Oleh: Rati Handayani
BOPM WACANA – Front Perjuangan Rakyat-Tertindas (FPR-T) yang terdiri dari aliansi buruh, petani, mahasiswa, dan aktivis mengadakan aksi memperingati Hari Buruh Internasional. Dalam aksi tersebut mereka meminta pencabutan Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No24 Tahun 2011 tentang badan penyelenggaran Jaminan sosial (BPJS) yang mulai diberlakukan 1 Januari 2014.
Koordinator Gerakan Serikat Buruh Inonesia (GBSI) Akhmadsyah, menjelaskan tuntutan pencabutan ini karena buruh meminta agar SJSNseharusnya diberikan secara gratis dan tidak ada batasan dalam pelayanannya. Ia menambahkan berdasarkan UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN tersebut buruh harus membayar dua persen dari gaji mereka setiap bulannya. “Padahal kan kesehatan kita (buruh, -red) harusnya tanggung jawab pemerintah,” ungkapnya.
Akhmadsyah menambahkan, SJSN pada dasarnya adalah asuransi, pasti akan ada sistem untung dan rugi. Dalam SJSN yang direncanakan, rakyat miskin akan mendapat bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, yang ditakutkan buruh adalah saat APBN defisit maka gaji buruh yang akan dipakai.
Hal senada disampaikan Astaman Hasibuan, Sekretaris IKOHI SUMUT. Ia mengatakan bahwa pemerintah harusnya bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan buruh, “Seharusnya, tidak buruh lagi yang menanggung itu,” tambahnya.
Mengenai BPJS, Akhmadsyah menjelaskan BPJS adalah gabungan dari penyedia layanan asuransi seperti Persero Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Persero Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen),Persero Asuransi Kesehatan (Askes) dan Persero Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI). Sebenarnya, ia dan buruh lainnya menginginkan adanya badan independen yang menangani masalah kesehatan ini tanpa untung rugi.