Oleh: Retno Andriani
Duri menikahi Mawar sudah sejak lama. Duri mengaku kepada dunia bahwa ia mencintai Mawar. Karena cinta itulah, Daun dan Kumbang terlahir. Namun, siapa yang tahu bahwa sebenarnya Duri masih meraba-raba, memaknai cinta. Ia sendiri tak begitu yakin akan ikrarnya.
Malam ini Duri memandangi kehidupannya. Kehidupan yang berpenampakan malang. Mawar dengan tulang pipi yang serupa guli, Daun yang tubuhnya tak pernah wangi, dan Kumbang yang seperti alergi minyak kayu putih. Mereka bisa tidur pulas, meskipun Duri tahu perut mereka mulas. Bukan mulas sebab terlalu banyak makan, tetapi mulas yang aneh. Ada makhluk hidup lain yang berdemo, menggigit usus sedikit demi sedikit.
Hari ini adalah puncak terparah yang mereka alami. Sudah tiga hari tak ada sesuap pun nasi yang melintasi kerongkongan. Tak ada uang untuk membeli apapun, sementara mencuri bukan keahlian Duri. Ia belum siap dengan luka bacokan di punggungnya. Duri tak siap jika dirinya meregang nyawa karena amuk massa.
Sebenarnya Duri paham betul tentang hidup yang hakikat. Jangan pernah melihat ke masa lalu, lihat lah ke masa depan. Begitulah kata almarhum bapaknya. Bukan sengaja durhaka, tapi malam ini Duri ingin melihat ke masa lalu. Masa lalu memang terlihat abu-abu, tapi masa depan justru hitam tak berlampu.
Sejak awal pertemuan, Duri tak pernah menjanjikan sesuatu kepada Mawar. Duri hanya punya cinta. Bodohnya, Mawar merasa yang dibutuhkannya hanyalah cinta. Ia tak butuh harta karena kehidupannya selama ini sudah cukup. Sementara Duri hanyalah duri di keluarganya. Anak laki-laki satu-satunya yang sudah sejak lama menjadi tunakarya. Apa lah yang Mawar lihat kecuali duri? Sayangnya Mawar tak melihat duri, ia hanya melihat Duri.
Meskipun keluarga Mawar murka, Mawar tak pernah goyah mengagungkan cinta. Duri sendiri waktu itu hanya diam. Ia tak mampu berkata karena sesungguhnya yang ditakutkan keluarga Mawar, juga merupakan ketakutan yang sama pada dirinya. “Makan apa Mawar nanti? Cinta?”
Akibat kepala yang terlalu keras, dan juga Tuhan Yang Maha Tegas, Mawar tetap memilih Duri. Padahal waktu itu ada Akar. Seorang pengusaha muda yang sangat luar biasa. Sebenarnya Duri ingin menjelaskan ketakutannya, tapi Mawar tak mengizinkan ia bicara. Ini sesungguhnya adalah pelanggaran hak asasi manusia. Mawar terlalu manis untuk dibawa ke meja hijau, pikir Duri waktu itu.
Sebab tak kuasa membawa Mawar ke meja lain, akhirnya Duri putuskan membawanya ke meja Kantor Urusan Agama. Di sana mereka menikah. Tak ada pesta, tak ada makan-makan, begitulah cara mereka mengikat tali hubungan. Sangat sederhana dari yang paling sederhana. Dengan senyum yang manis, Mawar berkata, “Kita bisa hidup dengan cinta.” Kemudian mereka pergi, jauh dari semua yang mereka kenal. Mawar merasa bisa hidup sendiri bersama cintanya.
Itu dulu. Saat Mawar belum layu.
Awal menjalani kehidupan, semuanya biasa-biasa saja. Mawar mulai bekerja. Duri masih tetap tak punya keahlian apa-apa. Ia hanya bisa tidur dan makan. Hingga pada kenyaatan, Mawar tak mampu lagi untuk bekerja. Sesuatu menggerogoti tubuhnya. Uang yang dikumpulkan perlahan hilang. Duri masih tetap menjadi duri.
Entah cinta macam apa yang Duri maksud. Dia tetap tak mampu melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan. Ia masih saja bergumul kepada kebiasaannya. Duri merasa tak mampu melakukan apapun. Ia hanya bergantung kepada takdir dan waktu. Duri terus menunggu, menunggu, dan menunggu. Entah hal konyol apa yang ia tunggu.
Seiring berjalannya waktu, mereka menjadi sering berselisih paham. Sialnya, perkara yang dibesarkan hanya soal perut. Perut yang belum makan, perut yang keroncongan, perut yang perih, dan persoalan perut lainnya. Persoalan itu tak pernah selesai. Bertahun-tahun, hingga Mawar tak lagi manis.
***
Duri masih memandangi hidupnya yang malang. Ia tak mungkin mampu lagi melihat hidupnya yang malang ini terus menderita. Ia harus segera memutuskan sesuatu. Duri berpikir keras untuk menentukan dua pilihan yang sulit. Di dalam benaknya menimang-nimang dua nama. Daun atau Kumbang. Daun atau Kumbang. Daun atau Kumbang.
Pilihannya hanya Daun atau Kumbang. Ia tak mungkin bisa memilih Mawar. Mawar sudah banyak berkorban. Malam ini Duri akan memutuskan sesuatu yang mungkin akan mengejutkan Mawar. Tapi Duri yakin, Mawar akan kembali manis setelah ini. Penderitaannya akan berkurang satu. Daun atau Kumbang, Duri harus putuskan sekarang.
Dengan gerakan gemetar, Duri membangunkan Daun. Daun tak banyak bersuara, ia sudah lapar seharian. “Ada apa, Pak?” suara Daun berbisik. Duri tersenyum. Ia menawarkan sesuatu. Sesuatu yang sangat licik. Daun mengangguk.
Duri mengajak Daun untuk keluar dari kamar itu. Daun menurut tanpa curiga apapun. Duri mengajak Daun ke tempat yang gelap di belakang rumah. Daun masih percaya bapaknya itu akan memberinya sesuatu. Tentunya sesuatu yang enak dan bisa dimakan. Tapi Daun tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Bapaknya tak semalaikat itu. Di tempat yang paling gelap, di tempat yang paling sunyi, Duri melancarkan aksinya yang licik.
Deru sungai dan gemerisik daun bambu, menyembunyikan suara-suara lain.
***
Pagi-pagi sekali, aroma masakan tercium di hidung Mawar. Ia terjaga dan segera lari ke dapur. Rasa lapar tak mampu lagi membuatnya berpikir waras. Dilihatnya Duri sedang jongkok di depan tungku.
“Dari mana kau dapat ini?” Mawar masih mencoba menahan rasa senang dengan bertanya seperti orang penasaran. Padahal sejatinya ia pun tak tahan ingin segera mengambil piring dan membunuh rasa lapar. Ia juga sudah sangat bosan dengan cacing-cacing yang berdemo sejak kemarin.
Duri menoleh sambil tersenyum, “Bangunkan Kumbang, kita akan makan besar hari ini.”