Oleh: Yulien Lovenny Ester G
Dua surat dikirim ke Kemendikbud. Salah-satunya penentuan nasib anggota Majelis Wali Amanat (MWA). Setelahnya, MWA punya tanggung jawab lebih.
Hari itu Somad Hasibuan berjualan seperti biasa. Digantungnya koran di bawah kayu atap toko. Sudah pukul 10.00 pagi ketika pria pengendara sepeda motor berhenti di sebelah toko. Matanya awas melihat headline surat kabar Sumut Pos edisi Selasa, 30 September. Edisi hari itu.
Rektor USU WO. 42 Guru Besar Tinggalkan Sidang.
“Eh, apa ini? Kok WO (walk out—red)?” tanyanya. Sebentar ia terdiam. “Berapa eksemplar ko jual?”
“Sepuluh.”
“Kuambil lima.” Uang Rp 12.500 diberikan pada Somad. Kemudian pergi.
Kecipratan rezeki juga dirasakan Adek, penjaja koran di pintu satu. Di hari yang sama, Adek kedatangan pembeli. Laki-laki berkemeja dengan kartu pengenal yang dibalik. Tak kelihatan namanya.
“Bang, ada berita pemilihan MWA? Koran apa aja, Bang?” tanyanya.
“Ada, Bang. Analisa, Waspada, Tribun, Orbit, Sumut Pos.”
Tak lama, laki-laki itu membeli surat kabar yang disebutkan, masing-masing tiga eksemplar. Selang beberapa jam, datang pembeli lain. Laki-laki. Mengenakan kemeja tetap dengan kartu pengenal terbalik. Yang diminta tak beda, tiga eksemplar untuk tiap surat kabar. Tak hanya sehari, pembeli silih berganti di dua hari selanjutnya. Tetap dengan order yang sama. Adek sampai menambah oplahnya, kurang lebih 36 eksemplar terjual.
Somad perkirakan pembeli adalah orang rektorat USU. “Tahu dari pakaian,” ujar Somad. Pun Adek akui hal yang sama. Namun, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Bisru Hafi tak terlalu perhatikan hal tersebut. “Mungkin aja beli untuk lihat lowongan pekerjaan.”
Sehari sebelumnya terjadi perbedaan pendapat dalam rapat Senat Akademik (SA) terkait pemilihan anggota MWA hingga 43 orang di antaranya memilih keluar ruangan. Di antaranya Rektor Prof Syahril Pasaribu.
Saat ditemui Prof Syahril enggan berkomentar. “Tanyakan saja sama humas.”
Saat para penjaja koran kebanjiran rezeki, 43 anggota SA yang keluar ruangan mengajukan surat untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) perihal pemilihan anggota MWA. Berisi laporan bahwa pemilihan anggota MWA 29 September melanggar peraturan mekanisme pemilihan, yaitu Peraturan MWA No 2 Tahun 2014 Pasal 8 Ayat 1 dan 2. Keputusan ini dituangkan dalam surat atas nama Rektor USU.
Prof Alvi Syahrin bilang tak masalah kalau mereka mengirim surat untuk Kemendikbud. Bagaimanapun keputusan ada pada Kemendikbud. Menanggapi hal tersebut, Prof Chairul Yoel, Ketua SA, bilang yang penting adalah SA sudah laksanakan tanggung jawabnya. “Kita laksanakan sesuai peraturan.”
Ada satu surat lagi yang disampaikan ke Kemendikbud. Sekretaris SA Arifin Nasution yang membawanya, 6 Oktober lalu. Isinya laporan hasil pemilihan anggota MWA juga. Bedanya surat ini berisi hasil rapat dan nama anggota MWA terpilih. Ada tujuh belas nama, delapan wakil SA dan sembilan wakil masyarakat. “Tinggal tunggu jawaban Pak Menteri,” sahutnya.
Bisru tak tahu terkait surat ini. Tidak ada laporan pengiriman kepada rektor. Padahal, seharusnya ada mekanismenya. Ada surat tembusan yang ditujukan pada rektor.
Prof Yoel bilang ada tembusan yang dikirimkan untuk USU oleh Sekretaris SA. Selain itu, tembusan untuk MWA dan dewan guru besar sudah diberikan setelah pengiriman ke menteri.
MWA Kini, Tak Lagi Sama
Pasca resmi berubahnya Statuta USU menjadi Perguruan Tinggi Negara-Badan Hukum (PTN-BH) Februari lalu, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 16 Tahun 2014. Kini terdapat beberapa modifikasi dalam MWA. Statuta adalah peraturan dasar pengelolaan yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di universitas.
Dalam statuta disebutkan MWA adalah organ universitas yang menyusun dan menetapkan kebijakan umum universitas. Beranggotakan 21 orang yang mewakili menteri, rektor, SA, dan masyarakat.
