Oleh: Rosinda Simanullang
Apa yang terlintas di benak Anda saat pertama kali mendengar atau melihat pria dengan rambut gondrong? Kilas balik pada rezim Soeharto, yang pada saat itu pemerintah turut campur dalam hal penampilan pria, terutama dalam hal gaya rambut. Tidak jelas dari mana asal pemikiran tersebut, rambut gondrong diidentifikasi sebagai lambang perlawanan terhadap penguasa. Gondrong identik dengan kejahatan, kenakalan, amburadul, dan lainnya.
Faktanya, walau sudah beberapa dekade terlewati labeling buruk itu masih melekat di benak masyarakat. Hingga detik ini, gondrong masih dianggap tabu bahkan dilarang, tak terkecuali di lingkup perguruan tinggi. Beberapa mahasiswa gondrong di Universitas Sumatera Utara tidak luput dari labeling ini. Selain stigma yang diterima, para mahasiswa gondrong ini juga acapkali harus mengikuti aturan yang terbungkus dengan kalimat ‘Wajib berpenampilan rapi’ dan anggapan gondrong bisa mengganggu proses pembelajaran, khususnya laboratorium. Sehingga dalam beberapa kasus, masih ditemukan pemangkasan rambut bagi pria gondrong.
Sebagai mahasiswa USU yang memiliki rambut gondrong, berikut tanggapan mereka mengenai stigma-stigma, pelarangan yang terjadi, dan alasan mengambil pilihan memanjangkan rambut.
Ari Sipayung – Fakultas Ilmu Budaya 2018
Setelah tiga tahun gondrong, saya dapat banyak stigma. Misalnya, dari orangtua saya sendiri yang kadang melabeli saya berandal, enggak teratur, tapi kalau kawan-kawan sudah biasa. Awalnya milih gondrong karena terpikir aja baru masuk kuliah melihat abang-abangan rambut panjang. Kebetulan kalau di lingkungan musik memang kebanyakan orang manjangin rambut, jadi pengen aja manjangin rambut. Bukan karena ada unsur lain biar begini begitu. Pengen aja nyoba, rupanya nyaman gondrong sampai sekarang. Secara akademik enggak ada yang mengganggu, kalau di prodi Etnomusikologi anak gondrong dibolehin atau diterima saja, paling kalau ketemu dosen disuruh rapihin rambutnya, maksudnya dirapikan dengan dicepol, diikat, atau dikuncir bagus. Untuk stigma buruk yang selalu diberikan masyarakat terhadap mahasiswa gondrong, menurut saya itu tergantung sudut pandang orangnya. Harapanku jangan lihat dari rambutnya, yang botak pun adanya pencopet. Gimana-gimana pun tergantung orangnya, makanya jangan dipandang dari rambutnya.
Albert Tampubolon – Fakultas Pertanian 2021
Saya memilih gondrong karena mau beda dari yang lain aja, karena sebenarnya di Fakultas Pertanian enggak boleh sembarangan gondrong. Kalau dari prodi dan dosen enggak pernah dapat diskriminasi, tetapi kalau lagi belajar harus diikat jadi dosen enggak terlalu menggubris. Kalau dari teman-teman saya, ada yang langsung mikir kalau gondrong ini berantakan kuliahnya, enggak benar, hidupnya amburadul, padahal sebenarnya aman-aman saja. Saya menanggapinnya cuek aja, lebih baik ngebuktiin kalau saya enggak seperti yang dipikirkan mereka. Dengan nunjukkin kalau kuliah aman dan hidup saya pun sama-sama aja dengan yang enggak gondrong. Jadi sebenarnya menurut saya, indikator dari stigma-stigma buruk masyarakat terhadap yang berambut gondrong ini, karena terlihat kurang rapi aja. Mungkin saja karena laki-laki gondrong belum terbiasa menata rambut. Selama ini kita tahu laki-laki itu rambutnya pendek, jadi terbiasa dengan rambut pendeknya. Tidak seperti perempuan yang sudah mengerti haircare. Terkait stigma-stigma yang udah ada, saya tidak bisa memaksakan pikiran orang, cuma kayak ya udah ngalir aja. Pesan saya buat kawan-kawan yang lain yang gondrong, untuk merawat rambutnya biar orang lain pun nggak berstigma seperti itu.
