Jika mulutku saja tak cukup mengikatmu padaku, maka rangkul aku dipeleburan semestamu. Dan terbanglah kemana angin membawamu.
Malam yang basah. Jika saja hujan yang turun tidak menembus masuk membasahi ubun kepalaku, mungkin tidak akan pernah tersadar olehku betapa jauh sebelum itu air mata sudah lebih dulu membasuh tubuhku. Begitu basah hingga airnya membelang warna bajuku. Aku menangis tapi mulutku tak berhenti bicara dan amarahku tak bisa diredam. Di dalam ruangan sempit bercat biru ini hanya ada kami berdua. Diatas kasur lapuk dan sepasang bantal lusuh yang terlalu tipis untuk digunakan. Dan handphone tua yang sedari tadi memutar Bed of Roses karya Bon Jovi berulang-ulang.
“Sekarang berjanji padaku ini hanya kepergianmu yang biasa. Kau akan pulang dan memelukku di bandara,” bibirku bergetar setiap kali mengulang kalimat ini.
“Kalau lah setiap hal bisa memuaskanmu dan memberimu kepastian maka Gandhi tak akan menemui ajalnya dan Wiji sudah ditemukan. Hidup itu penuh dengan ketidakpastian dan kita dipaksa menjalaninya.”
Air mataku kembali mengembang dan sepersekian detik kemudian rangkaian kata tersusun berbaris diujung lidahku dan suara mendorongnya keluar.
“Jangan sekalipun kau ajari aku tentang hidup. Ini lebih dari sekedar pikiran konseptualmu. Kau akan pergi dan tidak akan pernah kembali. Dan kau tau itu, Za.”
Jantungku berderu seakan memaksa untuk keluar. Orang ini begitu keras kepala. Wajah sembap dan isak tangis tak sedikitpun berhasil mengubah isi kepalanya. Untuk sesaat kami terdiam. Bon Jovi tak lagi kunikmati. Yang kudengar hanyalah desiran hujan tak seirama yang memekakkan telinga.
Hujan yang baik. Tak pernah mengeluh pada takdir yang membawanya turun. Hanya waktu dan keadaan yang membuatnya tak relevan. Ia tak relevan sekarang. Aku ingin hujan ini segera berhenti. Hujan ini dan hujan itu. Semuanya tak relevan. Namun hujan adalah kehendak Sang Penentu. Malam yang basah ini adalah untaian takdir dari ketidakpastian yang direncanakan. Dan yang ku tahu sang penentu sedang bergegas meninggalkanku.
Fazza adalah pria yang berisik. Ia adalah jenis manusia yang akan menarik perhatianmu ketika sedang berbicara. Susunan kalimatnya beraturan meski antara mulut dan pikirannya lebih sering tidak berjalan beriringan. Tempo kalimat yang cepat dibungkus logat sumateranya yang begitu kental. Dan dia adalah pendengar yang handal. Ia akan dengan sabar menyimak dan memberi tanggapan pada setiap obrolan. Aku selalu suka ketika matanya akan mulai mencari tempat persinggahannya yang nyaman setiap kali mendengarkanku bercerita. Celakanya aku lebih sering menganggap ini sebagai pelarian. Termasuk malam ini. Aku yang emosional sering memberontak dan memaksanya untuk memindahkan persinggahan itu tepat ke pelupuk mataku.
Keahliannya dalam berbicara dan ketangkasannya dalam mendengar adalah salah satu hal yang mendorong pertikaian panjang kami malam ini. Fazza adalah seorang wartawan senior di salah satu media online. Liputan ke luar kota adalah bagian dari tanggung jawab itu. Itu saja yang ku tahu tentang pekerjaannya. Sisanya adalah rasa benci. Seperti malam ini. Ia akan pergi dan tidak akan kembali lagi. Bangsatnya ia bahkan tak mau memberi tahu alasannya.
“Bawa aku bersamamu, Za,” tangisku.
“Aku mengerti perasaanmu. Tapi kau harus di sini. Kau punya masa depan. Dan masa depan itu tidak menyertaiku”.
Aku menangkap nada suaranya merendah. Itu artinya ia bersungguh-sungguh.
