BOPM Wacana

Kala Jurnalisme Bernarasi

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Ika Putri A Saragih

Judul : #NARASI: Antologi Prosa Jurnalisme
Penulis : Fahri Salam, dkk
Penerbit : Pindai
Tahun terbit : 2016
Jumlah halaman : 466 Halaman
Harga : Rp 90.000

 

Foto: Vanisof Kristin Manalu
Foto: Vanisof Kristin Manalu

Ada delapan belas hikayat yang bersumber dari liputan panjang dan mendalam dipersembahkan. Maestro lain dari minimnya produk jurnalistik gaya baru di Indonesia.

Ada 466 halaman dengan delapan belas kisah berbeda dalam buku ini. Jika dibagi rata, kira-kira pokok pikiran tulisan ini memuat 25-26 halaman. Memikirkan bagaimana caranya menyelesaikan 25-26 halaman membaca sebuah “berita” mungkin terasa memberatkan. Namun tidak dengan buku ini. Karena bukan “berita” biasa yang disajikan. Melainkan berita rasa narasi.

Sesungguhnya buku ini lahir mengingat masih minimnya prosa nonfiksi lewat kerja-kerja jurnalisme. Dalam kata pengantarnya Fahri Salam, editor sekaligus penulis di buku ini menyoroti rutinitas wartawan di kota besar, seperti Jakarta, yang mau tak mau mesti fokus mengejar belasan artikel dalam sehari untuk diterbitkan.

Lebih lanjut ia bilang kemunculan kapitalisme cetak yang mendorong menjamurnya pers pergerakan di Hindia Belanda awal abad ke-20, mandek sampai sekarang. Seiring teknologi yang semakin mutakhir, dunia pers lantas mulai diakuisisi oleh internet. Namun kebijakan redaksi di atas membikin wartawan kesulitan mengalokasikan waktu buat reportase mendalam. Padahal dari sisi logika bisnis, harusnya di era ini genre penulisan naratif bisa lebih berkembang sebab tak lagi memerlukan halaman.

“Seiring ada media yang menyediakan ruang untuk itu, saya kira akan muncul generasi penulis yang mengisinya,” kata Fahri.

Prosa nonfiksi jurnalisme ini lazim digolongkan ke dalam jurnalisme gaya baru. Dilansir dari beranda blog wartawan cuma aktivis HAM, Andreas Harsono, jurnalisme gaya baru ini diperkenalkan oleh Tom Wolfe tahun 60-an. Lantas apa hal baru dari jurnalisme baru ini? Ialah penuturannya menggunakan adegan demi adegan, reportase yang menyeluruh, menggunakan sudut pandang orang ketiga, serta penuh dengan detail.

Jurnalisme gaya baru ini juga lebih dari sekadar in-depth reporting yang lebih dulu dikenal publik. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Ada karakter, drama, babak, adegan, dan konflik. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Layaknya novel fiksi namun bernapaskan hal nyata.

Di negeri ini jurnalisme gaya baru ini lazim disebut dengan Jurnalisme Narasi ataupun Jurnalisme Sastrawi. Dan seperti yang dikemukakakan oleh Fahri di atas, belum banyak sumber bacaan yang memuat narasi murni. Paling banter karya Bondan Winarno, Bre-X: Sebongkah Emas di kaki Pelangi dan segelintir lainnya. Selebihnya merupakan kumpulan reportase yang rutin dilakukan para wartawan maupun majalah seperti Tempo.

Karya-karya seperti Zaman Edan yang ditulis oleh Richard Llyod Parry menjelang dan sesudah kejatuhan Soeharto bisa jadi rujukan sejarah. Belum lagi Hiroshima buah tangan John Hersey yang menjadi tonggak dimulainya era jurnalisme narasi. Kontribusi karya jurnalisme narasi yang dituturkan lewat gaya bercerita tidak bisa diabaikan begitu saja sebab keterkaitannya dalam memelihara ingatan yang cenderung lebih utuh atas suatu peristiwa.

