Oleh: Reza Anggi Riziqo
“Agamanya apa? Hindu ya? Buddha ya?”
Pertanyaan ini kerap diterima Paviter Raj Kaur, seorang penganut Agama Sikh di Kota Medan. Berulang kali dia harus menjelaskan tentang agama Sikh yang tidak termasuk 6 agama diakui di Indonesia.
Sekilas, tampilan pemudi berusia 20 tahun ini memang beda. Ada tutupan kain membalut di atas kepalanya. Itu turban. Paras wajahnya juga khas menandakan dia keturunan Asia Selatan. Terlebih, nama “Paviter Raj Kaur”, asing terdengar sebagai nama lokal masyarakat Indonesia.
Sehari-hari, Paviter menimba ilmu di Universitas Sumatera Utara (USU), jurusan Manajemen. Tiap hari Minggu, dia juga selayaknya penganut Agama Sikh lain, rutin pergi ibadah ke Gurdwara–nama tempat ibadah umat Sikh.
Selain menjadi tempat ibadah, Gurdwara juga jadi wadah bagi Paviter untuk bertemu teman-temannya. “Kadang di hari biasa, kalau gak ada kelas, aku juga ke sini,” tuturnya.
Agama Sikh lahir dari wilayah Punjab-India pada abad ke 15. Pertama kali dikenalkan oleh Sri Guru Nanak Dev Ji, yang kini begitu dihormati oleh penganut Sikh.
Terdapat lebih dari 25 juta jiwa penganut Sikh di dunia saat ini. Berbagai data menyebutkan populasi umat Sikh di Indonesia mencapai puluhan ribu yang tersebar di beberapa kota seperti Medan, Jakarta, Tangerang, dan wilayah lainnya.
Kota Medan jadi cikal mula peradaban Sikhisme di Indonesia. Dulu, mayoritas dari mereka merupakan migran yang dibawa ke Nusantara oleh kolonial Inggris. Sebagian lagi ialah pedagang Punjabi yang sengaja berlayar ke Semenanjung Malaya dan Sumatra, utamanya Kota Medan, sebagai salah satu bandar pelabuhan dagang besar di Selat Malaka.
Pasca kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, banyak dari mereka yang pilih menetap. Di Medan, tercatat ada 3 Gurdwara: Gurdwara Shree Guru Tegh Bahadur Ji, di Jl. Polonia; Gurdwara Sri Guru Nanak Dev Ji, di Jl. Teuku Umar; dan Gurdwara Shree Guru Arjun De Ji, di Jl. Mawar.
Ajaran Kesetaraan dan Cinta Kasih dalam Sikhisme
Siang itu, Minggu, Mei 2023, Paviter tengah beribadah di dalam Gurdwara Sri Guru Nanak Dev Ji. Dia khusyuk mendengar lantunan ayat-ayat suci dari pendeta. Sesekali kedua lengan menadah. Dilanjutkan sujud dengan menempelkan dahi dan telapak tangannya ke lantai.
Tak ada pemisahan saf antara laki-laki dengan perempuan, antara dewasa dengan anak, Paviter dan umat Sikh lainnya hanya fokus ibadah. Kesetaraan jadi salah satu ajaran dalam Sikhisme.
“‘So kyun manda aakhiye jit jamme rajaan’, kenapa kamu bilang cewek itu rendah dimana raja-raja terbesar di dunia ini pun lahir dari cewek,” ujar Paviter, membacakan salah satu sabda Sri Guru Nanak Dev Ji–si pendiri Sikhisme.
“Kalau ada yang satu-satunya yang lebih tinggi dari wanita itu adalah Tuhan Yang Maha Esa… Di bawah Tuhan itu, wanita dulu (yang) dikasih spot-nya.”
Ibadah pun diakhiri oleh pendeta berbadan tegap bergamis putih, dibantu seorang pendamping, dengan berkeliling memberi sekepal makanan pemberkatan kepada orang-orang di sana. Itu prashad, seperti dodol, berbahan dasar tepung, gula, dan minyak.
Umat Sikh memang terbiasa makan olahan nabati. Sebab, pantang bagi mereka konsumsi olahan hewan. “Kami percaya sama tingkatan-tingkatan kehidupan gitu, yang paling rendah itu tumbuhan, terus di atasnya itu serangga, di atasnya lagi hewan berkaki empat, baru manusia,” jelasnya.
