BOPM Wacana

Mereka yang ‘Mati’ Demi Bumi

Dark Mode | Moda Gelap

 

Foto Ilustrasi: Putra P. Purba

 

Oleh: Adinda Zahra Noviyanti

“Ada tak ada manusia mestinya pohon-pohon itu tetap tumbuh. Ada tak ada manusia mestinya, terumbu karang itu tetap utuh”— petikan lagu Sisir Tanah berjudul Lagu Hidup.

Lagu tersebut mengisaratkan bahwa manusia harusnya tidak menjadi perusak lingkungan. Lagu folk berlirik satire tersebut mengingatkan kita akan kian merambahnya tindakan manusia yang merusak alam. Mulai dari individu yang kerap membuang sampah sembarangan hingga korporasi besar yang bergurita mengeksploitasi kekayaan alam demi kekayaan masing-masing. Manusia kini berlomba-lomba berinvestasi untuk memperolah hasil dari bumi. Baik melalui pariwisata, perkebunan hingga pertambangan.

Meski banyak manusia yang punya hasrat mengeksploitasi alam, tidak dapat dipungkiri ada pula manusia yang sadar dan risih akan kerusakan alamnya. Serta terganggu dengan adanya dampak yang dikeluarkan oleh kegiatan eksploitasi. Masih banyak yang sadar dan menolak reklamasi Teluk Benoa maupun Jakarta, Freeport yang sudah dikeruk sedalam lebih dari 1 kilometer, serta pembangunan lain yang merusak alam atas nama investor maupun pemasukan untuk negara. Ataupun membangun yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat lainnya.

Salah satunya Budi Pego. Ia tidak menyangka nasibnya akan sama seperti aktivis lingkungan lain yang dipidanakan. Usaha kasasi yang dilakukannya malah meningkatkan hukumannya dari 10 bulan menjadi 4 tahun penjara. Majelis hakim berpendapat Budi sebagai koordinator aksi penolakan tambang emas Tumpang Pitumilik PT Bumi Suksesindo pada 4 April 2017 bertanggung jawab atas logo palu arit di spanduk aksi yang dianggap sebagai lambang Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ada pula Iis (M. Hisbun Payu) dan kawan-kawan (Kelvin Ferdiansyah Subekti, Penasehat  Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Sukoharjo Sutarno Ari Suwarno, Sukemi Edi Susanto, Brilian Yosef Naufal, Danang Tri Widodo, dan Bambang Hesti Wahyudi). Mereka kerap melakukan penolakan terhadap berjalannya PT Royan Utama Makmur (RUM) di Desa Plesan, Nguter, Sukoharjo yang bergerak dalam bidang tekstil mengeluarkan aroma tidak sedap dari limbah produksi.

Tak main-main Danang dan Bambang malah dijerat Undang-Undang No 11/2008 jo UU No 16/2016 tentang ITE. Sisanya, Iis, Kelvin, Sutarno, Sukemi, dan Brilian dijerat dengan pasal 187 ayat 1-2 atau pasal 170 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Universitas Negeri Semarang sempat dijadikan tim independen untuk memeriksa masalah bau yang dikeluhkan masyarakat. Hasilnya UNS menyampaikan bahwa kadar bau yang menyebar dari PT RUM tersebut masih belum berbahaya. Keluaran tersebut menjadi acuan bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sukaharjo untuk memproses keluhan warga.

Kadar berbahaya dari aroma yang mengganggu masyarakat cukup jadi lelucon. Jika dihitung-hitung, aroma kentut juga tidak berbahaya bukan jika hanya sepintas? Tapi bayangkan jika aroma busuk itu anda hirup dalam waktu cukup lama. Apa anda tidak terganggu? Ya tidak memang, karena Anda sudah terbiasa dengan aroma busuknya.

Tidak hanya Iis dan kawan-kawan, sebelumnya juga ada Salim Kancil. Ia menolak pertambangan pasir di desanya hingga kini masih belum ada penyelesaian dari kasus kematian.