Rahmat Teodore Silalahi-Fakultas Pertanian 2021
Selama setahun saya gondrong sudah dicap buruk, ‘berandalan’ itulah paling melekat. Saya menanggapinya diam aja, tapi akan membuktikan bahwasanya saya bukan berandalan. Orang tua mengizinkan, tapi banyaklah perjuangan untuk ngebujuk-bujuknya. Sejauh ini belum pernah dipersulit dalam hal akademik, paling dapat peringatan aja karena ada ke laboratorium. Disuruh ikat rambut, padahal sebenarnya harus digunting, tetapi kami punya alasan kuat jadinya pakai alternatif lain, seperti pakai penutup kepala. Setelah mendengar bahwa ada kasus di prodi lain yang rambutnya wajib dipotong saat ingin masuk laboratorium, saya tidak setuju. Menurut saya, rambut tidak mengganggu di studi kita dalam pembelajaran, tapi kalau di laboratorium kalau memang harus diikat ya diikat. Dari stigma-stigma yang udah menyebarluas, kami orang-orang gondrong bisa membuktikan bahwa kami tidak seperti itu, kami punya pendirian kami masing-masing.
Farel Situmeang-Fakultas Teknik 2019
Kalo masalah akademik selama ini tidak ada masalah, kebetulan udah kedua kalinya saya gondrong. Kami ada masuk laboratorium dan tidak boleh rambut gondrong sebenarnya, tetapi seorang Farel ini agak gimana-gimana, jadi saya gagalkan aja lab-nya. Saya tidak setuju dengan aturan larangan rambut gondrong ke laboratorium, karena apa bedanya saya dengan kawan-kawan perempuan yang non-muslim yang tidak menggunakan hijab? Dengan alasan kerapian? Menurut saya, rapi itu nggak harus klimis, nggak harus pendek rambut. Penampilan bukan segalanya dan rambut gondrong tidak menentukan kepintaran atau kebodohan seseorang. Selama menggondrong, stigma yang sering saya dengar, ‘Gondrong doang, enggak nyopet,’ saya menanggapinya biasa aja. Jadi, pandangan saya tentang penampilan itu bukan segalanya, banyak di luar sana yang menggunakan jas pun bisa mengkorupsi uang negara, berpenampilan bagus dilihat media, atau kita sendiri juga banyak yang menyalahgunakan penampilan tersebut. Kalau berpenampilan seperti saya ini dan teman-teman gondrong di luar sana bisa di lihatlah, baik, kuliah aman, seperti saya yang besok sudah sidang.
Martin Jones Simamora – Fakultas Teknik 2018
Banyak yang bilang, ‘Di Teknik itu minimal gondrong’. Ini kedua kalinya saya gondrong, dulu pernah sekali dipotong karena ada mata kuliah masuk laboratorium. Kalau dibilang terima sebenarnya tidak ya, karena asisten laboratorium yang menyuruh pangkas rambut pada saat itu juga gondrong. Padahal gondrong nggaknya mengganggu proses laboratorium. Untuk stigma buruk, saya belum pernah dapat yang gimana-gimana gitu karena mungkin orang menilai tergantung muka juga. Paling kemaren cuma masalah perijinan orangtua. Awalnya nggak ngasih, dikatain pencurilah, pada akhirnya Uda atau Paman saya yang ngasih. gondrong itu buang stres aja sebenarnya. Saya kurang setuju dengan stigma-stigma buruk terhadap orang berambut gondrong, ya memang kalau zaman dulu yang gondrong itu emang betul pencuri, kalau sekarang kan nggak lagi sudah banyak mahasiswa juga. Jadi semua tergantung orangnya, itulah kubilang nggak boleh asal judge.
