Oleh: Widiya Hastuti
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan,”- Pramoedya Ananta Toer
Ada kebiasaan membawa ‘sesajen’ yang dilakukan mahasiswa saat sidang skripsi (meja hijau). Sekadar untuk menyenangkan hati dosen, bermaksud menyogok agar dapat lulus dan memiliki nilai bagus, atau karena diminta. Dosen penguji pun kerap menganggap sesajen itu merupakan hal wajib yang merupakan syarat melakukan sidang. Tidak meminta, namun kerap menanyakan jika tidak ada.
Bukan menjadi rahasia lagi, mahasiswa USU juga memberikan sesajen saat akan sidang meja hijau. Bentuknya beragam, mulai dari makanan ringan hingga makan siang dosen penguji. Tak jarang parcel dan benda-benda lainya. Umumnya makanan yang disajikan pun olahan restoran terkenal. Beberapa mahasiswa yang saya temui mengaku, untuk menyajikan sesajen ini, mereka dapat merogoh saku mulai Rp600.000-Rp2.000.000. Meski terkadang mereka melakukan patungan.
Menjadi permasalahan sesajen ini telah menjadi kebiasaan atau budaya yang dilakukan mahasiswa dengan diminta ataupun tidak diminta. Seperti budaya masyarakat tradisional, tabu jika tidak dilaksanakan bahkan digadangkan akan mendapat bencana. Padahal sesajen merupakan budaya yang memberatkan si pemberi. Terlebih jika ia mahasiswa dengan ekonomi menengah ke bawah.
Tidak semua mahasiswa setuju dengan kebiasaan sesajen ini. Juni 2017 lalu Sastra Inggris dikejutkan dengan coretan “Tolak Pungli Saat Meja Hijau” yang berada di spanduk visi dan misi depan Kantor Prodi Sastra Inggris. Tidak diketahui siapa yang menuliskanya. Kemudian Mei 2018 FISIP yang digegerkan dengan pemberitaan pungutan liar (pungli) jelang meja hijau yang dilakukan dosen Administrasi Bisnis.
Mahasiswa yang melakukan sidang pun merespon beragam. Kebanyakan menurut saja, menganggap itu merupakan ucapan terima kasih, adapula yang berontak hingga dua berita di atas muncul. Mahasiswa mengikuti kebiasaan seniornya. Seniornya mengikuti seniornya pula. Entah siapa yang memulai.
Ketika saya tanya seorang senior, kenapa mereka memberi makanan saat sidang meja hijau jika itu memberatkan? Toh tidak diminta. Mereka menjawab dengan kekhawatiran jika tidak ada sesajen, dosen penguji bisa saja memberi nilai rendah. “Daripada ditanya mana kuenya mending bawa aja,” katanya. Kekhawatiran lain juga muncul seperti teman sidang yang lain membawa makanan sedangkan dia tidak.
“ini kan bentuk terima kasih mahasiswa sama dosenya,” ujar salah satu dosen penguji. Bagaimana nasi dengan segala macam perniknya dapat menjadi bentuk terima kasih mahasiswa untuk dosen? Kenapa dosen harus menuntut jika ini memang merupakan bentuk terima kasih? Bukankah terimakasih adalah perbuatan yang didasari hati ikhlas. Tidak menuntut timbal balik seperti nilai bagus. Jika mahasiswa memang berniat memberikan benda sebagai rasa terima kasih alangkah lebih baik dilakukan saat ia wisuda atau saat telah berpenghasilan. Hingga ucapan terima kasih tersebut tidak disalahartikan dan menjadi budaya.
Parahnya, ada mahasiswa yang tidak sadar bahwa membawa sesajen merupakan pungli atau dosen tidak tahu ini adalah gratifikasi. Mereka hanya melakukan apa yang telah biasa dilakukan.
Padahal berdasarkan surat edaran Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 108/B/SE/2017 tentang Larangan Menerima Hadiah menyebutkan dosen dilarang menerima atau meminta hadiah atau gratifikasi atau hadiah apapun dari mahasiswa atau siapapun yang berhubungan dengan tugasnya sebagai dosen. Sebaliknya mahasiswa dilarang memberi hadiah, gratifikasi atau pemberian apapun dengan alasasn apapun. hal ini karena dosen memiliki akuntabilitas sebagai pendidik, mentor, penilai, dan role model bagi mahasiswa.
Budaya memberi dan menerima sesajen harus dihentikan. Dosen harusnya memerangi perilaku yang dianggap budaya ini. Bukankah dosen telah mendapatkan honor untuk menjadi penguji sidang meja hijau. Lalu mengapa penguji harus menuntut ini itu pada mahasiswanya yang belum berpenghasilan. Menolak pemberian saat menjalankan tugas adalah cara yang bijak. Dosen adalah tenaga pendidik. Tentu seorang pendidik mesti memberikan contoh yang baik. Jika pungli dan gratifikasi telah dicontohkan pada mahasiswanya jangan heran jika korupsi terus memenuhi negeri ini.
USU juga harusnya membuat peraturan mengenai larangan meminta dan menerima barang apapun dari mahasiswa sidang. Peraturan jelas juga disertai pengawasan. Karena, meskipun dihimbau secara lisan oleh rektor, mahasiswa tidak akan ada yang mau mengadukan permintaan sesajen. Terlebih akan mengancam nilai. Misalnya saja Program Studi Administrasi Publik (AP) telah menerapkan sistem ini setelah surat edaran larangan menerima hadiah dikeluarkan. Kepala jurusan AP secara tegas melarang sesajen. Alhasil budaya ini memang punah di AP.
Mahasiswa juga mesti sadar dan tidak perlu takut jika melakukan sidang meja hijau tanpa membawa sesajen. Terlebih sesajen tersebut memberatkan dengan berbagai macam makanan mahal. Jika mahasiswa percaya diri dengan skripsi dan kemampuannya tidak ada alasan dosen penguji memberi nilai rendah. Jika seluruh mahasiswa tidak lagi memberi sesajen budaya ini akan hilang sendiri. Dosen tidak akan lagi memberi nilai rendah pada mahasiswa yang tidak membawa sesajen. Sebagai mahasiswa kita haruslah kritis, bukankah kita dan dosen adalah sekumpulan kaum terpelajar yang harus berbuat adil. Jika kau tidak coba menghentikan sekarang kebudayaan ini niscaya akan terus diwariskan.