BOPM Wacana

Kondangan Akademik: Selebrasi Berbalut Tekanan Sosial di Lingkungan Kampus

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi. | Alya Rahmayani Hutagalung
Ilustrasi. | Alya Rahmayani Hutagalung

Oleh: Dormaulina Sitanggang, Jennifer Smith L. Tobing, Ruth Cinthia Sianturi

“Solidaritas tak tumbuh dari amplop dan foto yang dipoles euforia.”

Cuitan tersebut ditulis oleh salah satu responden, @alkaruzz di Instagram @bopmwacana, ketika dibuka jajak pendapat mengenai fenomena “kondangan akademik”. Istilah tersebut berakar dari potret kegelisahan sebagian mahasiswa yang melihat perayaan kelulusan tak lagi sekadar ucapan selamat, melainkan perlombaan simbol dan gengsi, yang kerap melupakan makna solidaritas itu sendiri.

Selebrasi sidang akademik di kalangan mahasiswa dirayakan meriah layaknya kondangan. Berpelengkap deretan spanduk dan papan akrilik ucapan selamat, serta tumpukan buket bunga dan bingkisan, menjadi buah tangan saat menyambangi teman, usai seminar proposal atau sidang skripsi. Semakin hari, perayaan ini menjadi tren yang ramai digandrungi mahasiswa dari berbagai universitas dengan sebutan kondangan akademik.

Tradisi yang sifatnya sukarela

Mahasiswa membereskan hadiah dan konsumsi usai perayaan sidang, Selasa (10/10/2025). | Dormaulina Sitanggang
Mahasiswa membereskan hadiah dan konsumsi usai perayaan sidang, Selasa (10/10/2025). | Dormaulina Sitanggang

Di mata Roida Boang, lulusan Ilmu Administrasi Publik tahun 2025, tradisi ini justru lahir dari keinginan tulus untuk merayakan perjuangan panjang selama kuliah. “Kalau dibilang kewajiban, enggak juga. Ini cuma budaya yang terbentuk di kalangan mahasiswa. Sifatnya sukarela, siapa pun boleh ikut atau tidak. Yang penting esensinya tetap saling hadir dan menghargai perjuangan teman,” ungkap Roida.

Bagi mahasiswa pengikut tren ini, kondangan akademik dijadikan sebagai bentuk dukungan, rasa bangga, serta solidaritas untuk merayakan pencapaian akademik mahasiswa yang lulus sidang. Perayaan juga biasanya diikuti ucapan selamat dalam bentuk unggahan berupa pose foto hingga video parodi layaknya kondangan pernikahan di kanal sosial media.

Soal biaya, Roida menyebut tak ada angka pasti karena sering juga dilakukan dengan cara patungan agar lebih ringan. “Ada yang keluarin dari uang pribadi, ada yang patungan bareng teman. Jadi sebenarnya fleksibel aja, tergantung kemampuan masing-masing,” katanya.

“Kalau dompet jadi agak tipis, ya wajar. Tapi momen kebersamaannya itu yang priceless,” ujarnya. Ia mengakui, pengeluaran tambahan itu bisa membuat dompet menipis, tapi baginya kenangan dan kebersamaan yang terjalin jauh lebih berharga.

Banner dan konsumsi, lanjut Roida, memiliki makna simbolis tersendiri. Ia memandangnya sebagai bentuk penghargaan dan ucapan syukur, bukan ajang pamer. Kadang memang terselip unsur eksistensi, namun ia rasa wajar bagi anak muda.

“Iya, ada unsur eksistensi, tapi itu wajar saja. Namanya juga anak muda, pengen punya dokumentasi keren. Tapi kalau ditanya lebih dalam, sebenarnya kegiatan ini lahir dari rasa pengen berbagi momen bahagia bareng teman,” tuturnya.

Makna yang bergeser dari ucapan selamat

Tumpukan bingkisan makanan dan hadiah usai sidang akademik, Selasa (14/10/2025). | Dormaulina Sitanggang
Tumpukan bingkisan makanan dan hadiah usai sidang akademik, Selasa (14/10/2025). | Dormaulina Sitanggang

Awalnya ditujukan sebagai bentuk ucapan selamat. Namun pada trennya, makna tersebut kian bergeser. Mahasiswa tak jarang mengeluhkan kondangan akademik sebagai ajang berbalas hadiah, setiap sidang layaknya arisan yang harus diikuti. Hadiah yang diterima harus dikembalikan, semacam balas budi atas dasar adab tak tertulis.

Sisi lain yang kadang luput, bagi mahasiswa yang kesulitan secara finansial, tren ini bisa memberatkan. Pasalnya, muncul perasaan tidak enak, atau segan ketika menyambangi sidang teman tanpa membawa apa-apa. Apalagi jika sebelumnya sudah diberi ucapan, lengkap dengan hadiah. Tujuan yang awalnya untuk saling memberi selamat, berujung pada pertarungan gengsi.

