Oleh: Guster CP Sihombing
Pada akhirnya hidup akan memilih. Apakah kata hati yang (bahkan) kita sendiri tak tahu itu sebenarnya perkataan siapa, atau air liur yang terlanjur menggunung.
Suatu sore yang syahdu ruang tengah kantorku tiba-tiba ramai. Semua staf dan personel kantor ada disana. Aku yang terkenal kepo juga tak mau kalah. Langsung saja aku serobot barisan kegaduhan itu. Biasanya kalau lagi ramai begini, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, ada gosip baru yang sedang hot. Dan yang kedua ada makanan gratis.
Tepat dugaanku. Sore khusyuk nan mumet itu seketika riuh hanya karena ada makanan gratis yang dibawa teman lain dari pertemuan di balai kota. Maklumlah, kantorku bergerak di bidang perlindungan anak. Biasanya ada permintaan menjadi fasilitator dari pemerintah untuk penyuluhan hukum. Jadilah makanan gratis sering hinggap di kantor.
Ciri khas teman-teman dikantor hanya satu. Biar kami terbiasa disomasi, atau kena damprat sana sini karena berusaha melindungi anak dari setiap perlakuan buruk dan semena-mena, tetap saja kami tak tahan satu hal. Tak tahan lapar.
Sore itu memang sendu. Kotak-kotak berwarna cokelat bergambar bunga merah satu per satu memasuki ruangan pemilik barunya. Aku tak mau kalah juga, dong. Langsung saja satu kotak menjadi hak milikku. Pemilik lain langsung hanyut dalam lagu-lagu yang didengar melalui headset yang terpasang di masing-masing telinga mereka. Bagaimana tidak, seiring dengan akan bergantinya tahun. Laporan kami pun harus segera selesai. Bahkan tak sampai bergantinya tahun nanti. Tengah bulan ini harus dikirim ke donatur di Berlin.
Jam lima sore seharusnya kami sudah bisa pulang. Tapi kali ini, berkat laporan yang sepertinya tak kunjung selesai hampir semua terlena dengan komputernya. Alhasil pukul 17.49 WIB versi fingerprint kantor aku baru pulang.
Parkiran kereta ada dibelakang gedung kantor. Waktu itu ada pembangunan pendopo kecil disebelah parkiran. Beberapa tukang bangunan terlihat duduk berkeringat meneguk air putih dari bekas botol air mineral. Pasti mereka capek. Seharian dibawah teriknya matahari beserta setumpuk bahan bangunan sekaligus mengerjakan pekerjaan seperti ini pasti tak gampang. Sedangkan aku hanya duduk nyaman di ruang berpendingin ruangan bersama setumpuk dokumen.
Aku mengambil helm di tempatnya selagi kotak kue tadi tetap ditanganku. Aku merasa kotak inilah harta paling berharga di sore yang menguning ini. Matahari mulai kembali keperaduannya. Mahluk lain pun mulai kembali ketempat tinggalnya masing-masing.
Seorang teman menumpang denganku di sore ceria itu. Ia bilang kereta-nya sedang diservis. Ia juga memegang kotak cokelat yang sama seperti yang aku pegang.
“Kita kasih ke uwak-uwak bangunan itu aja yok kuenya,” kata temanku itu.
“Serius kau?”
“Iyalah, kita bisa kok beli yang kek gini entah kapan.”
“Enggaklah. Pengin kali aku kuenya. Sor kali aku, kalau kau mau ngasih, kasihlah.”
“Serius kau enggak mau ngasih kue ini?”
“Udahlah yok! Banyak cerita kau!” kataku padanya ketus.
Kos temanku itu tak jauh dari kantor. Sebenarnya dengan jalan kaki pun ia bisa. Mungkin karena terbiasa naik kereta kemana-mana, kakinya enggak kenal tanah lagi. Sekitar lima menit udah nyampe kok dia jalan. Digelindingkan juga sampai.
Begitu dia kuantar pulang, langsung kupacu kereta-ku. Secepat mungkin aku harus sampai di rumah. Udah enggak sabar lagi aku menyantap hartaku ini. Kotak cokelat tadi aku gantung di bawah stang kereta-ku. Aku naik kereta matic. Jadi, ada pengait di bawah stangnya. Tadi, sewaktu di kantor, aku masukkan kedalam plastik putih agak besar. Tempat kotak-kotak itu sewaktu dibawa temanku ke kantor tadi sore.
Sore hari dengan dengan hatiku yang berbunga-bunga, aku masih berada di persimpangan fly over yang baru dibangun. Jalan itu dipadati kereta, mobil, dan angkot. Wajar saja, karena ini jam pulang kantor. Biasanya aku tak pulang sesore ini. Biasanya aku baru pulang jam sembilan malam. Singgah ke pusat kebugaran jadi rutinitasku sepulang kerja. Tapi hari ini aku sengaja tak kesana, karena ada harta baru yang harus segera kuhabisi.
Tak jauh lagi aku akan sampai dirumah. Tapi entah kenapa sore ini tiba-tiba kabut. Jalanan serasa semakin panjang. Aku pun semakin tak sabar.
Aku tinggal di sebuah perumahan. Perumahan nasional yang dirancang pemerintah kala Orde Baru. Sebelum sampai di rumahku, di simpang perumahan ada lampu merah. Perumahan tempatku tinggal hanya belok kiri saja tanpa harus menunggu lampu hijau. Tanpa ba-bi-bu langsung saja aku belok kiri. Sore semakin mendung. Hujan turun tanpa ampun. Langsung saja aku kuyup. Sesampainya dirumah kereta langsung aku parkirkan di teras.
Esoknya, matahari yang terbit tak sama dengan hari lalu. Hari ini pagi lebih cerah.Aku panaskan kereta sebelum berangkat ke kantor. Karena aku bangun kesiangan, aku tancap saja gas keretaku.
Sesampainya di kantor, aku baru lihat ada plastik putih yang menggantung dibawah stang kereta. Plastiknya juga kuyup seperti aku yang semalam. Spontan tanganku membuangnya ke tong sampah parkiran yang di sebelahnya ada uwak bangunan sedang mengecor pondasi.