Oleh: Reza Anggi Riziqo
“Aduh bro, gak boleh!” ujar Fatur Yuda kepada dua orang remaja berseragam SMA yang masuk ke dalam toko rokok elektrik miliknya.
Setelah ditegur oleh Fatur, lantas kedua remaja tersebut pergi meninggalkan toko. Memang, regulasi yang diterapkan oleh Fatur di toko rokok elektriknya hanya mengizinkan pelayanan terhadap konsumen berumur di atas 18 tahun.
“Ya, gak dibolehin masuk,” ucapnya, ketika mendapati anak di bawah umur masuk ke dalam tokonya.
Fatur pun kerap menanyakan umur konsumen dan memverifikasi identitas jika konsumen tersebut dicurigainya masih dibawah 18 tahun. Sekali pun konsumen yang dicurigainya tidak mengenakan seragam sekolah. Hal ini bertujuan agar produk rokok elektrik yang dijualnya tidak jatuh ke tangan dan dikonsumsi oleh anak di bawah umur.
Siapa sih yang tidak tahu rokok elektrik? Rokok elektrik atau yang lazim disebut vape adalah inovasi terbaru untuk menikmati produk olahan tembakau. Vape memerlukan tenaga baterai untuk menguapkan cairan olahan tembakau atau likuid sebelum dapat dinikmati. Inovasi ini secara cepat digandrungi oleh penikmat olahan tembakau, khususnya khalayak muda.
Fatur yang telah membuka toko rokok elektrik sejak 2017 silam, kini sudah memiliki satu cabang lain di kota yang sama, Medan. Adapun untuk pembeli didominasi oleh kalangan muda. “Karena ada kenaikan penjualan,” jelas Fatur, di balik alasan usahanya berkembang belakangan tahun ini.
Vape serta varian likuid yang dijual oleh Fatur pun beragam. Harga rokok elektrik dijual mulai dari kisaran ratusan ribu hingga jutaan. “Termurah dari Rp100.000 hingga Rp1,5 juta,” ungkapnya.
Selain diminati oleh kalangan muda pada umumnya, rokok elektrik juga digemari oleh kalangan mahasiswa pada khususnya.
Varian rasa yang ditawarkan kepada pengguna rokok elektrik telah menarik minat Naufal Purwawira, seorang pemuda pengguna vape dari kota Medan. “Manis, manisnya lebih dari rokok (konvensional), rasanya lebih varian,” ujar Naufal ketika menjelaskan sebab ia menggunakan vape saat ini.
Berawal dari penasaran
Naufal yang juga mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU), menceritakan pada awalnya ia tertarik menggunakan vape karena diawali rasa penasaran. “Kawan aku ada yang beli vape waktu SMA, jadi penasaran, ku coba,” kata Naufal.
Rasa penasaran saat masih duduk di bangku SMA itu, kini telah membawa Naufal menjadi pengguna aktif rokok elektrik.
Satu set perangkat rokok elektrik yang dimiliki naufal memiliki harga berkisar Rp1,3 juta. Selain itu ia pun harus tetap rutin membeli likuid serta koil (salah satu komponen vape) tiap dua minggu sekali. Setidaknya, Naufal harus merogoh kocek kurang lebih Rp180.000 per dua minggu untuk tetap dapat menikmati rokok elektrik miliknya. Pengeluaran Naufal untuk membeli likuid per bulan, itu setara dengan Rp360.000 uang saku yang dimilikinya.
Sehari-harinya Naufal kerap membawa perangkat rokok elektrik miliknya ke mana pun dia pergi.
“Ke mana pun aku nongkrong, di situ aku pakai,” ungkap Naufal.
Naufal pun menambahkan “Yang pastinya ini gak bisa lepas dari tongkrongan, rata-rata (kawanku) pasti ngerokok atau nge-vape.”
Faktor lingkungan dinilai Naufal menjadi alasan dirinya tetap aktif menggunakan rokok elektrik dan susah untuk berhenti dari penggunaannya.
Padahal Naufal sendiri tahu ada bahaya bagi kesehatan di balik candunya tersebut. Serta, ia pun menyadari kepulan asap vape miliknya dapat mengganggu kenyamanan orang lain. “Asapnya ganggu,” ucap Naufal.
Kepulan asap yang dihasilkan oleh pengguna rokok elektrik memang lebih padat dan lebih banyak jika dibandingkan hembusan asap dari rokok konvensional. Namun, hal ini juga yang menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa pengguna vape.
“Asapnya lebih banyak,” ujar SH (inisial dari nama sebenarnya), menyebutkan salah satu keunikan dari vape jika dibandingkan dengan rokok konvensional.