Bambang Sugiarto, mahasiswa Perpustakaan dan Sains Informasi stambuk 2022, adalah salah satu mahasiswa yang berpandangan lain pada fenomena ini. Di ruang sidang sore hari itu, Bambang melihat gerombolan mahasiswa yang memadati pintu luar laboratorium prodi. Beberapa hadiah mereka siapkan, pun dipandanginya mahasiswa yang lulus sidang berpose lengkap dengan buket, banner, dan pelengkap hiasan lainnya.

Suasana ruangan sidang seminar mahasiswa saat di FISIP USU, Selasa (5/11/2025). | Dormaulina Sitanggang
Suasana ruangan sidang seminar mahasiswa saat di FISIP USU, Selasa (5/11/2025). | Dormaulina Sitanggang

Meskipun Bambang mengakui, sisi positif dari fenomena ini adalah untuk mempererat silaturahmi, menurutnya dukungan tidak harus selalu berbentuk materi. “Tujuan mengundang teman-teman datang kan bukan untuk mengharapkan hadiah, tetapi mengapresiasi. Mengapresiasi ketika kita sudah lulus dan mendoakan yang terbaik buat kita,” ujarnya.

Sudah seharusnya, imbuh Bambang, ucapan selamat kepada teman tak dinilai dari ajang pemberian hadiah. Tak jarang teman-temannya terlalu memaksakan untuk beri bingkisan hingga berujung ‘boncos’. Kondisi ini didorong oleh rasa segan dan takut ketika gilirannya, teman lainnya tidak datang mengucap selamat atau memberi hadiah.

“Padahal pertemanan yang baik adalah pertemanan yang saling tolong dan saling paham kondisi satu sama lain. Pencapaian akademik bisa dirayakan tanpa memberatkan finansial. Tidak harus selalu dibarengi dengan hadiah. Kalau lagi nggak ada uang, salam dan ucapan tulus pun sudah lebih dari cukup,” tambahnya.

Cibiran tak membuat Bambang takut pada teguh prinsipnya. Ia berpesan pada teman-temannya untuk tak perlu repot menyambangi, apalagi harus sampai bawa hadiah. Baginya ucapan dan doa baik sudah cukup. “Selalu aku bilang ke teman-teman nggak usah. Tenaga habis, materi habis, waktu habis. Lebih bagus dimanfaatkan waktunya untuk belajar,” pesannya.

Jejak sampah di balik euforia

Papan akrilik ucapan selamat yang ditinggalkan di area kampus, Senin (15/12/2025). | Ruth Cinthia Sianturi
Papan akrilik ucapan selamat yang ditinggalkan di area kampus, Senin (15/12/2025). | Ruth Cinthia Sianturi

Segala perayaan itu ternyata tak hanya menjejak kenangan bagi mahasiswa. Siang itu, di halaman FIB USU terlihat sisa jejak kondangan akademik, berupa plastik minuman terselip di pot bunga. Sementara kotak kue ringsek dibiarkan di bangku panjang. Yang datang bukan mahasiswa, melainkan Kiki, petugas kebersihan yang sudah hampir tujuh tahun bekerja di FIB USU.

“Sering, sering,” tekan Kiki, saat ditanya pada Senin (10/11/2025), soal sisa sampah acara akademik. Menurutnya, musim sidang selalu membawa pola yang sama: volume sampah meningkat dan jam kerja memanjang. “Kalau ada acara di lingkungan prodi atau kampus, ya nambah jam kerjanya,” ujarnya pelan.

Kondisi serupa dirasakan Wahyu Iqbal, petugas kebersihan di FISIP USU. “Kalau ada acara begitu, meningkat sih,” katanya. Frekuensi pembuangan sampah yang biasanya dua hari sekali berubah menjadi setiap hari saat musim seminar. “Yang ribet itu sampah berair. Cepat bau, lengket pula.”

Sampah konsumsi baik gelas plastik, kotak makanan, tisu, dan sisa kue menjadi dampak paling nyata dari kondangan akademik. Meski demikian, Wahyu menyebut kampus belum memiliki aturan khusus. “Peraturan khusus nggak ada. Paling dikasih tahu ruangan harus bersih.”

Akumulasi sampah juga kerap mengotori taman dan saluran air. Bagi Kiki, perayaannya bukan masalah. “Mahasiswa harusnya berpikir lebih maju. Bisa jaga kebersihan, bisa ingatkan kawannya. Jangan cuma seru-serunya aja,” ucap Kiki. Rupanya, euforia akademik justru meninggalkan beban kerja bagi petugas kebersihan.

Budaya simbolik dan pergeseran nilai akademik

Papan akrilik, buket bunga, dan bermacam hadiah sidang akademik di area FISIP USU, Jumat (10/10/2025). | Dormaulina Sitanggang
Papan akrilik, buket bunga, dan bermacam hadiah sidang akademik di area FISIP USU, Jumat (10/10/2025). | Dormaulina Sitanggang

Fenomena kondangan akademik turut menarik perhatian kalangan akademisi. Saat berbincang pada Rabu (22/10/2025) dengan dosen Sosiologi USU, Muba Simanjuntak, menilai bahwa tradisi ini merupakan cerminan dari budaya populer Generasi Z yang serba ekspresif dan berorientasi pada kesenangan simbolik.

