Oleh: Nurmazaya Hardika Putri
Sejumlah empat puluh dua cagar budaya sudah diakui oleh Pemerintah Kota Medan sejak tahun 1988. Meski begitu, keseriusan pemko untuk melestarikan cagar budaya ditengarai masih setengah-setengah.
Siang itu cuaca sedikit mendung. Suasana Jalan Brigjend Katamso terlihat ramai.Empat bus pariwisata memasuki halaman sebuah bangunan bercorak kuning khas Melayu.Ia dinamakan Istana Maimun. Hamparan rumput hijau tertata rapi mendominasi halaman seluas 2722 m2.
Tak lama, setelah keempat bus tersebut terparkir, rombongan siswa Sekolah Menengah Pertama turun dari bus. Bersama beberapa guru, siswadari kelas XII itu langsung berjalan menuju lokasi bangunan Istana Maimun.
Istana Maimun merupakan salah satu bangunan bersejarah Medan, peninggalan dari Sultan Deli Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah.
Tampak dari sisi depan, Istana Maimun terlihat megah, bersih, dan tertata. Berbeda dengan sisi belakang istana yang tampak berantakan. Dua puluh pintu berjejer dengan tempat jemuran di depan ruangan. Baju–baju yang dijemur merupakan baju keturunan Sultan Deli yang mendiami ruangan tersebut.
Tengku Mohar, Pengelola Istana Maimun mengatakan bangunan ini merupakan warisan keluarga Sultan Deli, sehingga pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemko) Medan bersama Yayasan Sultan Deli Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah.
Pengelolaan dari yayasan termasuk dengan menanggung gaji penerima tamu, penjaga ruangan sewa baju daerah, dan segala perbaikan fisik istana. Perbaikan fisik tersebut seperti putusnya bola lampu dan kebersihan ruang istana. Dana lainnya juga didapat dari hasil penyewaan baju daerah untuk pengunjung dan hasil penjualan tiket masuk yang berkisar Rp5.000,- sampai Rp10.000,-.
Pemko Medan, dalam hal ini Dinas Pertamanan Kota Medanjuga turut serta menjaga Istana Maimun sebagai cagar budaya. Partisipasi Pemko Medan dengan memberikan empat tenaga kerjantuk mengurus halaman dan taman istana secara rutin setiap hari. “Bantuan yang berkesinambungan itu kebersihan, halaman, dan pertamanan,” ujar Tengku Mohar.
Meski begitu, saat ini Istana Maimun membutuhkan bantuan dana untuk melestarikan musik dan tarian Melayu yang digelar setiap hari oleh pihak istana. Apalagi dengan adanya biaya yang dikeluarkan untuk pihak keamanan istana. Pemko Medan sama sekali tidak memberikan sokongan dana untuk hal tersebut. “Makanya dana yang kita harapkan dari Pemko Medan adalah untuk pelestarian,” jelas Tengku Mohar.
Lain halnya dengan Masjid Raya Al Mashun atau lebih dikenal dengan Masjid Raya Medan.
Sejak diakui oleh Pemko Medan sebagai bangunan bersejarah, Pemko memberikan bantuan nondana seperti pembebasan biaya listrik dan air. Selebihnya jika ingin meminta bantuan dana, Ulumuddin katakan pihak BKM harus mengajukan proposal ke Pemko terlebih dahulu.
Beberapa perbaikan dan renovasi seperti perbaikan kaca jendela dan tempat wudhu sejak Januari 2016 telah dilakukan oleh pengelola Masjid Raya tidak mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Seluruh biaya berasal dari sumbangan infaq umat yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah.
Perbaikan dan penggantian kaca jendela Masjid Raya Medan mendapatkan bantuan sumbangan dari Dinas Pendidikan Aceh. “Lagian Masjid Raya juga tidak menerima bantuan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),” ujar Ulumuddin.
Tidak menerima bantuan APBD tersebut merupakan perintah Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah yang juga ikut mengelola keadaan Masjid Raya Al-Mashun. Sultan Makmun tak ingin menerimah bantuan APBD sebab pengelolaan masih dapat dilakukan oleh Yayasan, dan tak ingin Masjid Raya menjadi milik Pemko Medan. Sehingga pihak kenaziran masjid tidak ingin menerima bantuan secara terikat.
“Selama ini bantuan dari umat pun banyak,” kata Ulumuddin.
Andriani, Kepala Seksi Sejarah dan Kebudayaan Kota Medan membenarkan pengajuan proposal tersebut.Ia katakan untuk mengajukan permohonan dana, pengelola cagar budaya harus mengajukan proposal. Pemerintah tak menyediakan dana langsung untuk perbaikan fisik bangunan maupun pengelolaan bangunan. Dana yang disediakan Pemerintah bersumber dari dinas-dinas terkait.
Pengajuan dana diajukan ke Pemko Medan yang dalam hal ini dibawahi oleh wali kota. Peruntukan proposal akan dikaji walikota dan diteruskan ke dinas terkait. Seperti Dinas Pertamanan, Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Meski begitu dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah memberikan dana insentif yang berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk lain yang bersifat nondana untuk mendorong pelestarian cagar budaya tersebut.
