Oleh: Arman Maulana Manurung
Judul | : Spotlihgt |
Sutradara | : Tom McCarthy |
Penulis skenario | : Tom McCarthy, Josh Singer |
Pemain | :Mark Ruffalo, Michael Keaton, Rachel McAdams, Liev Schreiber, John Slattery. |
Tahun | : 2015 |
Durasi | : 129 Menit |
Apa jadinya jika instansi tertua dan terpercaya di dunia–Gereja Katolik–dihantamkan dengan etika jurnalistik yang menjunjung tinggi kebebasan dan kebenaran publik? Inilah Spotlight yang menggugah iman.
Adaptasi kisah nyata investigasi jurnalistik ini memang tak terkesan glamor. Sebaliknya, malah terkesan menyebalkan dengan tema sensitif–mungkin juga provokatif. Kisah ini sepenuhnya disajikan melalui sudut pandang Spotlight. Sebuah tim elit dari koran The Boston Globe yang biasa melakukan investigasi mendalam pada isu-isu sosial di Amerika Serikat.
Pada menit-menit awal film, kita langsung disajikan alur yang intens. Cukup sulit memahami apa yang sedang terjadi, tokoh-tokoh berseliweran tanpa nama dan peran yang belum jelas. Pada menit-menit selanjutnya barulah mulai jelas dan teratur.
Cerita bermula saat Walter ‘Robby’ Robinson (Michael Keaton), editor yang memimpin tim Spotlight mendapat perintah untuk melakukan investigasi dari Marty Baron (Liev Schreiber), editor harian The Boston Globe. Isunya adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang pastor. Editor harian yang baru dipindahkan itu nampaknya cukup cerdik melihat potensi cakupan sebuah berita. Terang saja, isu yang awalnya kecil dari rubrik tulisan di kolom agama ternyata menyimpan masalah yang besar.
Tim Spotlight terdiri atas empat orang yaitu Mike Rezendes (Mark Ruffalo), Sacha Pfeifer (Rachel McAdams) dan Matt Carroll (Brian d’Arcy James) sebagai reporter. Ditambah dengan Robby sebagai pemimpinnya.
Tanpa merenggangkan alur, cerita berlanjut ke upaya penelusuran tim elit ini untuk mengungkap fakta dibalik pastor pedofil di Gereja-gereja Boston. Data awal mereka menunjukan adanya sekitar tiga belas pastor yang terjerat kasus ini. Kemudian bertambah, bahkan berkali-kali lipat. Investigasi mendalam dilanjutkan dengan mencari korban pelecehan.
Dari para korban, Tim Spotlight mendapati fakta tentang keterlibatan pihak gereja dengan pastor-pastornya yang berulah, semacam membiarkan hal itu terjadi tapi tetap menutupnya rapat-rapat. Membuat kasus ini menjadi semakin masif, sistematis, dan jahat.
Patut diacungi jempol bagaimana Sang Sutradara dapat menjaga tensi penonton walau disuguhkan fakta-fakta yang kontroversial. Terlebih lagi ada pemberitahuan ‘Base on Actual Event’ di awal pemutaran film, semakin membikin gerah. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi opini penonton.
Hal-hal yang dianggap tabu seperti ‘Apakah aku harus ke gereja lagi?’ pun sempat mencuat dalam salah satu dialog. Mungkin hal tersebut dimuat oleh sutradara untuk mengembangkan karakter–terutama untuk Mark Ruffalo. Boleh dibilang sedari awal tema film ini memang sensitif dengan fakta-fakta menjengkelkan, cukuplah untuk menimbulkan dilema moral di kalangan penonton.
Tapi yang menarik dalam film ini adalah bagaimana sikap pers yang nyinyir terhadap ketidakadilan di masyarakat.
Film ini secara apik menyuguhkan kemampuan dan peran pers dalam mengguncang lembaga besar sekelas Gereja Katolik. Idealisme pers yang sebenarnya tercermin dari Tim Spotlight yang dari awal menangani kasus ini. Dedikasi wartawan memang untuk mengungkapkan kebenaran kepada masyarakat. Peliputan yang memakan waktu berbulan-bulan dibayar dengan sebuah berita yang berdampak.
Spotlight menyajikan dari awal bagaimana berita diangkat ke publik. Mulai dari proses memilih berita yang akan diangkat–salah satu bentuk subjektivitas pers–, kemudian proses peliputan yang panjang sampai diterbitkan. Secara gamblang, Spotlight mengatakan kalau investigasi jurnalistik sangat menguras tenaga, pikiran dan waktu wartawan. Terkhusus untuk kasus seperti ini mungkin juga menggugah iman.
Para aktor secara keseluruhan juga sangat memuaskan dalam memperagakan etos kerja wartawan-wartawan ini. Ledakan emosi Mark Ruffalo menjelang akhir film membuat riak di alur cerita yang padat. Aksi terpelongo Rachel McAdams seusai memawancarai korban pelecehan juga tak boleh terlewatkan. Cara Sang Sutradara mengakhiri cerita juga apik tanpa meninggalkan asap kebakaran.
Film ini bukanlah satu-satunya film yang mengangkat tentang etos kerja dan dedikasi jurnalis. Jika diingat-ingat, 2009 lalu Kevin MacDonald dengan State of Play-nya sempat membuat film dengan nuansa yang sama— juga dibintangi oleh Rachel McAdams. Namun, State of Play memang fokus di konten politik yang menjadi topik utama film. Ihwal etika jurnalis, Spotlight memberikan porsi yang lebih dibanding State of Play.
Salah satu keberhasilan terbesar dalam film ini adalah menampilkan kemampuan pers dalam menegur kekuasaan. Tak peduli instansi agama atau pun pemerintah, jika karenanya masyarakat diperlakukan tidak adil, harus ada yang menghentikan. Pers yang loyalitasnya pada masyarakat harus mengabarkan kebenaran dan karena itulah pers ada. Memenangkan Oscar sebagai film terbaik 2016 tentunya menjadi penghargaan yang layak bagi film ini.