BOPM Wacana

Franky, Aktivis Anak dan Penulis yang Berprestasi di Akademis

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Rati Handayani

“Bekerja itu lebih utama dari sekolah. Bekerja akan menghasilkan uang sedang dengan sekolah belum tentu akan bekerja. Bekerja itu nomor satu sedang sekolah belakangan.” Itulah lingkaran setan yang ingin dihapusnya.

Franky Febryanto BanfatinFranky Febryanto Banfatin melayangkan pikirannya ke awal 2010 saat ia masih di semester II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Ilmu Kesejahteraan Sosial. Waktu itu ia diberi tugas intervensi mikro untuk menyelesaikan penyandang masalah kesejahteraan sosial oleh salah satu dosennya dan ia memilih fokus masalah anak.

Selang beberapa waktu setelah tugasnya, saat ia dan beberapa kawannya duduk-duduk di kelas, ia bertemu dengan seorang pemulung anak yang namanya masih lekat diingatannya hingga saat ini. “Yunus,” sebutnya singkat. Setelah bercerita dengan Yunus maka ia ketahuilah Yunus adalah pemulung anak dari Kampung Susuk.

Melihat Yunus, hatinya tergerak untuk membuat organisasi peduli anak yang dinamainya Candle Light Leaders (CLL) yang aktif melakukan aksi peduli anak sebagai tugas kuliah yang ia kerjakan tak tinggal tugas. CLL dibangunnya karena ia sangat prihatin melihat orang tua pekerja anak yang miskin budaya. “Kebanyakan dari mereka (orang tua pekerja anak?red) miskin budaya.

Anggapan mereka bekerja yang utama, sekolah belakangan dan kerja dapat duit sedang sekolah belum tentu bekerja,” ujar Franky. Lingkaran setan itulah yang ingin ia hapuskan bersama enam anggota CLL lainnya. . “Selain itu Medan adalah kota yang tidak ramah anak menurut Dinas Sosial Kota Medan,” tambahnya.

Ia dan kawan-kawannya di CLL mengajar anak-anak yang dipekerjakan untuk mengamen ataupun memulung di USU. Menjembatani anak-anak itu dengan sekolah dan keluarganya, menjadi media advokasi di media sosial dan online lainnya dengan menulis artikel tentang anak untuk penyadaran publik. Sehingga saat ini anak-anak itu ada yang telah bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Dalam aksi mulianya, ia dan kawan-kawannya juga mendapat rintangan. Kebanyakan dari anak-anak yang mereka temui tidak terbuka dengan kondisi yang mereka hadapi. Ia melihat anak-anak itu telah diatur pikirannya oleh keluarga mereka. “Sepertinya mereka telah diajar menjawab apa jika ada yang bertanya tentangmereka.

Mereka memang tidak mengakui bahwa memang telah diatur tapi saya bisa tahu,” jelasnya. Walaupun susah untuk mengajak anak-anak itu terbuka, Franky dan kawan-kawan tetap mencoba pendekatan. Salanjutnya ia dan kawan-kawannya di CLL menjembatani anak-anak tersebut dengan komunitas, tempat latihan musik dan lembaga swadaya masyarakat.

Selain menjadi pendiri CLL, Franky juga menjadi salah satu anggota di Tim Edukasi Merdeka yang juga merupakan sebuah organisasi sosial yang fokus masalah pendidikan anak Sekolah Dasar (SD) dan SMP di sebuah kampung yang tak jauh dari Kota Medan, yakni Kampung Merdeka yang terletak di Deli. Tim Edukasi Merdeka adalah organisasi sosial yang diisi oleh mahasiswa FISIP, Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

Cerita bergabungnya Franky berawal setelah ia naik gunung di Samosir bersama beberapa orang dari fakultas yang berbeda. Setelah acara itu, mereka sering bertemu di kampus dan akhirnya sepakat membuat proyek yang programnya aksi sosial sekaligus jalan-jalan. Kemudian terpilihlah Desa Merdeka di Deli karena pemandangannya yang indah dan jaraknya tak begitu jauh dari Medan, namun anak-anak di sana tidak tahu apa itu Medan, tidak tahu apa itu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), dan anak-anaknya kebanyakan tak bersepatu ke sekolah. Ditambah lagi dengan banyak warganya yang tak bisa membaca.

