Oleh: Jabbar A. Panggabean
Hari ini boleh saja kebiasaan menumpahkan emosi kemarahan atau ketidaksetujuan di media sosial dengan apriori, sumpah seranah, cemoohan, dan penistaan—sebagaimana sering terjadi belakangan ini—menjadi sesuatu yang biasa kita lihat. Namun, jangan pernah sekalipun mengganggap itu adalah hal biasa.
Professor Julianne Schultz AM FAHA dalam Universal Suffrage? Technology and Democracy pernah mengatakan, kemampuan suatu masyarakat demokrasi untuk berfungsi dapat dipengaruhi kapasitas kemampuan adaptif teknologi. Atau dengan kata lain, teknologi mampu memengaruhi hakikat dari demokrasi itu sendiri.
Menurut data yang dihimpun Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2016 lalu mencapai lebih dari 132 juta. Maka, hadirnya internet menjadi sebuah momentum besar bagi perubahan zaman dan generasi.
Muncul sekitar tahun 1994 yang ditandai hadirnya IndoNet sebagai internet service provider (ISP) pertama, internet menjadi pemain penting dalam menghakhiri era tertutupnya komunikasi selama tiga dekade rezim Soeharto. Rezim yang menikmati kontrol hampir mutlak atas semua ruang media, komunikasi, dan informasi.
Internet menjadi motor perubahan paling penting bagi ciri khas anak muda di dua zaman berbeda. Kini semua orang bebas menjadi yang paling tahu. Topik diskusi yang pada awalnya hanya berupa pembahasan sederhana seputar ilmu pengetahuan segera meluas.
Informasi dari politik, teknik, hingga erotik hadir di sini. Internet melalui beragam bentuknya berhasil menciptakan ruang publik baru, mengalihkan manusia-manusia yang utamanya adalah milenial dari matriks demokrasi klasik seperti kafe, ruang kelas, atau bahkan sudut jalanan.
Kebebasan berpendapat di ‘ruang publik baru’ ini, justru pada satu sisi membawa kita pada kesiapan dan ketidaksiapan dalam menghadapi hantaman informasi yang begitu masif dan impulsif. Dalam hitungan jam, sebuah informasi hoax bahkan mampu memecah belah suatu negara. Kesiapan dan ketidaksiapan dalam mengolah informasi yang diterima berpengaruh seutuhnya dalam tindakan yang akan dihasilkan dari informasi tersebut.
Hari ini, tanpa mengesampingkan keunggulan para anak muda negeri Indonesia, mari kita berbicara jujur tentang fakta kebisingan yang kita ciptakan untuk memecah belah bangsa kita sendiri. Simpul masalahnya hanya satu; kita tidak sadar sedang dikendalikan. Tanpa kita sadari, seluruh elit politik yang membawa kepentingannya masing-masing, masuk ke koridor ‘ruang publik baru’ ini.
Sasaran mereka jelas; anak muda, generasi milenial, atau seluruh kita yang tidak bersiap. Momen awalnya ditandai pada saat Pilpres 2014, dan semakin terlihat jelas pada Pilkada DKI 2017. Anak-anak muda yang tidak paham politik, akan dikendalikan oleh orang-orang tua yang sok paham politik.
Media Sosial
Sejak tiga tahun terakhir, hadirnya media sosial sangat berdampak bagi kehidupan kita. Menghubungkan berbagai kehidupan dari satu tempat ke tempat lain yang sangat jauh. Mengoneksikan jaringan yang satu dengan jaringan baru. Menciptakan komunitas. Atau bahkan membantu meningkatkan bisnis dan penjualan.
Maka seiring dengan meningkatnya aktivitas para pengguna internet di media sosial, terbukalah ruang-ruang diskusi dengan beragam topik bahasan. Kondisi ini menghasilkan suatu inkubasi khusus sebagai tempat lahirnya ‘para ahli’ dengan cara yang instan dan dalam tempo yang prematur.
Tuntutan akan kesetaraan hukum politik menjadi paling populer belakangan ini. Semua berhak menyampaikan pendapat paling benar, padahal sedang terjebak dalam situasi kompleks tentang pemaknaan “menyampaikan pendapat” itu sendiri. Lalu setelahnya topik pembahasan pun meluas, sampai-sampai hampir tak ada perkembangan sosial politik yang luput dari kritisisme aktivis media sosial.
Waktu-waktu yang ada, tak peduli luang atau produktif kerja, menjadi arena tanding untuk debat tanpa moderator. Undang-undang yang ada pun masih tak cukup powerful. Dari ribuan pelanggaran UU ITE yang terjadi setiap harinya, hanya sedikit sekali yang diproses sesuai hukum yang berlaku.
Padahal, pelanggaran ini umumnya diakibatkan karena tipisnya batasan dalam membahas isu aktual dengan hal-hal yang bersifat pribadi. Terlebih, agak sulit memang mengabaikan debat media sosial, ketika semuanya—masyarakat, pemerintah, politisi, penegak hukum, selebritas, aktivis—merasa berkepentingan mengikuti perdebatan di sana.
Menanggapi fenomena media sosial ini, Agus Sudibyo dalam tulisannya mengatakan bahwa setiap orang adalah jurnalis, setiap orang adalah sumber. Pada pelaksanaannya, media sosial memang memungkinkan individu bertindak sebagai subyek yang otonom di ruang publik. Poin terpentingnya adalah bagaimana kita mampu mendorong orang-orang di sekitar kita untuk secara partisipatoris terlibat dalam proses pencarian, penyebaran, dan pertukaran informasi yang sesuai.
