Oleh: Rati Handayani
Judul Buku | : Cerita Buat Para Kekasih |
Penulis | : Agus Noor |
Penerbit | : PT Gramedia Pustaka Utama |
Tahun terbit | : Cetakan Pertama, November 2014 |
Jumlah halaman | : V + 276 halaman |
Cerita masyarakat urban dengan pendekatan psikologis yang sukses serta syarat akan nihilisme moral. Bukan antologi cerpen percintaan yang vulgar.
Bolehlah kita berspekulasi bahwa antologi cerpen ini berisi cerpen-cerpen dengan ide cerita tentang percintaan dalam tanda petik. Sah saja. Sebab judul dan gambar di sampul depannya memang mengisyaratkan demikian. Apalagi jika Anda balik helai-demi helai buku ini. Anda akan jumpai beberapa foto penulis dengan perempuan berpose ‘mengundang’. Tetapi, ungkapan don’t judge a book by it’s cover pas sekali untuknya. Sebab buku ini memang bukan berisi ‘yang begituan’.
Sepertinya Agus Noor, penulis, memang mau menabrakkan pembacanya dengan nilai moral dari berbagai sisi. Mulai dari pengemasan sampul, hingga yang paling kuat pesan moral cerpen-cerpen di dalamnya.
Agus mengolah cerpen dalam antologi ini dengan dua fokus: pendekatan psikologis dan sosiologis. Namun pendekatan psikologis punya ruang lebih dominan. Pendekatan psikologis ialah penulisan dengan mengolah persoalan yang ruang lingkupnya lebih sempit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan subtil. Sehingga permasalahan hidup yang kompleks dapat dilihat lebih dekat. Cerita dengan pendekatan ini dikemas Agus dalam tatanan terkecil kehidupan, yakni keluarga. Inilah kejelian Agus.
Keluarga memang entitas yang mampu menggambarkan permasalahan sosial lebih besar. Sebab dalam keluarga segala sesuatu dimulai. Dalam keluarga ada intrik, ada kebohongan, ada tipu daya.
Ada banyak cerpen dengan pendekatan ini. Temanya beragam, mulai masalah percintaan, toleransi, perselingkuhan, hingga hakikat manusia. Antara lain “Cerita di Hari Valentine”, “Pengintai”, “Sakit”, “L’abitudine”, “Secangkir Kopi Senja”, “Penyair yang Jatuh Cinta Pada Telepon Genggamnya”, dan beberapa lagi.
Keluarga, dalam cerpen “Pengintai” diceritakan bukan lagi tempat aman bagi anggotanya dan mengajarkan kejujuran. Agus tak berlebihan menggambarkan institusi kecil ini sebagai tempat dimulainya kebohongan, intrik, dan perselingkuhan. Sebelum adanya intrik dan kebohongan di tatanan yang lebih luas.
“Pengintai” menceritakan si ayah merasa tak nyaman berdiam di rumah yang ditinggali keluarganya saat itu. Ia merasa ada hantu yang mengancam hidup mereka. Namun anak lelakinya juga istri barunya hanya menertawakan kecemasan si ayah. Mereka mengatakan ia masih trauma dengan kematian misterius istri pertamanya di rumah itu. Untuk meyakinkan anak istrinya, si ayah memasang kamera ultra sensor. Ternyata, memang terekam ada hantu. Ia gentayangan dan mengintip dari lubang kunci, anak dan istri kedua si ayah tengah bersetubuh di ranjang. Ini satu gambaran Agus yang tak bisa dinafikan memang terjadi dalam keluarga.
Atau seperti dalam “Penyair yang Jatuh Cinta Pada Telepon Genggamnya”. Agus menggambarkan bagaimana kemajuan teknologi membuat manusia begitu mencintai dunia. Dalam cerpen ini Agus mampu mengingatkan dengan tidak menggurui. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai penulis: bercerita.
Sedangkan cerpen dengan pendekatan sosiologis di antaranya “Matinya Seorang Demonstran”, dan “Kunang-Kunang di Langit Jakarta”. Jumlahnya lebih sedikit. Dalam antologi ini Agus seperti tengah menggeser arah olahan cerita, lebih dengan pendekatan psikologis. Pergeseran tak hanya dalam bukunya ini, tapi dimulai sejak antologi sebelumnya: “Selingkuh Itu Indah”. Keduanya begitu kentara dengan “Bapak Presiden yang Terhormat”, Antologi sebelum “Selingkuh Itu Indah” lebih bercerita realitas sosial.
Dalam dua fokus olahan itu, Agus mampu menggambarkan nihilisme moral lewat tema ceritanya. Ini dapat dilihat dari narasi dan dialog dalam berbagai cerpen. Narasi dan dialog Agus menabrakkan kita dengan tata nilai yang ada. Bahkan dalam suatu cerpen ia menggelitik pembaca dengan kalimat mencandai Tuhan.
Tapi, entah kenapa, aku selalu merasa ada yang salah, setiap melihat perempuan cantik berdoa. Tuhan menciptakan perempuan cantik, agar Ia bisa sedikit bersantai. Pasti Tuhan begitu repot mesti mendengarkan begitu banyak doa setiap harinya. Maka, Tuhan memberi kecantikan pada seorang perempuan, agar dengan kecantikan itu bisa menyelesaikan sendiri persoalannya. Kau tahu sendiri bukan, di dunia ini, banyak persoalan cepat beres dengan kecantikan. Kalau kau cantik dan berbuat salah, kau tak perlu berdoa meminta maaf pada Tuhan. Orang akan dengan senang hati memaafkan kesalahanmu (hlm. 236).
Atau dialog ini: “Orang bijak mengatakan: mendidik anjing lebih mudah daripada mendidik laki-laki,” katanya. “Dan saya percaya. Andai laki-laki bisa dididik patuh seperti anjing….” Ia melirik ke arahku (hlm. 5).
Lewat dua kutipan di atas, kita bisa merasakan betapa dengan gampangnya ia mendobrak moral kita. Perlakuan keseharian kita sebenarnya tak adil dalam memaknai moral dan Agus sukses membuka mata dengan gambaran ringan itu. Pesan yang disampaikan penulis tentulah sangat erat dengan pandangan hidup penulis, sebab Agus sendiri memang memandang hidup ini sebuah ironi.