Oleh: Yulien Lovenny Ester Gultom
Media Sosial: Like postingan ini jika kamu peduli. Satu like satu doa, Share jika kamu peduli.
Alkisah seorang anak berperut buncit sedang duduk terjongkok. Dia tak sedang bermain, ia kelaparan. Berjongkok mungkin karena tak lagi kuat menahan lapar. Anak lelaki yang sepertinya keturunan Afrika itu duduk di sebelah burung pemakan bangkai-entahlah tak begitu jelas. Gambar ini dimuat dalam sebuah foto di akun line salah seorang teman saya yang disebarkan ke timeline. Saya tergelitik dengan keterangan foto atau yang disebut kepsyen. “Like postingan jika kamu peduli”.
Lucu. Seseorang yang menekan tombol ‘menyukai’-atau memberi emoticon-emoticon pada postingan ini berarti peduli dengan nasib si anak tadi? Jadi yang tidak mengklik artinya apa? Dan ternyata yang merespon ratusan orang. Jumlah yang cukup banyak untuk sebuah gambar.
Itu hak Anda-jika Anda salah satunya-untuk mengklik. Saya harap bukan karena kepsyen tadi, tapi memang hati Anda yang menggerakkan dan mungkin orang lain bisa membantu dalam tindakan konkret.
Lain lagi dengan postingan ini, saya tak baca sampai habis tapi seingat saya diceritakan seorang wanita memukul dan memperlakukan ibunya dengan kasar, kemudian diceritakan bagaimana tindakan si anak menghajar ibunya. Ribuan komentar menyayangkan. Uniknya, caption di bawah foto tadi menuliskan. “Share jika sayang Ibu”.
Selain itu, penggunaan hastag (#) di media sosial juga salah satu wujud kepedulian yang lain. #KamiTidakTakut, #PrayForJakarta. Keduanya menjadi marak di kalangan masyarakat pascabom di Sarinah. Bahkan, beberapa waktu lalu ini menjadi trending topic di Twitter dan media sosial lainnya.
Sebagian menilai ini adalah perwujudan simpati masyarakat Indonesia, tapi kenyataannya apakah benar demikian atau sekadar ikut serta karena ingin eksis dan tak mau dinilai ketinggalan zaman?
Bom di Jakarta beberapa waktu lalu bisa menjadi cerminan. Kekhawatiran saya adalah bila suatu saat terjadi bencana di tanah kita, kita malah sibuk dengan media sosial untuk menunjukkan rasa simpati tanpa melakukan aksi nyata.
Dampak tak langsung mungkin saja tak dirasakan sekarang. Jikalah sepuluh atau dua puluh tahun lagi hal ini menjadi kebiasaan, rasa simpati hanya akan diwujudkan dalam bentuk kalimat atau kata yang diunggah secara masif, tanpa ada aksi nyata. Tentu krisis terhadap rasa simpati bisa terjadi.
Kembali pada pengertian kata simpati dan empati. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), simpati berarti rasa kasih, keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Jadi jika Anda merasa menderita melihat penderitaan orang lain, Anda sedang bersimpati. Perasaan mendominasi rasa simpati dan rasa ini akan berlangsung bila ada pengertian kedua belah pihak, contohnya dalam hubungan persahabatan, hubungan bertetangga, atau hubungan pekerjaan.
Sedang empati, masih menurut KBBI, adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengindentifikasi dirinya dengan perasaan dan pikiran yang sama dengan orang lain. Dengan kata lain seseorang mampu mengenali, menciptakan persepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Ini disebabkan karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan.
Dari pengertian tersebut, empati itu lebih dalam dan berwujud ketimbang rasa simpati. Simpati kemungkinan hanya diwujudkan lewat ucapan atau kata-kata, baik langsung maupun memakai sarana tulisan sedangkan empati merupakan perbuatan.
Bukan bermaksud menggurui, tapi jika semua hal diekspresikan dengan tombol “Share”, “Emoticon”, dan “Hastag” ala media sosial, rasa kepedulian bisa saja hanya terbatas pada sebuah tombol. Tapi kita kurang merasakan apa yang dialami orang lain dan diderita orang lain.
Ada dua pihak yang saya pikir perlu berbenah. Akun yang mengunggah dan pengguna media sosial yang ikut membagikan. Akun yang memperoleh like terbanyak secara otomatis akan jumlah pengikutnya akan terus bertambah. Jumlah ini tentu akan meningkatkan eksistensinya. Jika jumlah pengikutnya sudah mencapai ratusan bahkan ribuan, orderan dan tawaran endorse akan mulai bermunculan. Tapi tentu ini untuk kepentingan pribadi si pemilik akun, si kawan yang ada dalam postingan tadi apakah akan dapat sesuatu? Tak ada yang salah dengan rasa simpati, itu rasa yang alami timbul. Sedih melihat orang lain sedih, marah ketika melihat orang lain marah, senang melihat orang lain senang.
Jika mau berpikir dari sisi ekonomi, saya membayangkan jika satu klik atau share satu postingan bisa diuangkan untuk membantu si anak atau si ibu tadi, tombol “Klik” dan “Share” itu bisa jadi alat bantu yang luar biasa.
Perwujudannya bisa saja seperti google accents, dengan jumlah per klik kita mampu memperoleh uang. Jadi emoticon yang Anda tinggalkan akan jauh lebih bermanfaat. Dilansir Liputan6.com, pada 2015 sudah ada 60 juta lebih pengguna aplikasi Line di Indonesia. Untuk pengguna aktif per bulannya tercatat ada 3,5 juta orang. Bayangkan jika satu pengguna mampu menyumbang seratus rupiah jika memberi emoticon atau menyebarkan hal-hal seperti tadi. Fantastis angkanya.
Atau bentuklah komunitas untuk menjaring bantuan yang lebih nyata dan terasa, bila tak berwujud materi, Sekaligus Anda bersosialisasi di dunia nyata dan berhenti memainkan akun-akun itu. Terakhir, ajaklah kawan bersama-sama berdoa untuk sesamamu. Tak perlu di-posting biar orang tahu, karena tanpa postingan Tuhan tahu kau sudah berdoa.
Semoga, peristiwa bom ibu kota beberapa waktu silam ataupun kejadian lainnya membuat kita mengekspresikan rasa simpati kita dengan cara yang lebih nyata karena rasa simpati tak sebercanda itu.
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat 2013 dan saat ini aktif sebagai Pemimpin Umum Pers Mahasiswa SUARA USU.