Oleh: Reza Anggi Riziqo
“Kweiya dihajar, dilukai. Hingga akhirnya dia merajut sayap agar bisa terbang bebas melampaui penderitaan.”
Rutinitas serta riuh pagi masyarakat desa tak nampak seperti biasanya. Suasananya hening. Bapak berkata “Makan sudah, jang pi sekola,“. Heran, biasanya dia yang selalu memaksaku untuk bergegas berangkat ke sekolah tiap paginya. Disamping itu, keringat dingin bercucuran dari dahi bapak. Menetes membasahi baju. Beberapa tetesnya jatuh di lantai membuat genangan-genangan kecil keringat. Namun aku masih belum paham situasi yang terjadi.
Dengan lahap aku menyantap ubi kayu rebus. Sesekali olahan babi ku kunyah dan ku telan sebagai sumber protein. Teringat suasana kelas saat itu. “Kita harus makan-makanan berprotein tinggi, agar pintar,” ujar ibu guru. Lontaran kalimat balasan terucap dari Yohanes. Kawan sekelasku, yang duduk di bangku barisan belakang. “Kalau kita sudah pintar, kita bisa pergi ke Jakarta kah bu?”.
Pergi ke Jakarta memang sudah menjadi impian kami, anak pedalaman Papua. Konon di Jakarta orang-orang tidak perlu lagi masuk kedalam belantara hutan untuk mencari makan, berburu babi, atau menebas pohon sagu. Makanan mudah dijumpai disana. Hanya dengan menggunakan telepon genggam dan Internet, makanan tiba. Semua itu terjadi sebab mereka pintar pikirku. Mungkin serupa pikir kawan-kawanku yang lain di sini, seperti pikiran Yohanes.
Seketika nikmatnya babi sirna serupa sinar mentari yang mulai menjorok ke barat. “John! Dimana kau? Cepat keluar!” Teriak seorang dari segerombolan berbaju loreng hijau dari luar rumah. Tentara, terakhir ku dengan mereka berada di distrik sebelah. Mengapa pagi ini mereka berkicau di halaman rumah? Mengapa mereka memanggil nama bapak?
Tangis haru menyelimuti suasana rumah saat itu. Mama menangis. John, bapakku pergi keluar menanggapi perintah seorang komandan pleton tadi. “Tuhan Yesus, tolonglah kami,” Sepenggal doa mama yang diselingi isak tangis. Sementara aku, masih heran bingung dengan semua ini.
Lalu, pejabat desa datang membawa titik terang. Sementara bapak sudah menghilang. Hilang bersama sebuah truk hijau. Terakhir nampak dengan sesak ia duduk di bagian belakang truk. Laju kencang truk menuju arah barat membawa bapak. Truk pergi mengejar mentari siang yang mulai menyinari barat. Membawa bapak dan sorot cahaya mentari dari timur.
“Sudah jangan bersedih, John hanya diperiksa sebentar di Jayapura,” ucap pejabat desa kepada mama dan aku. “Andai minggu lalu John tidak ikut mendemo perkebunan sawit, tidak akan begini,” celoteh seorang tetangga yang masuk ke dalam telingaku.
Sawit, apa itu? Minyak? Ah. Untuk apa? Papeda disini tidak digoreng dengan minyak! Pantas saja bapak berdemo minggu lalu. Memang tak patut tumbuhan asing ini tumbuh di tanah kelahiranku. Membunuh hutanku.
Perusahaan yang tidak terima didemo berasal dari Jakarta. Meminta bantuan tentara untuk mencari siapa saja yang melakukan aksi demo minggu lalu. Termasuk John dan beberapa pria dari distrik sebelah. “Jakarta?!” tegasku. Tercengang mendengar nama kota tersebut. “Orang Jakarta pintar-pintar karena banyak makan minyak kah?” sebesit pertanyaan dalam hati.
Bak hembusan angin yang menyentuh atap jerami honai, kisah “Kweiya” tiba-tiba menyentuh ingatan. Bapak pernah bercerita Kweiya ialah seorang anak laki-laki yang tidak disukai oleh adik-adiknya. Kweiya dihajar, dilukai. Hingga akhirnya dia merajut sayap agar bisa terbang bebas melampaui penderitaan. Kweiya seketika menjelma menjadi burung indah nan cantik yang sekarang dikenal sebagai cendrawasih.
Melampaui penderitaan, itulah yang bapak lakukan minggu lalu. Beraksi menentang perkebunan sawit diatas tanah ulayat agar penduduk tidak menderita. Namun apa daya, bapak kini telah pergi menghilang. Kisah bapak sepahit kisah Kweiya, yang tak semanis retorika lima sila. Ku harap bapak juga dapat menjelma menjadi cendrawasih yang indah saat kelak kembali bertemu kami.
Esoknya aku pergi berjalan menuju kantor pejabat desa. Rasa rindu menyertaiku. “Belum ada kabar tentang John, sambungan telepon mati, internet juga terputus,” jelas seseorang dari dalam kantor tersebut.
Hari demi hari terlewati. Tapak kaki berbungkus sepatu hitam dengan genggaman senapan di tangan tak kunjung datang mengantar bapak pulang. Padahal, mereka yang menjemput bapak pagi itu. Entah sampai kapan aku harus menunggu dan menahan rindu. Sampai kapan sang Kweiya dapat kembali berjumpa dengan kami. Entah apa yang dilakukan segerombolan elang bondol terhadap si cendrawasih. Entah.