“Jadi, kami juga percaya karma… Hewan itu (bagi kami) tingkatannya lebih tinggi (dibanding tumbuhan), (jika makan olahan hewan) karmanya akan lebih besar.”
Di bagian lain Gurdwara, ada ruangan khusus untuk makan. Di sana tersedia berbagai hidangan khas Punjabi. Ada roti canai, kuah kari, juga macam-macam sambal khas dari olahan paria dan kacang-kacangan. Semua itu gratis. Siapa saja boleh ambil piring dan melahapnya, sekali pun ia bukan seorang Sikh.
Konsep berbagi dan saling mengasihi dipegang teguh oleh penganut Sikh. Melampaui perbedaan, konsep ini diterapkan tak hanya kepada sesama Sikh. Ini juga ditunaikan pada manusia lain yang berbeda keyakinan.
Bagi mereka, menganut Sikh sama dengan menjalankan “cinta kasih”. “Kata Guru Ji, sebelum kalian punya agama, sebelum kalian punya kebenaran, di atas segala sesuatu itu adalah cinta kasih,” jelas Paviter.
Helaian turban/sorban di atas kepala menjadi ciri khas bagi umat Sikh, baik wanita seperti Paviter, maupun para pria Sikh. Sudah jadi kewajiban untuk dikenakan. Itu juga guna membungkus rambut panjang, agar tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Salah satu nilai dalam Sikhi melarang umatnya untuk memangkas rambut dan janggut. Mereka percaya, merawat bagian tubuh sejak lahir hingga akhir hayat sebagai “bentuk penghargaan terhadap Tuhan”.
Tapi, pengenaan turban yang tidak biasa bagi mayoritas penduduk Indonesia ini, acap kali jadi ihwal tindak diskriminatif.
Menjadi Subordinat dalam “Kebebasan” Beragama di Indonesia
“Dulu, di sekolah juga suka ditarik-tarik, di-bully… kadang ada yang bilang harus potong jambul (rambut)… Ini kan termasuk diskriminasi… (Karena) ini juga, yang buat banyak anak-anak cowok Sikh minta potong rambut,” ujar Jessyca Kaur, kawan Paviter yang juga pengurus Sikh Naujawan Sumatra (SNS), suatu organisasi kepemudaan Sikh di Sumatera.
Jessica dan Paviter sama-sama memiliki nama belakang “Kaur”, yang artinya “Ratu”. Sementara “Singh”, berarti “Singa”, tercantum pada nama belakang pria Sikh. Bukan marga, penggunaan nama belakang ini jadi identitas wajib bagi tiap pemeluk Sikh.
“Dulu waktu kecil, (sudah) biasa, mereka (anak-anak lain) mengejek Jarjit,” kata Japnaam Singh.
Japnaam, seorang Sikh yang tergabung dalam Sikh Sewaks Indonesia (SSI) Sumut, mengisahkan berbagai masalah menjadi minoritas Sikh di Indonesia. Baik yang pernah ia atau rekan sesama Sikh alami.
Segala bentuk tindak tidak mengenakkan yang diterima oleh penganut Sikh adalah sebab dari tidak populernya Sikhisme dan nilai-nilai ajarannya oleh masyarakat Indonesia secara luas.
Selain pengalaman pahit Japnaam semasa kecil yang kerap diolok-olok, ia pun menuturkan rintangan lain yang harus dihadapi oleh pemeluk Sikh ketika beranjak dewasa. Masalah pekerjaan jadi rintangan terberat.
“Banyak HRD atau manajer yang mengatakan ‘kenapa kamu memanjangkan rambut? Kenapa harus pakai sorban? Kita harus fresh, harus clean,’” tutur Japnaam, menceritakan pengalaman rekan-rekannya penganut Sikh yang mengeluh kepadanya terkait dunia kerja yang tak ramah pada pemeluk Sikh. Hingga memaksa beberapa dari mereka memangkas rambut dan janggut.
Rambut dan janggut yang rapih jadi aturan kebanyakan perusahaan yang harus diikuti oleh pegawainya. Hal ini jadi diskriminatif, ketika pekerja yang memiliki janggut dan rambut panjang karena alasan khusus seperti umat Sikh dipaksa untuk memangkasnya agar dapat tetap bekerja. Akhirnya, mereka pun tersubordinasi.