Di sana, Franky menjadi relawan yang mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial dan Bahasa Indonesia. Awalnya Tim Edukasi Merdeka mengirim grup untuk mengajar di sana tiap satu bulan sekali. Namun saat ini hampir tiap minggu dan tak mesti dalam grup.

Awalnya Franky dan tujuh kawan lainnya dicurigai masyarakat disana. “Kami kan empat cewek, empat cowok jadi kayaknya berpasangan gitu kan. Jadi sempat kami lagi tidur kayak diintip orang gitu,” ujar Franky. Setelah kejadian itu, Franky dan kawan-kawan meyakinkan masyarakat dan sekarang warga di sana sangat welcome. Franky menyatakan bahwa warga di sana saat justru meminta mereka datang dan mengajar lagi.

Senang Berbagi dan Berprestasi

Franky (kiri) berpose bersama peraga berbusana adat suku Indian di Tampa, Florida, Amerika Serikat dalam kesempatannya menjadi mahasiswa pertukaran.| Dokumentasi Pribadi
Franky (kiri) berpose bersama peraga berbusana adat suku Indian di Tampa, Florida, Amerika Serikat dalam kesempatannya menjadi mahasiswa pertukaran.| Dokumentasi Pribadi

Evi Haryati Saragih rekan Franky di CLL sekaligus teman kuliahnya, menganggap Franky adalah sumber informasi dan satu tingkat lebih dari mahasiswa lainnya karena biasanya mahasiswa lain diajak untuk berkegiatan sosial akan tetapi dia biasanya mengajak berkegiatan sosial karena tidak ada wadah mahasiswa kesejahteraan sosial untuk berkegiatan.

Di CLL, Evi mengaku juga menemui hambatan yang sama dengan Franky yakni susah mengubah pola pikir anak yang telah tertanam sejak kecil dan kebanyakan dari mereka punya motivasi yang rendah. Oleh karena itu, Franky, Evi dan kawan-kawan lainnya di CLL selalu menyelipkan motivasi di sela-sela belajar.

Mengenai dana dalam aksi sosial mereka, Evi menceritakan dana itu hanya bersumber dari uang kas mereka yang dipungut Rp 2 ribu per minggu atau terkadang Rp 5 ribu per bulan.

Sepengetahuan Evi, Franky pernah menomorduakan kuliahnya demi Tim Edukasi Merdeka. Walaupun demikian,menurutnya Franky adalah seorang yang humanis tapi tak ketinggalan dalam prestasi akademis dan buktinya adalah ia dinobatkan sebagai mahasiswa berprestasi FISIP USU tahun 2011.

Prestasi Franky tak hanya itu, ia juga delegasi USU untuk Interfaith Youth Forum di Palembang pada 2012 lalu. Forum tersebut terdiri atas empat puluh delegasi dan dipilihlah dua orang dari seluruh delegasi tersebut yang akan mendapat beasiswa Study in United State Institute (SUSI). Satu dari dua orang itu adalah Franky. Franky sendiri mengambil beassiwa di bidang Religious Pluralism and American Democratic karena dari dua bidang yang lain bidang inilah yang banyak membahas masalah kesejahteraan sosial.

Interfaith Youth Forum adalah forum untuk anak muda lintas agama dan suku. Dan Franky terpilih sebagi penerima beasiswa karena aksi peduli anak yang ia lakukan selama ini.

Setelah belajar di Amerika Serikat dua bulan dari Januari hingga Februari 2013, Franky akan mengerjakan tugasnya sebagai delegasi Indonesia. Tugasnya yakni membawa perdamaian religius, pluralisme dan demokrasi dengan kegiatan-kegiatan yang akan ia adakan nantinya.

Cinta Menulis

Franky seorang yang gemar menulis sejak kecil. Tulisannya pernah dimuat di Majalah Bobo kala ia masih SD. Selain itu ia juga menulis diTabloid Fantasi, Pikiran Rakyat, Analisa, Waspada, Medan Bisnis, hingga Kompas Kampus. “Dari ia menulis, sepengetahuan saya dia sempat membiayai hidupnya sendiri. Sepengetahuan saya pernah ibunya minta dia pakai uangnya sendiri dulu,” jelas Evi.

Menulis adalah bakat dan bagian hidup Franky.  Dengan menulis ia bisa menyampaikan gagasan ke banyak orang secara langsung, ia bisa mengubah dunia dengan tulisan, membuka wacana publik, melakukan kritik sosial, memotivasi hingga menginspirasi.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4