BOPM Wacana

(Masih) Subjektifnya P3SPS

Dark Mode | Moda Gelap

2013 - SofiSekitar sebulan lalu, dari salah satu mata kuliah, saya mendapat tugas menganalisis pelanggaran P3SPS yang dilakukan sebuah program televisi. P3SPS terdiri dari Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).

Dalam Bab I Pasal I tentang P3 disebutkan Pedoman Perilaku Penyiaran adalah ketentuan-ketentuan bagi lembaga penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai panduan tentang batasan perilaku penyelenggaraan penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional.

Serta pada bab dan pasal yang sama tentang SPS, disebutkan Standar Program Siaran adalah standar isi siaran yang berisi tentang batasan-batasan, pelarangan, kewajiban, dan pengaturan penyiaran, serta sanksi berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran yang ditetapkan oleh KPI. Dari defenisi ini jelas bahwa P3SPS adalah kiblat dan kitab penyiaran di Indonesia.

Berangkat dari presentasi salah satu kelompok saat itu. Mereka mengatakan salah satu episode program sebuah talkshow melanggar Bab IV Pasal 6 SPS tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras dan antar golongan. Pasalnya ketika itu,presenter talkshow tersebut menjadikan logat suku batak sebagai bahan lelucon. Kebetulan si bintang tamu adalah seorang bersuku batak. Tapi, saya yang kebetulan menonton episode itu sama sekali tak masalah dengan hal tersebut. Saat itu juga, saya langsung nyeletuk ‘aku biasaaja. Malah lucu kok’. Saya yang memiliki darah batak mungkin harusnya sepakat dengan kelompok tersebut.

Mendengar celetukan saya, dosen pembimbing mata kuliah tersebut menyambung ‘Itu lah lemahnya (P3SPS -red). Masih banyak ambiguitas dan banyak persepsi’. Satu pasal ini sudah menunjukkankesubjektivitasan. Tidak semua suku, agama, ras, golongan akan tersinggung atau merasa dilecehkan. Lalu perkataan atau perbuatan seperti apa yang bisa membuat suku, agama, ras atau golongan tertentu merasa direndahkan atau dilecehkan? Kembali ke si penganut.

Beralih ke sensor yang pun memiliki potensi subjekif yang cukup tinggi. Beberapa orang yang doyan nonton film luar negeri sering mengeluhkan sensor yang dianggap berlebihan. Entah karena alasan apa dilakukan sensor. Cabul atau kekerasan atau apa. Tapi yang jelas, menurut sebagian orang versi aslinya tak ‘semengerikan’ itu hingga harus disensor. Bahkan katanya, mengurangi esensi film tersebut.

Bicara kekerasan pada pasal 23, disebutkan kekerasan yang dimaksudtawuran, pengeroyokan, penyiksaan, perang, penusukan, penyembelihan, mutilasi, terorisme, pengerusakan barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan, penembakan, dan/atau bunuh diri, menampilkan manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah, terpotong-potong dan/atau kondisi yang mengenaskan akibat dari peristiwa kekerasan, menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap manusia, menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap hewan; dan/atau menampilkan adegan memakan hewan dengan cara yang tidak lazim. Lalu bagaimana dengan film action yang masih tayang sana sini? Sudah dianggap lulus sensor tapi tetap ada kesan kekerasan di sana dan bahkan lebih banyak menjadi bahan yang ditiru anak-anak. Masih banyak versi kekerasan lain yang harus dienyahkan dari siaran-siaran televisi.

Sekarang tentang siaran tak langsung. Saya lumayan rajin menonton sebuah acara lawakan di salah satu stasiun televisi. Ketika siaran tak langsung, sering sekali ucapan pemain pada lakon tersebut di sensor. Lagi, entah karena apa. Tapi anehnya, pemain lain dan penonton justru tertawa. Saya jelas terganggu. Toh saya yang ingin tertawa, justru hanya melihat mereka tertawa tanpa saya mengerti apa yang ditertawakan. Tapi dengan tertawanya pemain dan penonton, saya mengartikan tak ada yang mengganggu dari ucapan si pemain tersebut. Lalu mengapa di sensor? Memangnya apa yang ia katakan? Pelanggaran apa yang ia lakukan?

Saya coba lihat sanksi dan teguran yang dikeluarkan KPI, melalui website resminya. Pada tanggal 15 Juli lalu, KPI mengeluarkan teguran tertulis pada salah satu program. Pelanggaran yang dilakukan program adalah penayangan adegan seorang wanita mencium ketiak dua orang pria. Wanita tersebut menerima tantangan dari host untuk mencium ketiak dua pria di dalam sebuah pasar dengan menerima imbalan uang sebesar Rp 50 ribu untuk setiap ketiak yang diciumnya.

Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas norma kesopanan, perlindungan anak dan remaja, dan penggolongan program siaran. Program ini dijatuhi pasal pelanggaran terhadap norma kesopanan (pasal 9) dan pelanggaran terhadap hak anak. Norma kesopanan mana yang dilanggar. Menjijikkan mungkin iya, tapi norma kesopanan? P3SPS saja tidak membahas detail norma kesopanan seperti apa yang dimaksud. Hingga muncul ketidakjelasan norma kesopanan mana yang sebenarnya mengusik KPI.

Kalau begini, bagaimana bisa P3SPS dijadikan sebagai acuan? Kesubjektifan ini pula lah yang menurut saya masih menimbulkan pelanggaran di sana-sini. Program-program televisi juga mungkin dilematis. Di satu sisi ada yang menyukai, di sisi lain ada yang kontra. Jelas mereka membandel dan mempertahankan program mereka. Toh rating tinggi! Yang diperlukan adalah pedoman dan standar yang tegas di tiap poinnya. Sikap tegas terhadap program yang membandel.

Tak bisa dibasmi lewat aturan, kenapa tidak membasmi langsung dari akarnya? Kalau memang mau mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan ketika tulisan ini memunculkan rasa yang lain bagi orang yang membaca, semakin jelaslah kesubjektifan P3SPS ini. Karena yang saya rasa, berbeda dengan orang lain rasa.

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU dan aktif sebagai Redaktur Foto di Pers Mahasiswa SUARA USU.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4