanya. Hanya bagaimana cara kita memaknai hidup. Menyerah pada kenyataan atau berjuang demi kebahagiaan.

Komentar Facebook Anda

Randa Hasnan Habib

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik FISIP USU Stambuk 2019. Saat ini Randa menjabat sebagai Pemimpin Umum BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4