“Generasi Z itu everything is fun. Mereka mau berekspresi, walaupun sifatnya artifisial, kulitnya saja. Simbolnya yang ditonjolkan, bukan substansinya,” ujarnya. Muba menyebutnya sebagai fenomena budaya simbolik, di mana mahasiswa lebih menekankan pada tampilan luar ketimbang makna pencapaian akademiknya.

“Budaya kita itu lebih ke simbol daripada substansi. Karena jadi tren, orang tidak lagi mempertanyakan maknanya, cuma ikut karena sedang populer,” lanjutnya.

Muba menyoroti peran media sosial yang sangat besar dalam mempertahankan budaya ini, menjadi arena validasi sosial. “Begitu di-posting dan dapat banyak like, mereka merasa eksis. Padahal itu bentuk pemujaan diri di ruang maya, bukan pengakuan atas kemampuan akademik yang sesungguhnya,” ungkap Muba.

Ia juga menyoroti adanya ketimpangan sosial yang tersembunyi di balik euforia ini. “Yang mampu jadi etalase untuk mempertontonkan kelebihan, sementara yang tidak mampu merasa asing dan tertekan,” jelasnya.

Etika, regulasi, dan pengendalian gratifikasi

Ikhsan Siregar, Direktur Direktorat Pengembangan Pendidikan USU, saat dijumpai di Biro Rektor Lantai II, Rabu (26/11/2025). | Ruth Cinthia Sianturi
Ikhsan Siregar, Direktur Direktorat Pengembangan Pendidikan USU, saat dijumpai di Biro Rektor Lantai II, Rabu (26/11/2025). | Ruth Cinthia Sianturi

Fenomena kondangan akademik memunculkan beragam respons dan pertimbangan regulasi dari pihak kampus. Ikhsan Siregar, Direktur Direktorat Pengembangan Pendidikan (Dirpp) USU, pada Rabu (26/11/2025), menjelaskan bahwa tradisi ini menimbulkan persoalan mendasar, terutama terkait etika perayaan sebelum hasil ujian keluar.

Ikhsan menelaah bahwa ujian akademik memiliki dua kemungkinan, yakni lulus atau gagal. Perayaan yang dilakukan sebelum hasil keluar bisa menimbulkan situasi tidak etis dan tekanan bagi peserta ujian.

“Kalau misalnya banner-nya sudah ada ucapan selamat tapi ternyata dia gagal, kan nggak etis. Itu juga jadi pressure bagi peserta ujian. Bahkan ada yang menyiapkan balon, dekorasi, dan perayaan besar sebelum ujian dimulai,” tuturnya.

Terkait kewajiban konsumsi, Ikhsan menegaskan hal itu tidak diperbolehkan dan bertentangan dengan ketentuan Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (ZI-WBK), yang diperkuat oleh Surat Edaran Kemendikbud Ristek tentang larangan dosen menerima hadiah. “Nggak boleh sebenarnya. Beberapa fakultas juga sudah buat edaran untuk melarang penyediaan konsumsi,” tegas Ikhsan.

Beberapa fakultas, khususnya FKM USU, telah mengeluarkan surat edaran resmi yang melarang praktik selebrasi di lingkungan fakultas. Ikhsan menyebut hal ini sebagai kebijakan internal fakultas. “Itu keputusan murni dari FKM. Mungkin karena sudah merasa terganggu dengan perayaan yang terlalu berlebihan, maka dikeluarkanlah surat edaran tersebut,” ucapnya.

Mengenai kemungkinan regulasi baru dari universitas, Ikhsan menuturkan bahwa hal itu masih akan dibahas. Fokusnya adalah mengurangi hal yang mengganggu ketertiban dan memberatkan mahasiswa, bukan melarang perayaan itu sendiri.

“Yang penting, kalau memberatkan mahasiswa ya sebaiknya jangan. Jangan sampai mubazir dan mengeluarkan biaya besar. Termasuk pembuatan banner, konsumsi, atau dekorasi yang terlalu meriah, karena itu pasti uangnya minta ke orang tua, yang tentunya dapat memberatkan juga,” pungkas Ikhsan.

Ikhsan juga menekankan bahwa tradisi ini tidak sepenuhnya mencerminkan nilai akademik yang seharusnya dijaga kampus. Ia berharap hal ini tidak menimbulkan masalah baru, apalagi beban bagi orang tua. “Sebaiknya seremoni seperti itu tidak usah sampai mengeluarkan biaya. Jangan menimbulkan ketidaknyamanan bagi yang sedang belajar, tidak usah berlebih-lebihan, mengeluarkan biaya,” imbaunya.

***

Koordinator Liputan: Dormaulina Sitanggang

Reporter: Jennifer Smith L. Tobing, Ruth Cinthia Sianturi

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus