BOPM Wacana

Hikikomori, Kebudayaan Mengurung Diri

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Lazuardi Pratama

Hikikomori secara harfiah berarti ‘menarik diri’ atau ‘menjadi terbatas’. Hikikomori merupakan istilah Jepang untuk menyebutkan fenomena orang-orang yang menarik diri dari kehidupan sosial dan mengisolasi dirinya sendiri agar tidak berhubungan dengan orang lain. Di Barat, hikikomori sendiri didefinisikan sebagai fobia dan kecemasan terhadap kehidupan sosial atau agorafobia.

Fenomena ini telah lama muncul dan baru meluas pada dekade 1990-an setelah seorang psikiater jepang Dr Tamaki Saito kedatangan sejumlah orangtua. Orangtua tersebut mengeluh pada Saito tentang anaknya yang mengurung diri di kamar berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Pada awalnya Saito mendiagnosa mereka mengalami masalah kelainan jiwa dan depresi. Baru pada tahun 1998, setelah Saito meneliti banyak keluhan, ia memberi nama ‘hikikomori’ untuk kasus tersebut.

Gejala hikikomori menurut Saito salah satunya adalah mengurung diri di kamar minimal selama enam bulan. Para hikikomori biasanya menghindari interaksi dengan orang lain dengan tidur sepanjang hari dan beraktivitas pada malam hari. Aktivitas mereka biasanya bermain game, menonton anime—kartun Jepang, membaca komik dan dalam kasus ekstrim, hikikomori menculik gadis kecil untuk menemaninya dalam kamar.

Fenomena yang telah menjadi budaya masyarakat Jepang pada abad dua dekade belakangan ini dianggap oleh media, akademisi dan pemerintah Jepang sebagai penyakit sosial. Hikikomori juga dianggap sebagai dampak buruk dari peningkatan ekonomi Jepang. Pemerintah Jepang mencatat sekitar 7 ratus ribu warga Jepang merupakan hikikomori. Sementara itu Saito sendiri meyakini jumlahnya 1 juta orang dengan 70 hingga 80 persennya adalah laki-laki.

Banyak faktor terjadinya hikikomori. Di antaranya yang paling umum adalah tekanan sosial. Hikikomori—biasanya kalangan remaja—terjadi karena kultur budaya masyarakat jepang yang keras dan penuntut digabungkan dengan pergulatan Jepang mengembalikan kejayaan ekonominya. Akibatnya, pekerjaan penuh waktu atau salaryman langka dan menjadi angan-angan masyarakat Jepang untuk hidup mapan. Selain itu kultur masyarakat di mana anak laki-laki mendapat tekanan lebih untuk sukses dalam bidang akademik dan pekerjaan dibanding anak perempuan. Sedangkan para orangtua percaya pekerjaan yang mapan hanya bisa diambil bila anaknya masuk perguruan tinggi bergengsi, Universitas Tokyo contohnya.

Para orang tua tersebut lantas memacu anaknya agar belajar lebih keras sehingga dapat lebih sukses daripada orang tuanya, khususnya anak laki-laki yang diwajibkan mendapatkan pekerjaan. Ini sebabnya banyak hikikomori didominasi oleh kaum adam.

Para remaja yang tertekan oleh tindakan orangtuanya itulah yang menyebabkan mereka mengurung diri sebagai tindakan perlawanan dan ketidak-percayaan akan kemampuannya menuruti keinginan orang tua. Remaja yang gagal—seperti gagal masuk universitas bergengsi—akan menjadi Not enganged in Employment, Education and Training (NEET) dan menanggung aib kegagalannya dengan mengurung diri. Mereka menjadi hikikomori agar terlepas dari kompetisi pelajar, pelaku ekonomi dan pekerja yang luar biasa keras kompetisinya serta melakukan apapun yang mereka sukai dengan anggapan semakin cepat terlepas dari tekanan.

Hikikomori yang masih mempunyai orang tua mengurung diri di kamarnya dan mendapat makanan dari orang tuanya. Orang tua tidak punya pilihan lain selain menuruti kehendak anaknya dan tidak mengadukannya ke psikiater karena hikikomori dengan stigma negatifnya merupakan aib keluarga. Sementara itu hikikomori yang tidak mempunyai orang tua keluar kamar secara mingguan atau bulanan pada malam hari ke minimarket 24 jam untuk membeli kebutuhan hidupnya. Mereka juga biasanya mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keluar dari kamarnya

Di Indonesia, fenomena ini belum banyak terjadi dan tidak muncul ke permukaan. Namun hikikomori di Indonesia dikaitkan dengan para remaja yang mengurung dirinya di kamar seharian dengan gadget yang memungkinkan mereka berhubungan dengan orang lain via dunia maya.

Jepang sendiri punya solusi untuk mengurangi permasalahan sosial ini. Jepang membuat tempat bernama ibasho—tempat nyaman untuk hikikomori memperkenalkan dirinya di depan khalayak ramai. Selain itu, Saito punya pendekatan terhadap hikikomori. Ia memulainya dengan mengatur hubungan hikikomori dengan orang terdekat mereka—biasanya orangtua—pelan-pelan. Saito bertujuan memulai kembali hubungan antara keluarga dengan hikikomori sampai mereka dapat menerima dunia luar lalu masuk tempat rehabilitasi untuk diberi terapi.

Menjaga komunikasi yang baik satu sama lain, saling terbuka dan mau mendengarkan menjadi kunci utama pencegahan agar mereka yang tidak tertekan dan tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4