Oleh: Rachel Caroline L.Toruan
Judul | Elegi Nelayan Dijaring Pukat |
Pemain | Irwansyah, Kamal, Safarudin, Sanjaya Ritonga, Dani Setiawan,
Majit, Dahli Sirait, Amanatul Fadhillah, Safril, CC, Hamdan Siregar, Toni Ariandi, Somady Sadarisman. |
Sutradara/Penulis | Mei Leandha |
Rilis | 6 Juli 2024 |
Durasi | 47 Menit 43 Detik |
Genre | Dokumenter |
Tersedia di | YouTube |
Tumpulnya keadilan di Indonesia bagi nelayan tradisional di Sumatra Utara tertuang di film ini.
Sejak tahun 1980, nelayan tradisional telah berkonflik dengan nelayan pukat hela dasar (trawl). Konflik ini terus berulang, terlebih pada tahun 2012 dua nyawa nelayan melayang diakibatkan perselisihan ini. Elegi Nelayan Dijaring Pukat yang digarap oleh sebuah tim bernama Adjektiva Project dapat dikatakan apik dalam menyajikan liputan investigasi melalui film dokumenter yang menyampaikan penderitaan atas kehidupan nelayan tradisional yang kini masih berjuang melawan nelayan pukat hela dasar.
Pada dasarnya, trawl dapat merusak ekosistem laut dan menjadi predator bagi hasil tangkapan nelayan. Berlandaskan Revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 dan 86 tahun 2016, film yang turut melibatkan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengupas bagaimana realita nelayan trawl yang hingga kini masih berlalu-lalang mengeksploitasi ekosistem laut. Komposisi liputan yang tertuang dalam film ini merangkum berbagai fakta dengan menyusuri tiga wilayah pesisir di Sumatera Utara, diantaranya Kota Medan, Kota Tanjungbalai, dan Kabupaten Serdangbedagai.
“Trawl sungguh meresahkan nelayan tradisional, karena dapat menghancurkan biota laut, baik bibit fauna di dalamnya, maupun karang-karang bisa rusak,” terang Kamal, salah satu nelayan di Serdangbedagai memaparkan bahwa dalam kesehariannya, nelayan pukat hela dasar biasanya mulai beroperasi dari pagi hingga sore, tapi terkadang juga sering ditemukan mereka melakukan aktivitas penangkapan ikan di malam hari.
Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan Sanjaya Ritonga, sebagai Sekretaris DPD KNTI Tanjung Balai mengungkap bahwasanya dalam sekali tarikan hasil tangkap ikan, trawl mampu meraup hasil hingga ratusan kilo. “Semakin besar kapalnya, semakin banyak tangkapannya, seluruh jenis ikan, hingga ikan kecil pun dapat,” ungkapnya.
Situasi kompleks yang dihadapi nelayan tradisional, melalui film ini teramat jelas tergambar saat mengetahui fakta nelayan pukat hela semakin merajalela menguasai wilayah perairan. Dani Setiawan, selaku Ketua Umum DPD KNTI menambahkan bahwa Sumatera Utara sendiri menjadi salah satu wilayah dengan banyak nelayan tradisional yang aktif menolak keberadaan trawl dalam aktivitas penangkapan ikan. Sanjaya mengaku bahwa kondisi kian memburuk dengan semakin berkurangnya hasil laut yang membuat semakin mahalnya hasil laut, nyatanya berdampak pada pendapatan nelayan saat ini yang semakin merosot.
Safarudin, selaku nelayan mengaku bahwa dalam sehari, penangkapan ikan sebelum hadirnya trawl mampu menghasilkan satu ton dalam sehari, hanya dengan mengambil ikan di wilayah pinggir pantai. “Sekarang mencari seratus kilogram aja sulit sekali,” keluhnya.
Film ini juga menyorot pandangan akademisi dari Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Amanatul Fadhillah yang berpendapat bahwa cara beroperasi trawl yang bersifat “menyapu”, apabila dilakukan terus-menerus dapat merusak ekosistem laut. Sementara Sanjaya mengungkap bahwa kebiasaan buruk dari trawl masih ada sampai sekarang diakibatkan ada “dalang” yang berperan besar dalam menormalisasi pengoperasian trawl.
Prinsip keberimbangan dalam sebuah peliputan ditemukan melalui pengakuan dari CC, anak buah kapal pukat hela, dengan menyamarkan suara dan nama demi menjaga keamanan narasumber. Elegi Nelayan Dijaring Pukat memaparkan penjelasan CC terkait regulasi pukat trawl beroperasi di setiap harinya, mulai dari jam turun ke laut, berapa kali, dan di tiap jam berapa mereka harus membuang pukat, hingga mengambil pukat.
Beberapa fakta menarik dari pandangan CC turut mewarnai dinamika film ini, begitu juga dengan disorotnya informasi dari pihak pemerintah, dalam hal ini Hamdan Siregar, selaku Kepala Dinas dan Perikanan Sumut, dan Somady Sadarisman sebagai Humas Pengadilan Negeri Medan.
Pengemasan visual dan penyorotan gambar dalam film ini sangat jelas dan bervariasi sehingga penonton tidak terlalu begitu jenuh saat menyaksikannya. Hanya saja, beberapa kali terdapat adegan wawancara kepada narasumber belum terlalu jelas dan saya pribadi harus beberapa kali mengulang adegan film, khususnya saat adanya keterangan nelayan-nelayan yang masih memakai bahasa daerah setempat—akan lebih baik apabila film dokumenter ini disajikan beserta takarir memakai bahasa Indonesia, agar dapat ditonton dari masyarakat manapun.
Bagaimanapun, informasi yang proporsional sangat kontras dan film ini saya rasa sangat cocok ditonton masyarakat luas guna memahami besarnya pengaruh trawl atas kerusakan laut dan realita perlindungan hukum saat ini yang masih terbilang tumpul bagi nelayan tradisional. Pada akhirnya, seusai menonton film berdurasi 47 menit ini, saya semakin yakin, bahwa tanpa adanya perlindungan hukum yang berpihak pada nelayan tradisional, maka pukat hela dasar semakin sewenang-wenang dalam mengeksploitasi hasil laut.