“Lalu kau pikir ini semua tentang diriku? Ini juga tentang dirimu. Omong kosong apa yang ingin kau sampaikan bahwa kepergianmu ini hanya seperti kepergianmu yang biasa. Aku begitu mengerti ini lebih dari itu”.
Dia berdiri. Kepalanya ia sandarkan ke tembok menopang gemetar kakinya mendengar ucapanku. Aku melihat air matanya mulai mengembang. Sang Penentu pasrah pada takdir. Takdir yang membawanya turun bersama hujan yang saling menderu deras. Begitu saja, hal yang kuingat setelahnya adalah momen yang tidak bisa dicerna akal. Sepersekian detik berikutnya kami berdua sudah saling merebah membasuh satu dengan yang lain.
“Meleburlah dalam tangis,” ucap seorang penyair yang entah siapa namanya. Mungkin seorang filsuf yang kubaca di buku pemberian Fazza. Atau justru diriku sendiri. Namun yang aku mengerti dari peleburan ini begitu dahsyatnya sehingga tangisan di malam yang basah ini berubah menjadi senandung yang menenteramkan jiwa.
Kami berdua adalah Avery Wilson dan Soshana Bean yang menyanyikan Saving All My Love For You karya Whitney Hutson. Senandung kami memenuhi seisi ruangan yang begitu sesak. Saling mengisi satu dengan yang lain. Nada tinggi. Nada rendah. Hujan seharusnya merasa malu dengan ketidakmampuannya menyulam nada yang beraturan. Setiap kali Fazza mulai melantunkan lirik demi lirik, disaat yang sama melodi mengikuti dariku seirama.
Malam ini semakin basah. Peluh keringat yang bergesekan berhasil membenam amarahku. Dari atas sini aku bisa melihat semuanya. Wajahnya yang lelah mengisyaratkan kepada Sang Pemilik Waktu untuk membiarkan momen ini berjalan lebih lama, selama-lamanya. Sementara itu kerut keningnya seolah siap untuk pergi dan menolak untuk menetap. Lalu semenit berikutnya adalah bagian yang paling merusak akal. Kakiku sudah melingkar di leher jenjangnya. Suaraku yang mulai parau masih mencoba mengimbangi nafas beratnya. Mataku terpejam menikmati deburan dan hentakan yang menerjang. “Ini begitu sempurna,” pikirku. Semenit yang lalu semuanya terasa begitu mengganggu. Kini suara hujan adalah gairah yang memabukkan. Lantunan Bon Jovi bahkan seakan menghantarkan kami menikmati peleburan ini.
I want to lay you down in a bed of roses
For tonight I’ll sleep on a bed of nails
Oh I want to be just as close as the Holy Ghost is
And lay you down on a bed of roses
***********
Matahari sudah tinggi dan pagi sudah berganti siang. Cahayanya menembus kisi pintu dan sesekali menerangi wajahku. Malam panjang yang melelahkan. Dan ruangan yang menjadi saksi betapa ledakan dan guncangan maha dahsyat tadi malam sudah tidak membuatku berharap apa-apa lagi. Sejak awal aku sudah tau keras suaraku tetap tidak bisa menyumpal isi kepalanya yang alot. Maka ketika bisikannya yang lembut tadi pagi setengah menyadarkanku, aku memilih untuk tetap memejamkan mata. Aroma embun pagi bahkan tidak menarik bagiku untuk hanya sekedar membuka mata dan melepas kepergiannya.
Windry Ramadhina pernah berkata bahwa pelangi yang muncul setelah hujan adalah janji alam bahwa masa buruk telah berlalu dan masa depan akan baik-baik saja. Mungkin kalimat ini tidak relevan bagiku. Pelangi adalah wujud dari ketidakpastian. Keindahannya hanya berdasar pada jarak pandang dan perspektif. Ia fana dan tidak konsisten. Mungkin ini yang dimaksud Windry dengan masa depan. Tidak terukur dan tak pasti. Bagiku yang pasti hanyalah keputusan yang sedang dijalani. Hidup hanyalah proses mengambil keputusan. Dan Fazza adalah bagian dari proses itu.
Dan untuk burung yang terbang mengejar kebebasannya. Untuk angin yang mengiringi kepergiannya. Pergilah kau pergi. Pergilah kemana angin membawamu pergi.