Puluhan kilometer, di sana, ada yang bernyanyi tanpa didengar.
Jauh puluhan kilometer sana di bawah permukaan laut, ada makhluk yang disimbolkan sebagai epitom dari rasa keterasingan. Kehadirannya ada, secara general, spesiesnya hidup bersama dalam satu lingkungan dan berkelompok, tapi terkecuali untuk makhluk ini.
Rungunya berfungsi tapi tak ada yang membalas sautannya. Mulutnya mengeluarkan suara, berteriak, menggema, tapi tak ada yang membalas.
Seperti diasingkan, kesepian, sendu, begitulah saya mengelaborasi Whalien 52.
Puluhan tahun lalu di tahun 1989, seorang ilmuwan meneliti soal perkawinan paus bangkok dan paus biru di Samudra Pasifik, Dr. William Watkins dari Oceanographic Institution Woods Hole. Dalam penelitiannya mengikuti jejak perkumpulan paus bangkok dan paus biru yang sedang kawin, secara tidak sengaja mendengarkan suara merintih yang berbeda.
Tapi, sedihnya tidak ada yang menyaut sama sekali panggilannya. Lalu, apa sih yang buat paus ini digambarkan sebagai lambang keterasingan?
Diidentifikasi, paus ini mengeluarkan suara pada frekuensi 52 heartz (Hz). Dimana pada frekuensi ini, tidak ada kawananannya yang bisa mendengar suaranya. Dalam penelitian lain yang dilansir BBC UK, disebutkan bahwa normalnya paus biru berada di kisaran frekuensi 10 hingga 40 hz dan paus bongkok berada di standar frekuensi 20 hz. Dari situlah mereka menamai paus kesepian ini sebagai The Loneliest Whale 52, sebagai satu-satunya paus yang hanya bisa berkomunikasi di frekuensi 52 hz.
Pilunya, selama hidupnya, paus ini hidup menyendiri. Tidak diketahui secara pasti jumlah spesies Whalien 52. Namun, di tahun 1989 baru ditemukan satu suara dari makhluk bawah laut tersedih ini.
Seorang peneliti bernama Daher, dilansir dari The Washington Post 2017 lalu mengatakan “Sangat jelas, paus tersebut bisa makan dan berkeliling seperti pada umumnya. Apakah dia bereproduksi? Aku bahkan tidak bisa menjawabnya. Karena tidak ada seorang pun yang bisa menjawab pertanyaan itu. Apakah dia kesepian? Aku tidak suka harus menyinggung perasaan manusia seperti itu. Apakah dia kesepian? Aku bahkan tidak tau. Aku tidak mau menyinggung pembicaraan itu.”
Dalam rundungnya ke kawanannya yang tak pernah tersampaikan, para peneliti membuat mesin khusus untuk menerjemahkan suara Whalien 52 ini pada frekuensi yang bisa didengar oleh paus pada umumnya. Suara yang dikeluarkan oleh paus abnormal selama ini hanya dapat ditangkap oleh radio sonar kapal laut dan kapal selam yang sedang beroperasi.
Tidak ada yang tau pasti bagaimana bentuknya, bagaimana fisiknya, apakah seperti paus biru? Apakah terlihat seperti paus bangkok? Atau malah seperti paus pembunuh? Visualnya masih menjadi misteri bahkan hingga peradaban yang sudah sophisticated. Karena belum ada yang benar-benar melihat wujud penampakannya, semua hanya diidentifikasi dari nyanyiannya yang terdengar berbeda.
Hingga terbitnya banyak penelitian tentang Whalien 52, cukup menggores pilu di hati orang-orang yang tau tentang eksistensi paus terasingkan ini. Disimbolkan sebagai makhluk kesepian, orang-orang kerap menganalogikan perasaan sepi, berbeda, dan terpinggirkan dengan Whalien 52. Pun, sekarang banyak karya tulis dan musik yang menggunakan eksistensi paus ini dalam karya-karya mereka.
Jika, paus abnormal ini tidak bisa berkomunikasi karena perbedaan frekuensi suara dengan kawanannya, bagaimana spesies paus yang lain bisa mendengar? Dan bagaimana mereka bisa meresponnya? Apakah paus Whalien 52 ini berenang memutari Samudra Pasifik, mencoba bernyanyi di sepanjang jalan, berharap ada yang mendengarkan, menyukai nyanyiannya dan mendapat pujian, tapi kenyataannya sama sekali tidak ada yang tau bahwa paus itu ada disana dan bersenandung. Terlihat menyedihkan.
Paus ini… apakah dia kesepian?