Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak
35.000 tahun silam…
Di sebuah bantaran sungai dengan deru air minimal, terlihat kelompok kecil manusia. Enam perempuan dewasa sibuk dengan tingkah laku anak-anak mereka, lima pria dewasa juga tampak asyik membenahi perkemahan mereka, tepat di bawah pohon akasia yang tinggi.
Belakangan ini, langit mulai sibuk menurunkan hujan. Alhasil, mereka harus menggeser perkemahan sedikit menjauhi sungai, mewanti-wanti hal yang tak diinginkan. Di tengah kesibukan masing-masing, mereka saling mengoceh, bertukar canda, dan berbagi ide. Hari seakan berlalu tanpa terasa.
Esok hari, ketika para anak-anak masih tertidur pulas, para pria mulai sibuk mengumpulkan peralatan berburu. Sebelum fajar menampakkan diri, mereka sudah pergi mencari daging untuk persediaan makan.
Ketika langit sudah berwarna jeruk cerah, para perempuan juga bersiap mencari persediaan makanan. Berbeda dengan para pria, tugas mereka mengumpulkan tumbuhan yang layak dimakan. Tampak mereka membawa tongkat pendek yang ujungnya sudah diasah dengan serpihan batu tajam. Dengan itu, mereka lebih mudah menggali tanah untuk mengambil umbi-umbian yang dalam.
Lima perempuan berangkat. Seorang lagi, yang paling tua, tinggal di perkemahan, menjaga para anak-anak yang mulai sibuk dengan permainan mereka. Di tengah senda gurau anak-anak, seorang di antara mereka memekik. Ia ternyata punya ide: bermain peran-peranan sebagai pemburu. Alhasil, seorang di antara mereka terpaksa jadi antelop. Yang lain, menyusun strategi dan terus mengintai gerak-gerik si antelop.
Namun, seorang gadis sama sekali tak tertarik dengan permainan itu. Ia lebih memilih mendatangi si perempuan tua, yang sedang asik membuat karya seni: dengan sebuah serpihan batu tajam, secara perlahan ia membentuk figur wanita di sebuah bongkahan tulang. Si gadis kecil takjub. Ia memohon-mohon minta diajari. Dengan cekatan, ia berjalan ke sana ke mari mencari bongkahan tulang di sekitar perkemahan. Ketika ketemu, ia langsung duduk di samping perempuan tua yang tersenyum gemas. Dengan sabar, si perempuan tua memandu tangan si gadis, yang masih kaku memakai serpihan batu.
Beberapa jam berlalu, akhirnya karya seni perdana si gadis kecil selesai. Ia loncat kegirangan, mengangkat tinggi-tinggi karya seninya. Walau hasilnya masih berantakan, si gadis merasa karyanya sangat sempurna. Ia berlari ke arah teman-temannya yang sedang beristirahat setelah kehabisan tenaga mengejar si antelop palsu. Dengan memasang wajah angkuh, si gadis memamerkan karya seninya. Si perempuan tua tertawa melihat tingkah si gadis.
Dari kejauhan, di bawah terik matahari, bayang-bayang lima perempuan mulai terlihat mendekat. Di punggung mereka, di dalam sehelai kulit hewan yang berfungsi sebagai keranjang, tampak banyak biji-bijian dan umbi-umbian. Hari itu, misi mereka sukses besar: mereka berhasil mengumpulkan banyak bahan makanan. Anak-anak lari ke arah mereka, penasaran apa yang dibawa si ibu. Di perkemahan, mereka girang merayakan hasil kerjanya.
Ternyata, keberuntungan para perempuan juga dirasakan para pria. Sebelum senja tiba, terdengar senyap-senyup suara girang para pria yang masing-masing membawa pulang bongkahan besar daging. Hari itu mereka benar-benar mujur: tanpa perlu kesusahan mengincar mangsa, mereka malah mencuri mangsa.
Kisahnya, di tengah perjalanan para pria menyaksikan aksi kejar-kejaran antara singa dan antelop. Mereka langsung mendeteksi kesempatan. Ketika antelop berhasil dilumpuhkan, mereka bergegas bersembunyi mendekati si singa yang mulai sibuk menikmati hasil buruannya. Perlahan, mereka membentuk formasi setengah lingkaran. Sesuai aba-aba, serentak mereka menakut-nakuti si raja hutan. Taktik mereka berhasil, si singa ketakutan, atau mungkin kaget, yang pasti ia berlari menjauhi hasil buruannya. Para pria pun mengambil alih antelop yang kurang beruntung itu.
