Oleh Maya Anggraini
Judul: Saya Cinta Indonesia
Pengarang: Isman H. Suryaman, Andi Gunawan, Sammy ‘not a slim boy’, dan Miund
Penerbit: Mediakita
Tahun terbit : 2012
Jumlah halaman: 174 halaman
Harga: Rp 36.000,-
“Indonesia is not a poor country, it’s a rich country but poorly managed”
Sering kita merasa kenal Indonesia, tapi apa yang kita tahu tentang Indonesia akan selalu terasa kurang terutama ketika kita bertemu orang orang lain dan mendengarkan kisah kisah mereka yang tidak pernah terbayangkan oleh kita. Buku ini menyuguhkan banyak pengalaman dan pengamatan Isman H. Suryaman, Andi Gunawan, Sammy ‘not a slim boy’, dan Miund. Semuanya mempunyai subjektivitas yang berbeda, namun sama-sama diceritakan dengan penuh kejenakaan.
Isman menceritakan bahwa seorang penulis bernama Derek Fisher menyampaikan, kalau ada seekor ikan menerangkan pada ikan lain bahwa mereka hidup dalam air, ikan lain akan bingung dan berkata, ‘Air? Air apa?’ Ketika mayoritas ikan tidak menyadari keberadaan air, sebagaimana kita tidak menyadari keberadaan budaya. Ikan baru sadar , setelah mereka keluar dari air itu. Untungnya kita sebagai manusia mempunyai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Namun, terkadang kita tetap masih perlu keluar dari lingkungan budaya kita, untuk menyadarinya, keluar dari lingkungan ini bisa dengan secara fisik, misalnya pergi keluar kota, luar pulau.
Kita cenderung tidak memerhatikan atau mempertanyakan budaya. Padahal justru itu yang membentuk kita. Bagaimana kita berpikir maupun berperilaku. Salah satu cara untuk memaksa diri untuk “keluar” dari budaya adalah dengan melihat dan menertawakannya.
Berbeda dengan Andi Gunawan yang menceritakan Sebuah lagueasy listening yang ‘menyentil’ mereka yang hidup glamour, money oriented, yang seperti nya lupa akan makna hidup sesungguhnya. Yaitu lagu yang berlirik “When the sale comes first, and the truth comes second, just stop for a minute and smile.” [Price Tag: Jessie J feat. B.o.B].
Di dalam buku ini Andi bercerita tentang terlalu kreatifnya pemudazaman sekarang. Contohnya Multitasking Person, satu orang dalam satu waktu, bisa update status twitter sembari jalan-jalan di mall sementara tangan satunya sambil menggandeng yang tak seharusnya digandeng.Pacar orang, misalnya.
Saat seorang perempuan tampak begitu menawan megenakan sepatu hak tinggi, tak sedikit yang juga mengikutinya, bahkan laki-laki. Saatsuffle dance, sebuah tarian dengan gerakan yang penuh energi dan mengandalkan kekuatan kaki tapi tak membuat pelakunya beranjak kemana-mana, banyak bocah memelajarinya. Heboh, tapi tetap di tempat. Bukankah itu pertanda gagal move on?
Cerita lain yaitu politik. Tak harus belajar ilmu politik di perguruan tinggi untuk jadi politisi. Nggak perlu berasal dari keluarga pejabat untuk mendapatkan jabatan. Tak perlu berpura-pura empati untuk mendapatkan simpati. Untuk terjun dalam Perpolitikan Indonesia, cukup punya satu bakat: menari. Menari di atas penderitaan rakyat. Juga harus siap digoyang dan diganyang. Begitulah.
Lain halnya dengan yang di ceritakan Sammy ‘not a slim boy’ tentang pendidikan anak. Saya menolak adanya tes membaca, menulis, dan menghitung saat anak hendak masuk SD. Seharusnya, pelajaran-pelajaran ini yang diajarkan pertama kali ketika masuk SD. Jangan makan gaji buta dengan ongkos pendidikan yang tinggi. Saya sangat mendukung anak usia di bawah enam tahun nggak diperbolehkan untuk masuk SD. Kenyataan yang ada sekarang adalah keterpaksaan mengajarkan anak baca, tulis, hitung sebelum SD, karena takut tidak diterima di sekolah manapun.“Seingat saya, dan saya yakin saya bukan pelupa, saya dulu masuk SD dalam keadaan belum bisa membaca. Hentikan SIRKUS ANAK!!!” begitu kata Sammy.
Empat penulis yang mencoba memaparkan kisah kesehariannya dan dikemas dalam bentuk yang benar-benar berbeda. Miund, misalnya,membawa kita ke dalam kehidupan sosial seperti pada waktu ikut mamanya untuk mengajari ibu-ibu PKK di sebuah daerah kumuh padat penduduk di Jakarta Utara. Penulis tersebut mendapati bahwa masyarakat tidak hanya membutuhkan sandang, pangan ataupun papan. Ternyata masyarakat Jakarta lebih membutuhkan pendidikan seputar menentukan prioritas.
Penulis-penulis tersebut mengajarkan bahwa kita harus tetap mencintai Indonesia. Bagaimanapun keadaannya. Dan harapan mereka, “kita” lah yang menjadi agent of change-nya. Meskipun ceritanya sepenggal demi sepenggal, namun buku ini dikemas dengan guyonan cerdik nan mendidik.