Diminati lintas gender
SH, yang juga seorang mahasiswi semester akhir di USU, sudah kurang lebih 2 tahun aktif menggunakan rokok elektrik. Sebagai seorang perempuan, ia mengatakan tidak peduli terhadap stigma negatif dari lingkungan sekitar kepada dirinya yang merupakan pengguna rokok elektrik. Sebelumnya SH juga merupakan perokok konvensional aktif.
“Cuek aja lah, kan beli sendiri, yang rusak paru-paru sendiri,” ujar SH.
Pada awalnya ia tertarik menggunakan rokok elektrik karena melihat temannya yang telah terlebih dahulu menggunakan produk tersebut. Hingga akhirnya ia pun aktif menggunakannya hingga saat ini.
Sama seperti Naufal, SH pun kerap membawa perangkat rokok elektrik miliknya ke mana pun ia pergi. Rokok elektrik menjadi kawan bagi dirinya dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
“Di kos, lagi nongkrong, lagi nugas,” ucapnya, ketika menjelaskan di mana biasanya ia menikmati rokok elektrik.
Bagi SH, tidak ada larangan dari pihak keluarga terhadap dirinya yang aktif menggunakan rokok elektrik. “Dilarang gak ada, cuma (diingatkan) jangan banyak-banyak,” tuturnya.
Selain itu, SH pada mulanya menggunakan rokok elektrik sebab ia ingin mengurangi konsumsi rokok konvensional. Namun yang terjadi saat ini, dirinya masih tak bisa lepas dari rokok konvensional tersebut.
Baik Naufal maupun SH sama-sama tertarik menggunakan rokok elektrik dikarenakan pengaruh lingkungan sosial. Antropolog dari Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU, Dr. Drs. Fikarwin M.Ant., menjelaskan perihal di balik fenomena ini.
Menurutnya, dalam gaya hidup anak muda saat ini yang didominasi oleh perokok baik konvensional maupun elektrik, akan memengaruhi seseorang untuk terjun dalam gaya hidup tersebut. “Seakan-akan (jika tidak merokok) kita dianggap memisahkan diri, asing, devian,” kata Fikarwin.
Dirinya pun menjelaskan, kegiatan merokok dapat menjadi identitas bagi seorang perokok untuk dikenal oleh lingkungan sekitarnya. Apalagi inovasi rokok elektrik yang lebih modern akan melekatkan stigma “kekinian” bagi penggunanya. “Di lain pihak, orang lain juga membuat identitas bagi kita,” ucapnya.
Fikarwin, yang juga dosen program studi Antropologi Sosial FISIP USU menambahkan, “Itu kan sebuah produk yang lebih baru dari rokok yang lebih tradisional, dianggap lebih kekinian kan?”
Gempuran iklan
Segmen pasar rokok elektrik yang menyasar golongan muda dipermulus oleh taktik marketing yang baik melalui berbagai bentuk iklan. Promosi produk rokok elektrik dikemas secara khusus dan menarik untuk kalangan muda, baik secara fisik melalui poster-poster, dan utamanya melalui media sosial.
Riset yang dilakukan oleh Asian Pacific Organization for Cancer Prevention (APOCP) membuktikan bahwa paparan iklan rokok elektrik di media sosial, terbukti mendorong penggunaannya di Indonesia. Hasil riset menemukan fakta adanya hubungan signifikan antara paparan iklan dan promosi rokok elektrik di media sosial dengan penggunaan rokok elektrik.
“Gak bosen-bosen iklan ini memengaruhi kita secara persuasif,” kata Fikarwin.
Lebih lanjut, dirinya pun menambahkan “Kemudian ditayangkan lagi melalui sosial media …melalui radio …billboard-billboard …jadi kita kan dikepung ini untuk ikut, jangan sampai ketinggalan.”
Fikarwin juga mengatakan kadang kala perokok memiliki kesadaran akan dampak dari aktivitas merokok yang dilakukan terhadap lingkungan sekitar, “Ada perasaan mengintervensi orang,” ujarnya.
Hal tersebut senada dengan kisah Naufal yang kerap menyadari asap vape miliknya dapat mengganggu kenyamanan orang lain.
Bahaya laten yang mengintai
Para pengguna rokok elektrik seperti Naufal dan SH juga sadar akan dampak buruk bagi kesehatan akibat rutinitas penggunaan rokok elektrik yang mereka lakukan.
Namun, kesadaran saja tidak cukup bagi seseorang yang telah kecanduan produk olahan tembakau untuk berhenti menikmatinya. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan nikotin yang ada pada likuid rokok elektrik.