Sebab, ada cukup banyak dari kita yang hanya jadi penonton dalam diskursus media. Seperti halnya yang ditunjukkan dalam pemilihan tema berita di televisi yang utamanya merujuk pada elitisme. Bukankah sebagian besar pemirsa televisi kita adalah kelas menengah ke bawah? Akan tetapi kenapa justru seringkali dialog-dialog di televisi hanya mencerminkan problem, minat, atau sensibilitas kelas menengah ke atas?
Kemunculan media sosial yang memungkinkan setiap orang berpendapat langsung, terlibat dalam diskusi, bahkan turut menentukan tema yang perlu didiskusikan, membuka asa bagi perwujudan egalitarianisme dan kesetaraan. Siapa pun boleh berbicara tentang apa saja. Siapa pun boleh berdiskusi dan menyanggah pendapat siapa saja. Maka, jika melihat dari perspektif demokrasi dan deliberasi publik, peristiwa yang mampu melibatkan publik secara besar seperti ini termasuk bagian dari kemajuan yang dapat diapresiasi.
Akan tetapi yang menjadi fokus utamanya adalah bahwa diskusi di ruang publik juga harus dilandasi etika dan kepantasan. Kebebasan berpendapat kita dibatasi hak orang lain untuk diperlakukan secara adil serta hak semua orang atas ruang publik yang steril dari sumpah seranah, sikap permusuhan, dan pergunjingan pribadi.
Jika disepakati bahwa media sosial adalah sebentuk ruang publik, maka sebagaimana aturan yang kita jumpai pada ruang-ruang publik yang lain, aturan tersebut juga harus berlaku untuk media sosial tanpa pengecualian. Sehingga kebisingan-kebisingan yang terjadi dapat diubah menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.
Menggerakkan Kebisingan Positif
Hiperaktualitas dan interaktivitas sebagai keunggulan komparatif media sosial telah mendorong kita melontarkan pernyataan spontan, otomatis, dan tanpa berpikir panjang. Gairah dan suasana diskusi di media sosial mengondisikan kita berbicara sesegera dan seaktual mungkin.
Dalam berbagai isu, media sosial tampak digunakan sebagai sarana menghujat, mencaci maki, atau merendahkan pihak yang dianggap bertentangan pendapat. Yang kita temukan di media sosial tidak sekadar kritik yang argumentatif, tetapi juga kritik yang apriori dan kasar. Dengan mudahnya satu pihak menghakimi pihak lain tanpa ada mekanisme tabayyun: klarifikasi dan umpan balik.
Siapapun yang muncul pertama kali akan “dianggap” sebagai orang yang lebih tahu dan lebih pakar. Representasi dari kaidah inilah yang membuat kita seringkali tak sempat pikir panjang tentang kepantasan dan dampak suatu pernyataan. Kontroversi, debat kusir, dan bahkan penghakiman, justru seolah menjadi bahan bakar yang menambah laju kebisingan tersebut.
Selain itu, diskusi di media sosial memungkinkan kita menyamarkan identitas diri dan berbicara secara anonim. Persoalannya, sebagaimana dikatakan sosiolog George Simmel, di mana ada anonimitas di situlah muncul potensi iresponsibilitas. Tentu tidak semua anonymous adalah pribadi-pribadi yang tidak bertanggung jawab.
Namun, tidak sedikit orang yang menggunakan nama samaran atau akun anonim untuk berbicara seenaknya dan mem-bully orang lain. Menggunakan analogi Simmel, mereka seperti manusia-manusia bertopeng yang dapat bertindak jahat terhadap orang lain tanpa seorang pun tahu jati dirinya, tanpa harus bertanggung jawab.
Menjadi penting bagi kita untuk merefleksikan kembali nasihat salah seorang cendikiawan terbaik dunia, Imam Asy-Syafi’i: “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudaratnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).” Proses berpikir ini dalam istilah yang dipakai oleh Hannah Arendt, adalah seperti berdialog dengan diri sendiri.
Think before act menjadi sangat penting agar kita mampu menenggang nasib dan perasaan orang lain, tak sekadar mengikuti naluri-naluri yang egoistik-anarkis. Kemampuan menenggang nasib dan perasaan orang lain inilah esensi sesungguhnya dari hidup bermasyarakat.
Hari ini boleh saja kebiasaan menumpahkan emosi kemarahan atau ketidaksetujuan di media sosial dengan apriori, sumpah seranah, cemoohan, dan penistaan—sebagaimana sering terjadi belakangan ini—menjadi sesuatu yang biasa kita lihat. Namun, jangan pernah sekalipun mengganggap itu adalah hal biasa.
Jangan sampai negativitas media sosial menutupi potensi-potensi demokratif-deliberatif sebagaimana telah dijelaskan di atas. Negativitas hanya boleh menjadi gejala residual yang tidak permanen, dan harus sesegera mungkin diubah dengan positivitas sebagai cerminan perilaku bangsa Indonesia yang ramah.
Jelas sekali, kita punya kesempatan untuk menjadi lebih baik. Bukan dengan meredam kebisingan, tapi justru dengan mengarahkan dan mengendalikannya. Menggerakkan kebisingan positif? Ini mendesak. Kita harus jadi lebih baik.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi 2012. Ia juga salah satu Mahasiswa Berprestasi Tingkat Nasional tahun 2016, Kepala Yayasan Sekolah Pemimpin Muda Indonesia, dan CEO LombaLomba[.]com.