Andi Pranata Surbakti-Fakultas Teknik 2020
Saya sudah pernah dapat stigma buruk dari keluarga dan kawan-kawan dari Fakultas lain, karena rambut saya gondrong bukan yang lurus. Jadi, stigmanya yang saya dapat itu penah disebut, “orang gila”. Saya nangapinnya biasa aja, karena dalam pikiran saya mungkin mereka iri saja. Saya juga dikatai berantakan dan saya setuju karena memang benar adanya, cuman itulah yang jadi ciri khas. Selama gondrong tidak pernah mengganggu akademik. Saya memilih mulai menggondrong setelah lab saya sudah selesai semua, karena kalau masuk lab rambut memang harus dipangkas. Saya setuju pada aturan tersebut karena memang benar bisa mengganggu aktivitas di laboratorium. Apalagi misalnya saat lab Kimia, rambut itu bisa mengganggu alat-alat Kimia, peralatan, dan sebagainya. Terkait stigma-stigma buruk tentang gondrong yang sudah ada sejak dahulu, saya lebih memilih nggak peduli karena gondrong itu pilihanku bukan pilihan mereka. Sudut pandang mereka yang berpikiran begitu bukan saya, jadi lebih baik membiarkan aja nggak usah ditanggapin.
Gerhard Marbun-Fakultas Teknik 2021
Selama menggondrong, saya sudah pernah dapat stigma berandalan dan sempat juga dikira cewek. Saya diam aja, karena orang yang tidak tahu kita yang sebenarnya, jadi biar orang yang dekat aja yang tahu kita gimana. Daripada klarifikasi nanti jadi panjang urusannya. Jujur, saya tidak pernah mendapat kesulitan dalam hal akademik selama gondrong. Saya menggondrong pas sudah tidak ada masuk lab lagi. Saya setuju tidak setuju dengan aturan tersebut karena gondrong ini tidak mengganggu pembelajaran, tetapi di sisi lain kerapian itu juga penting. Namun, perlu digarisbawahi juga bahwa gondrong bukan berarti tidak rapi. Sebenarnya gondrong itu balik ke orang-orangnya masing-masing. Kalau menurut kami gondrong itu rapi, tapi beberapa yang lain melihat gondrong itu kurang bersih, ya walaupun ada benarnya juga karena kadang muka jadi terlihat lebih kusam.
Batara Timothy Simamora-Fakultas Teknik 2020
Saya memilih gondrong karena tidak ada lagi kesempatan kita gondrong, kecuali di masa kuliah. Selama menggondrong keluarga dan kawan-kawan nengoknya risih, dikatain semak. Kalau untuk masalah akademik, saya pernah disuruh pangkas rambut karena ada masuk laboratorium. Menurut saya, sah-sah aja karena sudah peraturan dan kita pun yang mengikuti lab-nya tidak terganggu. Nyatanya, rambut gondrong memang bisa menggangu saat lab. Terkait stigma-stigma yang beredar, mungkin kalau dari aku, “don’t judge a book by it’s cover,” bukan berarti gondrong seperti pada umumnya seperti label yang sudah melekat, kembali lagi itu semua tergantung pribadi kita masing-masing aja.
Muhammad Aldri – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2022
Saya gondrong karena pengen, dulu pernah nyoba gondrong tapi baru setengah udah risih jadi dipotong karena enggak sabaran. Selama menggondrong udah pernah dituduh narkobaan atau pemakai narkoba, enggak dituduh sih sebenarnya cuma canda-candaan teman-teman gitu aja karena mungkin lihat kondisi rambut lepek. Saya lihatnya sebagai candaan aja. Dalam bidang akademik, saya tidak pernah merasa terganggu karena memang prodi saya enggak melarang dan memang gak ada aturannya. Pesan saya terkait stigma-stigma buruk bagi yang berambut gondrong, agar jangan menilai orang gondrong sesuka hatinya karena kita enggak tahu juga dia gimana aslinya, tapi aku selama ini oke-oke aja sih.