Sama halnya pada rokok konvensional, nikotin juga masih tetap menjadi alasan dibalik candu rokok elektrik tersebut. Dilansir dari hellosehat.com, likuid pada rokok elektrik mengandung nikotin yang diekstrak dari tembakau. Setelah itu, nikotin dicampur dengan bahan dasar, seperti propilen glikol. Likuid pun kerap ditambahkan bahan lain seperti perasa, pewarna, dan bahan kimia lainnya.
Propilen glikol yang juga terkandung di dalam likuid vape kini telah dilarang penggunaannya sebagai bahan pelarut pada obat batuk anak oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM melakukan sampling uji dampak penggunaan zat kimia pelarut dalam obat batuk anak termasuk propilen glikol. Hasilnya, zat tersebut diduga digunakan pasien gagal ginjal akut sebelum dan selama berada/ masuk rumah sakit.
Dr. dr. Delyuzar, M. Ked(PA), Sp.PA(K), seorang dokter spesialis patologi anatomi yang juga dosen dari Fakultas Kedokteran USU, menyebutkan bahwa penggunaan nikotin pada rokok elektrik tetap dapat menimbulkan kanker.
Nikotin yang menimbulkan adiksi atau kecanduan, juga menjadi salah satu penyebab perubahan epitel saluran pernapasan. Perubahan epitel saluran pernapasan tersebut bisa berupa anaplasia atau keadaan berubahnya bentuk sel tingkat lanjut yang tidak dapat kembali menjadi sel-sel normal. “Anaplasia, yaitu kanker,” ujar Delyuzar.
Kanker yang ditimbulkan berasal dari karsinogen atau senyawa penyebab kanker yang bersumber dari zat-zat terkandung di dalam rokok elektrik. Komponen penyebab karsinogen bukan hanya berasal dari tar (kandungan zat yang ada pada rokok konvensional) saja, tetapi komponen lainnya yang juga ada pada rokok elektrik.
Selain itu, Delyuzar menyebutkan dampak lainnya berupa iritasi paru-paru yang disebabkan oleh peradangan jaringan paru atau yang dikenal dengan pneumonitis. Pengidapnya bisa mengalami sesak napas, “Malah bisa sesak napas tiba-tiba, ya,” katanya.
Bukan solusi untuk berhenti
Delyuzar mengatakan, banyak informasi bias yang berkembang di masyarakat terkait dampak yang ditimbulkan oleh rokok elektrik tidak lebih berbahaya dibandingkan rokok konvensional. Sehingga, orang-orang kerap menggunakan rokok elektrik sebagai media perantara untuk berhenti merokok konvensional.
“Menurut saya kalau mau berhenti merokok ya berhenti saja, gak harus diperantarai (rokok elektrik), karena nikotinnya itu tetap menimbulkan adiksi,” kata Delyuzar.
Selain berbahaya bagi kesehatan pengguna vape itu sendiri, Delyuzar pun mengatakan asap yang ditimbulkan juga akan berdampak pada orang-orang di lingkungan sekitar. “Nikotinnya kan ke mana-mana, masih bisa tetap terhirup,” kata Delyuzar.
Apa yang dikatakan Delyuzar tersebut ternyata mematahkan anggapan SH maupun perokok elektrik lainnya, di mana para perokok elektrik masih menganggap bahwa dampak berbahaya menggunakan vape hanya akan ditanggung oleh dirinya sendiri.
Dominasi lingkungan anak muda yang disesaki oleh pergaulan para perokok, merupakan tantangan besar bagi seseorang untuk berhenti. Sekalipun mereka sudah tahu dampak bahaya dibaliknya.
Bagi Naufal, dirinya masih belum tahu kapan akan bisa berhenti dari aktivitas penggunaan rokok elektrik. Padahal, Kemkes sudah menyediakan “Layanan Berhenti Merokok” melalui dial panggilan 0800-177-6565, “Untuk saat ini sepertinya gak akan nyoba (Layanan Berhenti Merokok), dan gak ada niatan juga,” ujar Naufal.
Fikarwin menjelaskan, pengetahuan seorang perokok akan dampak bahayanya tidak menjamin akan dicerminkan dalam perilaku berhenti merokok. “Perilaku itu juga kadang-kadang emang bukan hanya berdasarkan pengetahuan. Kan sering orang bilang kalau diberitahu bahaya merokok itu (langsung) berhenti, salah itu, gak semuanya benar,” ujar Fikarwin.
Dibutuhkan niat serta kesadaran kuat untuk berhenti merokok, baik rokok konvensional maupun elektrik.
Fikarwin pun menambahkan, “Kalau kita bisa melepaskan diri dari circle (lingkungan perokok) itu, maka merokok itu bisa kita hindarin.”
*******
Tulisan ini bagian dari program Fellowship Liputan Pers Mahasiswa dalam Menyoroti Lemahnya Regulasi Penjualan Rokok Elektrik yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Prohealth Media.