Prof Yoel bilang pun mekanisme pemilihannya beda. Dulu, pemilihan sembilan nama wali masyarakat dilaksanakan dengan pengajuan nama berbeda, sedangkan delapan wali SA diajukan dengan satu nama saja. Sekarang, pemilihan sembilan wali masyarakat dan delapan wali SA dengan cara mengajukan masing-masing sembilan dan delapan nama berbeda. Ini sesuai dengan Peraturan MWA No 02 Tahun 2014 Pasal 8 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengusulan, dan Pemberhentian Ketua, Sekretaris, dan Anggota MWA yang dikeluarkan Juni silam.
Pun peraturan MWA lebih rinci. MWA berkewajiban untuk menetapkan kebijakan umum USU, mengangkat dan memberhentikan rektor, melaksanakan pengawasan dan pengendalian umum atas pengelolaan USU serta menangani penyelesaian tertinggi atas masalah di USU. “Dulu kami mengawasi, tidak serinci ini,” ujar Prof Alvi, Sekretaris MWA periode 2009-2014.
Tugas lain MWA adalah membina jejaring dengan pihak luar USU, bersama rektor melakukan penggalangan dana dan menyusun serta menyampaikan laporan tahunan pada menteri. “Bersama mengerjakan biaya operasional USU,” ujar Prof Alvi.
Anggota MWA berhak memberikan pertimbangan, usulan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana jangka panjang (RJP), rencana strategis (renstra), rancangan kerja dan anggaran tahunan (RKAT) serta pengelolaan USU.
Selain penambahan tugas pokok dan fungsi, komposisi untuk lima tahun ke depan pun berbeda. Tak ada kursi untuk mahasiswa. Ada 21 orang yang duduk di kursi MWA. Sebelas orang perwakilan masyarakat. Dua di antaranya diisi oleh pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) dan alumni—Ketua Ikatan Alumni USU (IKA-USU). “Mahasiswa itu diisi alumni,” cerita Prof Sutarman.
Disampaikan Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ini universitas punya aturan sendiri terkait peletakkan mahasiswa dalam badan MWA. Prof Alvi bilang hal itu berdasarkan PP Nomor 16 Tahun 2014 tentang Statuta USU. Komposisi MWA dapat diatur lagi dalam peraturan MWA. Artinya Peraturan MWA Nomor 02 Tahun 2014 tetap jadi penentu.
Janter Ronaldo Purba, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik 2012 menganggap hal ini adalah kemunduran. Mengurangi esensi demokratis kampus yang harusnya punya perwakilan dari seluruh civitas akademika USU.
“Mahasiswa itu objek dari kebijakan di USU, harusnya dilibatkan,” katanya. Ia sayangkan USU tak beri kursi MWA untuk mahasiswa.
Prof Alvi bilang bukan berarti mahasiswa tak dapat duduk di MWA. Ketetapan MWA memasukkan mahasiswa sebagai wakil masyarakat. Sebab masa kuliah mahasiswa Strata-1 (S-1) hanya empat tahun sedangkan anggota MWA punya masa jabatan lima tahun.
Tapi Janter tak lihat ada masalah jika posisi mahasiswa berganti sebanyak lima kali dalam satu periode MWA.. Seperti MWA Universitas Indonesia (UI). Termaktub dalam Statuta UI.
UI masukkan mahasiswa dalam MWA. Saat ini diwakili oleh Mohammad Amar Kaoerul Umam, mahasiswa Fakultas Hukum UI 2010. Pada praktiknya, ia punya dua peran di MWA, pertama dalam rapat paripurna untuk mengambil keputusan. Kedua, advokasi kepentingan mahasiswa ke rektorat. Amar pun tak main-main, ia punya tim yang persiapkan setiap aspirasi mahasiswa matang sebelum dibawa ke rapat paripurna MWA.
Di sisi lain, Menurut Amar selain sebagai pemangku kepentingan terbesar, mahasiswa juga berperan dalam penetapan kebijakan kampus. Karena, MWA tak hanya bisa melihat masalah dari “atas”, ada mahasiswa yang tahu kenyataan di lapangan. “Enggak perlulah anggota MWA lain blusukan,” tambahnya.
Amar menilai kondisi USU saat ini sebagai keadaan yang tak biasa. Yang mengkhawatirkan adalah jika mahasiswa tak sadar bahwa ini adalah masalah. “Yang sekarang jangan diam, setidaknya ada yang diwariskan ke generasi selanjutnya,” tegasnya.