Sebenarnya ada izin untuk mengeksploitasi alam berdasarkan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Kajian mengenai dampak penting suatu usaha kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan untuk proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha tersebut.

Namun, apakah hal tersebut dapat menjadi acuan terhadap kerusakan lingkungan jika eksploitasi dilakukan secara terus-menerus dan besar-besaran? Tentu saja tidak. Korporasi punya banyak cara dan modal untuk mendapatkan AMDAL dan tidak memikirkan ekologi. Banyak kasus AMDAL yang dikeluarkan tidak sesuai akhirnya ditarik kembali seperti reklamasi Teluk Benoa dan Meikarta.

Di Iran ada Kavas Seyed Emami, Direktur Yayasan Warisan Satwa Persia yang dipenjarakan pada 24 Januari di penjara Evin Teheren karena dituduh mengumpulkan informasi untuk diberikan kepada lawan politik pemimpin pada masa ini. Ia dikabarkan bunuh diri pada 9 Februari oleh kepolisian. Namun hal tersebut tidak diyakini oleh kerabat Emami termasuk anak Emami pada Reuters.

Ada pula Pendiri Kelebro pemantauan Green Wacth Tan Kai yang mengkritik industri polusi di Zhenjiang berdampak pada air yang tidak dapat lagi diminum oleh warga. Begitupun dengan Hoang Duc Binh yang dihukum 14 tahun penjara karena dianggap menyalahgunakan kebebasan berdemokrasi  dengan mengajak nelayan untuk mengajukan gugatan terhadap pabrik baja milik Taiwan, Formasa Plastics Group (Baja, pembangkit listrik dan pelabuhan) di provinsi Ha Tinh.

Berdasarkan data Global Witness, Pada 2016 tercatat 200 aktivis lingkungan dibunuh di 24 negara. Amerika Selatan menjadi negara dengan kasus pembunuhan aktivis lingkungan tertinggi di dunia. Di indonesia, pada 21 Februari 2018 Satuan Penghentian Kriminalisasi terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kiara, Konsorsium Pembaruan Agraria, Kontras, LeIP, Perempuan Mahardika, Perludem, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Solidaritas Perempuan, Walhi, Yappika, YLBHI melakukan Siaran Pers di Jakarta.

Dari siaran tersebut pada 2017, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sebanyak 50 orang aktivis lingkungan dan pejuang hak atas tanah dikriminalisasi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melakukan advokasi pada 148 kasus lingkungan hidup dan agraria di seluruh Indonesia. Mulai dari alih fungsi kawasan hutan, pencemaran, tambang, reklamasi, kejahatan laten perizinan dan kasus di pulau-pulau kecil.

Hutan Raya Institut (HaRi) menyebutkan aktor utama dalam kriminalisasi aktivis lingkungan adalah negara. Walaupun dalam UU Nomor 23 Tahun 2009 Pasal 66 setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata tapi malah tumpang tindih dangan izin investasi yang diberikan negara kepada korporasi.

Mereka hanya secuil dari aktivis-aktivis lingkungan yang mendekam di penjara karena membela bumi agar tidak dipelakukan semena-semana. Ini jadi bukti bahwa perlawanan juga akan butuh perlawanan, jika diterima saja bukanlah perlawanan.

Aktivis lain harusnya lebih berhati-hati dalam memperjuangkan hak rakyat. Setidaknya hindari tindakan-tindakan yang memungkinkan terjerat pidana sebab penguasa selalu punya cara untuk mencagah proyeknya terhenti. Yakinlah! Peraturan yang ada untuk melindungi itu tidak kuat. Lantas jangan berharap banyak terhadap penerapan UU nomor 33 itu.

Tubuh mereka memang ‘mati’ demi bumi karena dikungkung jeruji besi dan mati dibunuh sembunyi-sembunyi. Namun seperti kata para sahabat Wiji Tukul, “Dan semua individu yang dibunuh atau dipenjara karena melawan, tidak mati, dia berlipat ganda”.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4