Menurut Apriani, Ahli Sejarah Universitas Negeri Medan katakan pengelolaan yang dilakukan oleh pihak swasta lebih baik daripada yang dilakukan oleh pemerintah. Lihat saja bangunan Tjong A Fie yang pengelolaannya dilakukan oleh pewaris bangunan tersebut. Sistem pengelolaan yang bagus menjadikan bangunan di Jalan Jenderal Ahmad Yanitersebut sebagai satu-satunya gedung bersejarah kota Medan yang telah terdaftar di tingkat nasional.
Contoh lainnya adalah Gedung D’ Heritage yang terletak di Jalan Balaikota No.1 Medan. Meskipun gedung tersebut sudah diakui Pemko Medan sebagai cagar budaya, namun pengelolaan sepenuhnya didanai oleh pihak Hotel Grand Aston City Hall. Gedung tersebut meskipun telah diubah menjadi kafe namun tidak mengurangi nilai dari bangunan bersejarahnya.
Menanggapi Apriani, Andriani hanya menjawab santai. “Bagus dong, jadi mereka (swasta–red) bisa lebih leluasa mengelolanya (cagar budaya—red ),” ucapnya.
Keadaan Cagar Budaya Lainnya
Perda No 6 Tahun 1988 menyebutkan setidaknya ada 42 cagar budaya di kota Medan yang telah diakui oleh pemerintah. Yaitu empat puluh bangunan individu dan dua kawasan bersejarah yang diakui. Dua kawasan tersebut adalah kawasan Pusat Pasar danAhmad Yani. Termasuk di dalamnya Masjid Raya Medan dan Istana Maimun.
Tapi, pengelolaan kedua bangunan tersebut masih kurang memuaskan, terlihat dari perbaikan yang lebih banyakdilaksanakan oleh pihak yayasan.
Badan Warisan Sumatera adalah alah satu lembaga swasta yang konsen terhadap pelestarian warisan pusaka di tanah air. BWS melakukan konservasi, publikasi, dan dokumentasi serta membangun jaringan untuk pelestarian warisan budaya, edukasi publik, pencarian dana, dan pembinaan sumber daya manusia dalam bidang pelestarian budaya.
Hairul contohkan bangunan yang memprihatinkan contohnya Gedung Nasional Medan di Jalan Sutomo yang banyak mengalami kerusakan. Seperti dinding yang tidak terawat dan langit-langit gedung yang rusak. Pun sampai saat ini gedung itu dibiarkan tanpa ada perbaikan oleh pemerintah.
Perbaikan ini bukan tanpa alasan, Andriani jelaskan perlu adanya pengakuan bangunan sebagai cagar budaya untuk lakukan perbaikan. Sementara pengakuan dapat dikeluarkan Pemko Medan, jika penelitian telah diakukan dan hasilnya sesuai dengan kriteria dalam Pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Kriteria yang dimaksud di antara bangunan sudah berusia lima puluh tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia lima puluh tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Andriani jelaskan salah satu alasan belum dilaksankan penelitian terkait pendanaan, dan kerja sama dengan dinas terkait. Kalaupun ingin mengadakan penelitian dinas terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwasta, Dinas Tata Ruang, dan Tata Bangunan, Dinas Pendidikan harus lakukan perundingan dan membuat rencana anggaran secara bersama perihal penelitian tersebut.
Pun, proposal ini akan diajukan ke wali kota dan dipertimbangkan untuk dilaksanakan atau tidak. Jika penelitian ini dilaksanakan, wali kota akan memasukkannya dalam anggaran APBD. Hingga saat ini belum ada inisiatif dari pemerintah untuk mulai menyelediki kawasan atau pun bangunan mana yang akan diteliti sebagai cagar budaya.
“Belum ada dianggarkan,” jelas Andriani, Kepala Seksi Sejarah dan Kebudayaan Kota Medan.
Hairul, Ketua Pelaksana Harian Badan Warisan Sumatera (BWS) katakan setelah perda tersebut direvisi hukum tersebut semakin melemah sebab di dalamnya tidak menyebutkan bangunan atau kawasan mana yang telah diakui. “Kini tak lagi disebutkan berapa jumlah cagar budaya dan daerah mana yang jadi tempat bersejarah di Medan,” ucapnya.
Dalam peraturan yang telah direvisi tersebut Andriani menyebutkan bahwa perda sebelumnya dengan perda yang telah direvisi itu tidak jauh beda. Hanya saja memang terdapat sedikit perbedaan seperti tidak meletakkan daftar dan jumlah cagar budaya yang diakui di Medan. “Tujuannya tetap sama untuk melesetarikan cagar budaya,” terangnya.
Apriani, Ahli Sejarah Universitas Negeri Medan, katakan dasar hukum ini justru melemahkan cagar budaya. Sebab dalam Perda No 6 tahun 1988 tersebut sebenarnya sudah sangat kuat dan bisa menjadi dalil untuk melindungi cagar budaya karena dicantumkan jumlah cagar budaya yang telah diakui oleh pemerintah.“Jika pemerintah terus memberikan peraturan yang lemah bukan tidak mungkin bangunan bersejarah di kota Medan akan punah,” tutup Apriani.
Koordinator Liputan : Nurmazaya Hardika Putri
Reporter : Deli Listiani dan Elda Elfiyanti