Namun, Amar optimis tetap ada jalan untuk memperjuangkan unsur mahasiswa di MWA. Pertama, buat kajian perlu tidaknya mahasiswa di MWA. Meliputi kajian yuridis, historis, antropologis, dan sosiologis. Lalu, sosialisasi ke publik tentang keadaan sekarang. Kemudian ajak tokoh untuk utarakan opini tentang ini. Selanjutnya, sampaikan aspirasi mahasiswa berdasarkan kajian sebelumnya ke rektorat. “Terakhir, PP tentang statuta bisa digugat ke Mahkamah Agung untuk dibatalkan pada poin tidak adanya wakil mahasiswa sebagai unsur anggota MWA.”
Menanggapi Amar, Presiden Mahasiswa Brilian Amial Rasyid sepakat. Ia bilang Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU akan bahas masalah ini. Namun dalam waktu dekat pihaknya akan laksanakan rapat kerja terlebih dahulu. Sebenarnya, kekhawatiran serupa pernah juga dilontarkan Wakil Presiden Mahasiswa Abdul Rahim.
Lagi-lagi Prof Alvi masih belum sepaham. Menurutnya, mahasiswa USU belum bisa signifikan menjalankan tugas dan wewenang MWA. Sebab mahasiswa adalah orang yang masih dibina. Mahasiswa menyamakan tugas menetapkan kebijakan USU dengan penyampaian aspirasi.
“Ini menetapkan kebijakan tertinggi. Bukan bilang saya perlu ini, saya perlu itu,” terangnya. Mahasiswa bisa sampaikan aspirasi lewat SA. Pun kriteria menjadi anggota MWA dinilai tak dapat dipenuhi mahasiswa. Kriteria utama seperti komitmen, kemampuan, integritas, prestasi, wawasan, dan minat terhadap pengembangan USU.
Hal itu sebenarnya tak menutup peluang mahasiswa jadi anggota MWA. Prof Alvi menekankan jika ada mahasiswa yang memenuhi kriteria tersebut, dapat menjadi anggota MWA lewat jalur wakil masyarakat. “Silakan bersaing dengan calon lain.”
Namun, Janter tetap menganggap mahasiswa—elemen mayoritas—harus diberi wadah untuk turut menyusun kebijakan. Tidak menjadi objek tanpa dilibatkan dalam penyusunan kebijakan. “Tidak demokratis,” imbuhnya.
Prof Alvi merasa ada atau tidak mahasiswa di MWA jelas beda. Dijadikannya mahasiswa salah satu unsur artinya mahasiswa otomatis jadi anggota. Beda jika mahasiswa masuk lewat jalur masyarakat, harus bersaing dengan calon lain dan tak otomatis masuk.
MWA membuka peluang mahasiswa jadi anggotanya, namun tetap tak ada mahasiswa yang daftarkan diri dan berhasil jadi anggota. Jika sosialiasi jadi kambing hitam, kata Prof Alvi, mahasiswa harusnya lebih proaktif mencari informasi.
Janter tak sepaham. “Terbukti dalam MWA sekarang tidak ada mahasiswa dan tak pernah ada sosialisasi,” katanya. “Gak rasional.”
Di UI, info pemilihan anggota MWA sangat terbuka. Disebar di twitter, website hingga grand launching rekrutmen calon anggota MWA ke tiap fakultas. Lalu diadakan Pemilihan Umum Raya (Pemira) Anggota MWA UI Wakil Unsur Mahasiswa oleh Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM)—perkumpulan organisasi mahasiswa di UI. Ini terjadi tiap tahun, sebab anggota MWA wakil unsur mahasiswa akan berganti tiap tahun dan dipilih kembali.
Amar bilang yang lebih penting ialah syarat menjadi anggota MWA harus diperjelas dan dibuat dengan nilai yang terukur.
***
Mei 2015 masa jabatan Rektor Prof Syahril Pasaribu akan berakhir. Dalam Peraturan MWA No 03 Pasal 5 Ayat 1 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Wakil Rektor, pemilihan rektor diselenggarakan paling lama lima bulan sebelum jabatan rektor berakhir.
SA menargetkan keputusan menteri tentang hasil pemilihan anggota MWA segera ditetapkan. Setelahnya, MWA periode lalu dan periode sekarang akan rapat bersama. Memilih ketua dan sekretaris untuk membentuk panitia pemilihan rektor. Hal ini membuat surat keputussan dari menteri jadi kian penting, sebab Ketua dan Sekretaris MWA harus segera ada agar bisa membentuk panitia pemilihan rektor baru. “Bulan Januari harus sudah pemilihan,” tutup Prof Yoel.
Koordinator Liputan: Yulien Lovenny Ester G
Reporter: Fredick BE Ginting, Rati Handayani, Ika Putri Agustini Saragih, dan Yulien Lovenny Ester G
Laporan ini pernah dimuat dalam Tabloid SUARA USU yang terbit Oktober 2014.