BOPM Wacana

Bagaimana Demokrasi Mati (dan Oligarki Abadi)

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

 

Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak

“Yang membuat suatu oligarki adalah pemerintahan orang kaya, dan yang membuat demokrasi adalah pemerintahan kaum miskin.” –Aristoteles, Politik.

Beberapa hari belakangan nama Anies Baswedan kerap jadi pembicaraan hangat di berbagai lini masa media sosial (medsos). Salah satu sebabnya: ulah Anies yang mengunggah foto dirinya sedang membaca buku How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati) di laman medsos pribadinya.

Banyak pengamat politik menafsirkan foto itu sebagai sindiran halus untuk pemerintah pusat. Sebab, dalam buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt itu, dijelaskan bagaimana demokrasi akan mati ketika pemegang kuasa mendapat legitimasi untuk melemahkan kelompok oposisi. Jelas, pola seperti itu mulai terasa di era kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini.

Contoh nyatanya: usaha pemerintah dalam melemahkan aksi massa penolakan Revisi UU KPK tahun lalu dan penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja belakangan ini. Di berbagai daerah, saat menghadapi massa demonstrasi, aparat keamanan cenderung menggunakan tindakan represif. Alasannya klasik; untuk menciptakan ketertiban umum sesuai perintah undang-undang (UU). Padahal—sebenarnya, alasan itu hanya dijadikan alat legitimasi untuk mengekang suara oposisi.

Bahayanya, jika pola seperti itu terus terjadi—seperti yang diingatkan Levitsky dan Ziblatt dalam bukunya: demokrasi di Indonesia akan mati. Apalagi yang seharusnya jadi wajah oposisi utama pemerintah malah membelot jadi koalisi pemerintah.

Untunglah, di saat genting seperti sekarang ini, sosok oposisi yang sangat karismatik kembali muncul dari persembunyiannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Habib Rizieq Shihab (HRS). Akhirnya, kini wajah utama oposisi pemerintah melekat pada HRS.

Sayangnya, HRS bukanlah sosok oposisi ideal untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia—malah sebaliknya. Dalam sebuah ceramahnya, seperti yang dicatat arrahmah.com (02/04/13), HRS menyatakan “demokrasi itu lebih bahaya dari daging babi”.

Pengamat Politik Indonesia asal Australia Ian Douglas Wilson dalam bukunya Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018) berpendapat, meski menolak demokrasi karena bertentangan dengan Islam, nyatanya HRS bersama Front Pembela Islam (FPI) sebagai kendaraan politiknya tetap berniat merebut kekuasaan lewat ajang politik elektoral. Strateginya: setelah kekuasaan berhasil direbut, baru memboikot demokrasi.

Tentu, di negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini, narasi-narasi populisme Islam sangat mudah dijual oleh tokoh seperti HRS. Layaknya analisis Wilson, yang memberi FPI kekuatan adalah “kemampuannya untuk membajak” suatu masalah yang kemudian—melalui masalah itu—dibentuk “ketegangan sosial-ekonomi dan wacana publik” yang diselimuti solusi melalui pengenalan “tatanan moral” yang sesuai ajaran Islami.

Seperti belakangan ini, HRS kerap menyerukan “revolusi akhlak” sebagai jawaban atas masalah kontemporer Indonesia. Padahal, sumber masalah saat ini bukanlah terkait moral atau akhlak seperti retorika HRS, melainkan masalah struktural: bagaimana elite ekonomi-politik (oligarki) membajak sistem politik Indonesia untuk menguras sumber daya alam dan uang negara. Artinya: oligarki adalah sumber masalahnya.

Abdil Mughis Mudhoffir dalam buku Oligarki: Teori dan Kritik (2020)—meminjam definisi Robinson dan Hadiz—mengartikan oligarki sebagai “sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektifnya”. Relasi kekuasaan yang dimaksud di sini ialah hubungan kerja sama antara politisi yang membutuhkan modal material dengan pengusaha yang memerlukan akses politik yang sama-sama bertujuan mengakumulasi dan mempertahankan modal serta kekuasaan.

Lewat relasi ini, prinsip demokrasi yang “satu orang, satu suara” berubah menjadi “satu dolar, satu suara”. Artinya: hanya mereka yang menguasai sumber kekayaan material yang bisa mempengaruhi kekuasaan politik baik langsung maupun tidak langsung.

Masalahnya dengan sistem seperti itu, para elite politik cenderung menjalankan kekuasaannya untuk kepentingan orang-orang tajir alias para kapitalis. Contoh nyata: disahkannya UU Minerba dan UU Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah. Padahal kedua UU itu sangat berpotensi memudahkan para taipan tambang dan investor asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan merampas hak-hak buruh. Singkatnya: demokrasi Indonesia juga akan mati di bawah oligarki.

Akhirnya, yang jadi pertanyaan sekarang: mau dibawa ke mana demokrasi kita? Rakyat Indonesia tentu tak bisa mengandalkan HRS sebagai satu-satunya wajah oposisi oligarki saat ini. Seperti yang dijelaskan di awal—jika dibiarkan dengan narasi populisme islamnya, HRS bersama FPI malah akan mengancam demokrasi Indonesia. Apalagi solusi yang ditawarkan tak membasmi akar masalahnya. Yang ada malah nantinya tercipta sistem lama gaya baru: oligarki berkalung sorban, misalnya.

Di saat seperti inilah gerakan politik progresif yang berdasarkan agenda redistribusi sumber daya ekonomi diperlukan. Sayangnya agenda seperti itu absen dari gerakan Reformasi 1998 yang saat itu hanya berdasarkan semangat liberalisme politik. Sehingga, walaupun Soeharto berhasil dilengserkan, tapi nyatanya para oligarki Orde Baru tetap dapat beradaptasi dengan tatanan politik demokratis seperti sekarang ini.

Masalahnya, pada Era Reformasi, belum ada mekanisme hukum serta institusi yang cukup kuat untuk menangkal relasi kekuasaan oligarki. Mungkin, ini sebabnya—sejak kasus cicak vs buaya pada 2009 lalu—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) coba terus dilemahkan, yang akhirnya berhasil lewat revisi UU KPK No. 19/2019.

Seharusnya, gerakan politik progresif yang berdasarkan agenda redistribusi sumber daya ekonomi hadir dari partai politik berbasis kelas. Sayangnya, gerakan partai politik seperti itu sudah mati suri sejak 1966. Dalam waktu dekat, rasanya mustahil untuk membangkitkannya kembali. Tak bisa dimungkiri, hantu-hantu komunisme yang terus direproduksi para penguasa terbukti sukses mengamankan sistem politik oligarki.

Dengan begitu—untuk saat ini, demokrasi Indonesia haruslah diselamatkan (kembali) oleh gerakan aksi massa mahasiswa dan ormas-ormas progresif. Hanya saja, redistribusi sumber daya ekonomi harus menjadi salah satu agenda utamanya.

Komentar Facebook Anda

Surya Dua Artha Simanjuntak

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4