Oleh: Aulia Adam
Daripada “The Big Five Mass Media” yang memungkinkan jurnalisme terbit dalam bentuk koran, majalah, radio, televisi, dan film, istilah jurnalisme online-lah yang terbaru. Tapi belakangan ia begitu berkembang, hingga kadang membingungkan: apakah ia kawan atau lawan bagi jurnalisme itu sendiri?
Jurnalisme online lahir pada 19 januari 1998, bermula dari kasus Monicagate: kisah perselingkuhan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dengan Monica Lewinsky, pegawainya di gedung putih. Saat itu, koran Newsweek menolak laporan wartawan Micheal Isikoff tentang perselingkuhan itu untuk diterbitkan.
Lalu, Mark Drudge, seorang blogger, menerbitkan laporan tersebut di situs Drudge Report. Maka semua orang yang memiliki akses internet, bisa membaca lengkap kisah itu.
Lantas hal ini ditandai sebagai pelopor berkembangnya jurnalisme online.
Dahulu, orang-orang hanya bisa menikmati produk jurnalistik dari lima media massa terbesar atau lazim disebut The Big Five Mass Media. Namun ternyata, internet yang merupakan temuan dari Leonard Kleinrock ini juga dapat digunakan sebagai media jurnalistik.
Di Indonesia sendiri, jurnalisme online juga berkembang pada 1998. Saat aktivis demokrasi dan mahasiswa memanfaatkan milis untuk bertukar informasi terkait tujuan menjatuhkan Diktator Soeharto. Detik.com boleh dibilang sebagai media pertama yang manajemen keredaksiannya digarap serius sebagai media online.
Jurnalisme online secara harfiah tak berdefinisi jauh dengan jurnalisme konvensional (cetak, radio, dan televisi). Ia adalah proses pelaporan fakta yang diproduksi dan disebarkan melalui internet. Hanya berbeda di media penyebarannya. Maka dari itu, jurnalisme online juga termasuk ke dalam definisi jurnalisme yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999.
Selama ini sadar atau tidak kita hanya memahami online dalam artian yang ditampilkan di sebuah situs web. Padahal ‘online’ yang dimaksud mencakup berbagai tempat (venue): web, email, bulletin board system (BBS), IRC, dan lainnya. Namun, web memang venue yang memungkinkan jurnalisme online tampil dengan fitur sangat kaya dan cara paling gampang.
Dalam bukunya Online Journalism: Principles and Practices of News for The Web, James C Foust menerangkan ada tujuh keunggulan jurnalisme online.
Dalam poin satu, keunggulan jurnalisme online adalah Kendali Pembaca. Maksudnya, pembaca atau pengunjung bebas memilih berita mana yang ingin mereka baca.
Kedua, jurnalime online mempersembahkan ketidakterikatan. Artinya, informasi-infomasi yang disajikan bersifat ‘independen’ atau dapat berdiri sendiri, sehingga pengunjung tidak perlu membaca urutan atau rangkaian berita lainnya untuk dapat memahami suatu masalah.
Ketiga dan keempat ialah Penyimpanan-Pemulihan dan Akses Tak Terbatas . Hal ini berarti jurnalisme online memudahkan pengunjung untuk menyimpan dan mengakses kembali informasi. Tentunya didukung dengan kapasitas internet yang sangat besar sehingga menyediakan informasi yang lengkap.
Kelima dan keenam adalah Kesegeraan dan Multimedia. Maksudnya, jurnalisme online menyajikan informasi dengan sangat cepat dan tak hanya berupa teks seperti di koran, sebab internet juga mampu menampilkan informasi audio dan visual seperti televisi dan radio.
Dan yang terakhir adalah interaktivitas, di mana jurnalisme online memberikan ruangan yang begitu lapang untuk pengunjung menanggapi informasi yang disajikan.
Namun dari tujuh keunggulan ini, celah kekurangan justru tampak di sana-sini. Misalkan pada poin pertama. Ia baru bisa terwujud jika masyarakat yang ada sudah sepenuhnya melek media. Namun faktanya, meski saya tak punya data resmi, tapi kebanyakan masyarakat kita memang jauh dari melek media. Yang bisa dilihat sekilas mata adalah ramainya orang-orang menyebar tautan berita-berita provokasi atau fitnah dari media yang tak jelas asal-usulnya.
Faktanya, masih banyak orang yang kesulitan membedakan mana media yang ketat verifikasinya, mana yang eksistensinya hanya untuk memrovokasi. Hal ini sangat terkait dengan keunggulan-keunggulan jurnalisme online lainnya.
Kapasitas tak terbatas, dan kemampuan multimedia yang ditawarkannya menjadikan orang-orang tak bertanggung jawab gampang membuat media online palsu, sebuah media yang ditunggangi kepentingan lain selain jurnalisme. Yang bisa jadi regulasi redaksinya tak jelas. Kalau hal ini gampang ditelisik, cek saja apakah alamat redaksinya jelas di situs itu. Jika tidak, tak usah percaya lagi apa pun yang terbit dari sana.
Tapi ada juga media ternama yang seringkali menyajikan berita tak komprehensif, dengan judul hiperbola yang kadang tak sesuai konten berita. Biasanya berita itu kerap menggunakan kata-kata semacam astagfirullah, subhanallah, ya ampun, tak disangka, kapok, mantap! Dan kata sifat lainnya yang bisa mengarahkan pembaca terhadap emosi tertentu sebelum selesai membaca beritanya. Dari pengalaman yang sudah-sudah, media yang menggunakan judul seperti ini bahkan tidak becus dalam masalah ejaan, apalagi masalah verifikasi.
Sehingga jangan sampai celah-celah dari keunggulan jurnalisme online ini malah menkhianati proses jurnalisme itu sendiri.
Maka dari itu, perkembangan pesat jurnalisme online mau tak mau juga harus diikuti perkembangan kecerdasan masyarakatnya dalam menyaring media yang ada. Jangan jadikan keunggulan ini seperti buah simalakama, yang bisa berakhir bahagia atau malah malapetaka.
Karena sesungguhnya, jurnalisme online sama seperti jurnalisme lainnya: hadir untuk menyampaikan fakta, tak peduli apa pun medianya.
Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU dan merupakan alumni dari Pers Mahasiswa SUARA USU 2014.