Maka buku ini menjadi pencatat bahwa di salah satu sudut dunia ini pernah terjadi suatu peristiwa. Dari delapan belas kisah, salah satu kisah yang menurut saya paling enak dibaca adalah Bara di Urutsewu. Saya menyukai gaya Prima Sulistya Wardhani yang menulis cerita dengan pembuka seperti berdongeng,

“Pada tengah hari Sabtu, 16 April 2011, suara tembakan berdesing dari suatu tempat di dekat tangsi militer.”

Dan diakhiri dengan,

“Gemanya membuat pintu dan kaca jendela bergetar, mengingatkan pada film-film perang. Tak terbayangkan hidup dengan suara-suara itu seumur hidup.”

Bara di Urutsewu sendiri mengisahkan konflik agraria di sebuah desa Jawa Tengah. Tokoh Goliath-nya diperankan oleh TNI dan warga mau tak mau harus menjadi David. Warga Desa Setrojenar dibisingkan oleh desingan tembakan dan dentuman meriam. Suara-suara ini berasal dari tempat tentara-tentara dari Kodam IV/Diponegoro yang sedang melangsungkan latihan perang. Suara desing peluru dan dentum meriam bukanlah hal asing bagi warga Desa Setrojenar.

Sejak tahun 1960-an, daerah yang terletak di kawasan pesisir selatan sepanjang Kebumen – Purworejo ini sudah disambangi TNI AD sebagai tempat latihan. Kehadiran mereka diistimewakan pada tahun itu sebab rezim Soeharto menganakemaskan TNI sebagai garda terdepan penjaga kekuasaannya. Tanah warga diklaim sebagai tempat latihan padahal jelas terletak di lahan pertanian milik warga. Klaim tanah selebar 500 meter itu lantas bertambah menjadi 750-1.000 meter dan ditandai dengan patok dari cor semen bertuliskan ‘TNI AD’.

Awalnya warga masih bisa membiarkan kesewenang-wenangan ini. Namun konflik lantas meletus pada 1997 saat lima anak tewas akibat mortir sisa latihan di ladang warga. Puncaknya bentrok antara warga dengan TNI dan yang paling banyak dirugikan tentu saja warga. Dan seperti selalu tidak ada sanksi yang jelas bagi para Goliath. Mungkin David di kisah ini sama gigih sama seperti yang ada di Kitab Ibrani. Hanya saja ia belum beruntung sebab hingga akhir September 2014 langit warga masih dihiasi dentuman meriam beruntun tiap lima belas menit sekali.

Ada kisah hampir serupa ditulis oleh Jogi Sirait berjudul “Dalam Selimut Konflik” yang menyoal perebutan tanah seluas 20.000 hektare antara Suku Anak Dalam di Jambi dengan PT Asiatic Persada. Selain tentang agraria ada tulisan tentang catatan personal laga sepak bola di Pulau Jawa, sosok minoritas Tionghoa dan Papua, riwayat pengidap skizofrenia, kisah seorang ibu yang rutin menggelar aksi kamisan, kekerasan terhadap kelompok agama, reportase tentang pertanian dan pangan lokal. Perbudakan seksual di zaman Jepang, era pendudukan Timor Leste, kekejaman perang di Aceh, kasus korupsi, analisis bisnis media, hikayat skema musik independen hingga gaya hidup baru masyrakat suku Indian di daratan Amerika Serikat.

Buku ini boleh jadi merupakan kumpulan reportase II pasca Jurnalisme Sastrawi yang terbit tiga belas tahun lalu. Beberapa penulis dalam Jurnalisme Sastrawi juga ada yang ikut andil lagi menuliskan hasil liputannya dalam buku terbitan Pindai ini. Sebut saja Andreas Harsono dan Chik Rini.

