Oleh Aulia Adam
Judul: Kill Your Darlings
Sutradara: John Krokidas
Naskah: John Krokidas dan Austin Bunn
Aktor: Daniel Radcliffe, Dean Deehane, Micheal C Hall, Jack Huston
Durasi: 131 menit
Rilis: 2013
Sebenarnya susah menerka apa yang ingin disampaikan film ini: sepotong riwayat hidup Allen Ginsberg? Dunia sastra di era Perang Dunia II? Atau isu lesbian gay biseksual transgender (LGBT)? Biar pun begitu, Daniel Radcliffe menunjukkan perkembangan seni perannya di sini.
Allens Ginsberg adalah seorang pujangga Amerika era 50-an. Karyanya yang terkenal adalah kumpulan puisi berjudul Howl. Ia penentang militerisme, kapitalisme Amerika, dan represi seksualitas. Ia juga salah satu anggota Beat Generation, sekelompok penulis kiri di zamannya. Mereka menentang yang biasa, mendukung alternatif seksualitas, tertarik pada agama-agama yang berkembang di Timur, dan menolak gagasan kapitalisme yang mulai berkembang kala itu.
Jelas, jika seseorang tertarik mengangkat hidupnya ke dalam rol film, adalah pekerjaan berat untuk membungkus fokus. Hidup Ginsberg tak biasa, ia seorang tokoh dunia: pujangga, sastrawan, homoseksual, seorang anak korban rumah tangga yang berantakan, punya ibu yang mentalnya terganggu, dan lainnya. Terlalu banyak hal menarik yang bisa diangkat.
Dan sang sutradara John Krokidas, memilih masa muda Ginsberg sebagai jalan cerita filmnya. Masa kala Ginsberg masih jadi junior di University of Columbia. Kala ia, yang diperankan Daniel Radcliffe, bertemu dengan Lucien ‘Lu’ Carr (Dane Deehane), orang yang membawanya mengenal orang-orang luar biasa lainnya di dunia sastra masa itu.
Bak masa muda siapa pun, masa muda para pemuda ini juga dipenuhi pergolakan batin tentang identitas diri, politik negeri yang mau tak mau terkait dengan kehidupan mahasiswa seperti mereka, serta cinta, obsesi, dan ego pribadi.
Cerita tentang terbentuknya Beat Generation jadi fokus awal cerita. Di saat yang sama, pergolakan batin Ginsberg yang mulai jatuh cinta pada Lu juga seolah jadi ide utama cerita. Pun, Krokidas juga meyelipkan kisah keluarga Ginsberg yang amburadul di sini.
Pada setengah film berjalan, tergambar jelas kehidupan remaja yang begitu liar. Ginsberg, Lu, dan kawan-kawan mereka di Beat Generation selalu teler. Kalau tak karena alkohol, mesti karena heroin. Adegan Daniel Radcliffe onani di kamar asramanya juga memperkuat kesan liar yang coba Krokidas tonjolkan.
Tapi terlalu banyak fokus cerita yang mau ia sampaikan.
Ada cerita Jack Kerouac (Jack Huston), yang sebenarnya bisa dibuatkan satu biofilm sendiri, diselipkan dalam film ini. Kisah cinta rumit Lu dan David Kammerer (Micheal C Hall), seorang pujangga yang juga terkenal di era itu juga turut hadir di sini. Porsinya juga tak sedikit. Bahkan, di akhir cerita penonton baru sadar kalau fokus yang coba dibungkus Krokidas adalah kasus pembunuhan David Kammerer oleh Lu.
Penonton akan sadar kalau fokus yang dipilih Krokidas untuk film ini adalah sepotong riwayat hidup Allen Ginsberg saat mencintai pria yang ternyata seorang pembunuh. Penonton akan sadar kalau, inti dari film ini adalah Ginsberg sadar kalau ia harus meninggalkan Lu yang penuh pesona. Dan penonton akan sadar, terlalu banyak hal yang diselipkan Krokidas untuk mengerucutkan satu intisari singkat tersebut.
Pertanyaannya, kenapa dari sekian banyaknya hal menarik dari hidup Ginsberg, hanya sepotong ini yang berusaha ia tonjolkan? Mungkin jawabannya karena ia sulit membungkus fokus.
Tapi, seni peran Daniel Radcliffe adalah salah satu penghibur dari film tak berfokus ini. Ia tak lagi terlihat seperti bocah penyihir penyelamat dunia, ia memang terlihat seperti pujangga 50-an yang masih remaja, yang begitu rapuh karena kesensitivitasan yang ia miliki. Caranya memandang Lu, menghisap heroin hingga teler, dan adegan ranjangnya dengan seorang pria tak dikenal, semuanya terlihat natural.
Pun demikian dengan seni peran Dane Deehane. Ia membuat karakter Lucien Carr begitu gelap sekali gus begitu memikat. Caranya bicara, bergerak, membuat karakter ini tak gampang dilupakan. Dane Deehane bisa dibilang menghidupkan karakter Lucien Carr yang meskipun pembunuh, kasar, keras kepala, tapi akan tetap membuat kita berempati padanya.
Satu lagi bagusnya film ini adalah musik jazz yang begitu menyatu di sepanjang cerita. Wells terbantu karena lagu-lagu tersebut menguatkan latar 50-an yang ia berusaha bangun.