Subordinasi sosial, atau fenomena keharusan kelompok minoritas mengikuti nilai-nilai mayoritas menimpa pemeluk Sikh di Indonesia.
“Konsepnya (Indonesia) adalah kesatuan dari yang beraneka… Cuma fakta di lapangan, (dari) keanekaragaman ini masih ada pembedaan-pembedaan,” kata Dr. Drs. Irfan Simatupang M.Si., Antropolog dari Departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara.
Irfan juga menanggapi kaitan antara subordinasi sosial dengan tindak diskriminatif. Menurutnya, diskriminasi itu relatif. Kecenderungan suatu kelompok minoritas yang merasa didiskriminasi selalu diikuti dengan adanya asumsi atau perlakuan negatif. “Seolah-olah mayoritas itu dominan dalam segala hal,” tambahnya.
Terkait persoalan kerja, Irfan berpendapat jika ihwal penyisihan kelompok minoritas seperti Sikh berasal dari keinginan agar tercapainya “visi” perusahaan. Syahdan, keseragaman identitas pun kerap diterapkan dalam budaya perusahaan guna mencapai visi tersebut.
“(Banyak) perusahaan dalam budaya perusahaannya belum mengutamakan pada kualitas kerja. Sehingga identitas fisik ini masih menjadi patokan. Ini masalahnya!”
Harapan untuk Diakui Secara Resmi
Tidak termasuknya Sikh dalam 6 agama yang diakui pemerintah Indonesia, berdampak langsung terhadap para pemeluk Sikh. Mereka harus mencantumkan “Hindu” dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Karena tak diakuinya Sikhisme, di dunia pendidikan, mahasiswa beragama Sikh terpaksa mengambil mata kuliah agama lain. Paviter ambil mata kuliah agama “Buddha”, sebab ketentuan USU mewajibkan ia harus pilih satu kelas agama, meski Sikh tidak ada dalam tawaran.
“Aku jadi akhirnya pilih (mata kuliah) Buddha, karena dari SMA pelajaran Sikh ini gak ada. (Kebetulan) dari SD sampai SMA di sekolah aku (selalu) belajarnya Buddha untuk dapat nilai agamanya.”
Akar dari ini semua adalah PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan. Pasal 3 ayat 1 menyebutkan, “setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama”.
PP itu jadi landasan penyelenggara pendidikan seperti sekolah dan kampus mengadakan kelas “agama”. Tapi itu hanya untuk “agama” resmi versi negara. Siswa Sikh dan agama minoritas lainnya terpaksa ikut aturan main pemerintah dengan masuk kelas agama umat lain jika ingin dapat nilai.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam artikel “Miskonsepsi Pengakuan Agama di Indonesia”, yang rilis 9 April 2019, menyebutkan jika di Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, negara hanya mengakui 6 agama resmi yang dapat dilindungi dari potensi penyalahgunaan dan penodaan agama. Sisanya yang tak diakui, seperti Sikh, hanya bisa gigit jari.
Selama ini, umat Sikh berada di bawah naungan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Kedekatan kultural antara Sikhisme dengan Hinduisme (yang diakui secara resmi) jadi latar penaungan tersebut. “Kalau kita mau urus surat apa-apa, kita isi Hindu. Sesuai KTP,” kata Japnaam.
Roland Muary, sosiolog dari UIN Sumatera Utara, dalam artikelnya “Konflik Laten Antara Penganut Agama Sikh dan Tamil di Kota Medan”, menjelaskan ada selisih antara umat Sikh dalam tubuh PHDI yang berbuah jadi konflik laten. Disebutkan, “kepentingan penganut Sikh pada PHDI tidak terlalu diperhitungkan.”
Japnaam sendiri mengaku sejauh ini hubungan pemeluk Sikh dengan PHDI sangat baik. “Kita berterima kasih kepada pihak PHDI. Mereka (telah) membantu untuk menjembatani kita dalam urusan-urusan birokrasi, perizinan, persurat-menyuratan.”
Namun, Japnaam pun kuat berharap agama Sikh dapat diakui secara resmi. Agar dapat mengurus persoalan administrasinya sendiri. Dapat dicantumkan di KTP, serta diakui hari besarnya oleh negara.
“Harapan kami, agar suatu hari nanti umat Sikh ini bisa diakui pemerintah secara legal… Di KTP dibuat ‘Sikh’” tutupnya.
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.