Malam itu mereka habiskan dengan ceria: mereka pesta makan. Daging sebagai menu utama, umbi dan biji-bijian sebagai pelangkap. Mereka bertukar menu sambil bercanda, tak lupa mereka saling berbagi pengalaman. Namun, di tengah percakapan, mereka sadar harus meninggalkan perkemahan. Hujan semakin sering turun. Cepat atau lambat, air sungai akan meluap ke bantaran. Lagi pula, mereka harus membiarkan tumbuh-tumbuhan di sekitar kawasan berkembang biak lagi, setelah belakangan mereka panen terus.
Tiga hari kemudian, setelah persediaan makanan habis, kawanan itu meninggalkan perkemahan. Bukti kehadiran mereka berceceran: bekas perapian, sisa tulang-belulang, sisa umbi-umbian, serpihan batu tajam, kulit-kulit hewan, bahkan berbagai hasil karya seni. Seminggu kemudian, air sungai meluap, membenam bukti kisah hidup kelompok kecil manusia itu di dasar sungai.
***
100 tahun lalu…
Sekelompok antropolog muda berhasil menemukan situs baru: tempat tinggal para leluhur awal kita. Di situs itu, banyak ditemukan peninggalan, mulai dari serpihan batu tajam, sisa kulit hewan, tulang-belulang, dan beberapa karya seni sederhana berupa figur-figur manusia di bongkahan tulang. Setelah uji kimia, diperkirakan berbagai peninggalan itu sudah berusia sekitar 35.000 tahun.
Berkat temuan situs itu, setidaknya kini para antropolog dapat merekonstruksi gaya hidup khas pemburu-pengumpul leluhur awal kita: gaya hidup yang sangat peduli dan dekat dengan alam. Tak heran mereka diberi julukan homo sapiens alias manusia bijak.
***
Masa kini…
Sekumpulan anak muda tampak bahagia menikmati kerlap kerlip lampu kota dari atas bukit. Rupanya, mereka sedang berlibur dan mendirikan kemah. Mereka berkumpul, bercengkeramah, sambil menikmati cemilan yang sudah mereka siapkan. Seorang di antaranya menyiapkan makanan kaleng.
Mereka menghabis malam dengan penuh suka cita. Mereka sadar, ini akan menjadi kali terakhir menikmati indahnya bukit ini. Tak lama lagi, bukit akan menjadi perkebunan sawit, sebab pemerintahan setempat sudah memberi izin kepada investor asing. Pepohon rindang yang beraneka ragam akan digunduli, diganti menjadi perkebunan monokultural: sawit.
Esoknya, mereka bergegas menurunkan tenda, untuk meninggalkan bukit. Bukti kehadiran mereka berceceran: bekas perapian, plastik-plastik cemilan, sampai kaleng-kalet makan ringan. Berbulan-bulan kemudian, sisa-sisa peninggalan itu sudah tertimbun tanah, melahap habis secuil kisah hidup sekumpulan anak muda di bukit itu.
***
200 tahun dari sekarang…
Sekelompok makhluk ekstraterestrial berhasil menyentuh bumi. Mereka berani datang setelah memperoleh data pengamatan yang menunjukkan ternyata makhluk yang beribu tahun menguasai bumi sudah punah.
Di sebuah bukit tempat mereka mendarat, langsung tampak alasan kecilnya. Makhuk ekstraterestrial itu menemukan banyak berserakan hasil produksi yang tak mudah terurai: plastik dan kaleng. Mereka dibiarkan mencemari tanah. Setelah dicek, ternyata plastik dan kaleng itu sudah berusia sekitar 200 tahun.
Tak hanya itu, suhu di bumi juga sangat tak cocok untuk kebanyakan makhluk hidup. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata tingkah makhluk hidup di bumi sendiri yang jadi penyebabnya.
Begini hasil penelitian sekelompok makhluk ekstraterestrial itu: selama beratus-ratus tahun, makhluk bumi terus memakai energi kotor yang tak ramah lingkungan. Meski sudah ditemukan energi terbarukan yang jauh lebih ramah lingkungan, namun makhluk bumi tetap memilih memakai energi kotor. Alasannya? Bahkan makhluk ekstraterestrial tak bisa menemukan rasionalisasinya. Belum lagi makhluk hidup hijau yang memproduksi udara bersih di bumi terus dibabat habis.
Alhasil, kumpulan es di kedua kutub bumi terus mencair, lapisan udara pelindung alami bumi rusak, terpaan sinar matahari langsung menembus bumi dan tak ada yang memantulkan lagi. Dari detik ke detik bumi makin panas dan panas, hingga akhirnya tak sanggup lagi menampung sebagian besar makhluk hidup.
Kesimpulan mereka: dapat dipastikan, siapa pun yang sebelumnya menguasai bumi, bukanlah makhluk yang bijaksana.