Di buku ini Andreas memberi kejutan yang tak terdeteksi hingga kalimat terakhir karyanya. Kejutan yang membikin saya tak lantas merespon dan harus menyadarkan diri mengulang 2-3 kali paragraf terakhir Hoakiao dari Jember-nya. Lain lagi dengan Chik Rini, saya cenderung lebih menyukai tulisannya dalam Jurnalisme Sastrawi. Penulisan kisah Kegilaan di Simpang Craft lebih ‘hidup’ dan menyentuh ketimbang Surat dari Geudong: Panglima, Cuak dan RBT.

Pengantar singkat dari penulis tiap memulai kisah baru menjadi pembeda lain dengan Jurnalisme Sastrawi. Di sini tiap penulis memaparkan secara singkat proses peliputannya. Hal ini memberikan gambaran bagi pembaca hal yang terjadi di balik layar sebuah sajian peliputan.

Secara keseluruhan buku ini memuaskan dahaga mereka yang mencintai seni menulis panjang.

Meski ada segelintir tulisan yang kurang enak untuk dibaca. Salah satunya menurut saya yakni Terekam, Tak Pernah Mati. Sebenarnya Raka Ibrahim, sang penulis, mendapat porsi menulis yang paling panjang di antara tujuh belas tulisan lain. Namun karena perpindahan alur topik cepat buat saya sebagai pembaca cukup bosan. Padahal ia mengangkat isu yang cukup keren, sejarah perkembangan musik ‘bawah tanah’ di ibu kota.

Ada juga beberapa kisah apik namun sayang jumlah kata yang memuat tulisan terlampau minim sehingga kisahnya berasa kurang utuh. Misalnya Perempuan Berpayung Hitam-nya Abdina Dwifatma dan tulisan Bayu Maitra Hantu-hantu di Kepala. Tulisan Bayu contohnya berkisah mengenai seorang penderita skizofrenia yang mencari kesembuhan. Cukup emosional hanya saja kisahnya berasa kurang lengkap karena kurang mendetailnya cerita bagaimana si pasien akhirnya sembuh. Padahal saya punya harapan besar saat membaca awal paragrafnya sebab ulasan lengkap mengenai balada pasien skizofrenia yang jarang ditemui.

Nama-nama penulis yang tercantum di sampul depan merupakan wartawan-wartawan yang telah malang melintang di dunia jurnalisme Indonesia. Mudah menemukan ulasan tentang diri mereka di dunia maya. Tim #narasi ini, terdiri atas penulis yang kontinu menulis dengan gaya narasi maupun yang menulis dengan format narasi dan berita lempang. Sebut saja di antaranya Andreas Harsono, Puthut EA, dan Anugerah Perkasa.

Andreas lazim menggunakan teknik narasi dalam setiap tulisannya baik yang diterbitkan di media tempatnya bernaung maupun di laman blog pribadinya. Pun demikian dengan Anugerah Perkasa. Puthut EA sendiri lebih dulu saya kenal namanya lewat mojok.co, sebuah situs blog yang mewadahi para pemikir yang menyampaikan pikirannya dengan cara yang menghibur dan nyeleneh.

Dengan beberapa bahasan pokok yang cukup berat dengan jumlah halaman yang cukup banyak, saya sarankan Anda mulai membaca dari topik yang menurut Anda paling menarik. Buku ini cocok dikonsumsi buat Anda yang ingin mengetahui topik hangat yang termarginalkan dengan penulisan yang ringan. Tepat juga untuk wartawan lain yang ingin mengetahui narasi karena kata pengantar penulis di tiap subbab bisa dijadikan bekal.

Terakhir, alasan judul buku ini memakai tagar adalah,

“Dalam angan-angan kami, kelak judul dengan tagar ini dapat mendorong terbitan serupa yang mengusung genre ini, baik dalam buku utuh maupun di ranah daring,” tutup Fahri.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Rubrik Ulas Majalah SUARA USU Edisi 7.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4