Oleh: Vanisof Kristin Manalu
Dia bukan orang kaya. Rumahnya terbuat dari bebatuan keras, sekeras batu precious stone. Dia juga tak pandai. Menghitung buah apel yang ada dalam satu keranjang saja susah minta ampun. Matanya melongo, kosong saat melihat tumpukan di sana-sini. Ia hanya berusaha mengumpulkan tanpa menghitungnya lagi.
Pernah suatu ketika ia menghitung telur itik yang akan dijualnya. Saat ia menerima uang hasil jualannya, ia bersungut-sungut sebab ia pikir uang yang ia terima tak sesuai dengan jumlah telur yang ia jual. Semua orang di sekitar tertawa karena ia lupa dengan jumlah telurnya. Akhirnya ia pulang dengan kesal.
Banyak orang yang memanggilnya. Saat di jalan, depan rumah, pasar, bahkan saat pesta perkawinan tetangganya. Namun ia tak pernah menanggapi semua itu. Berjalan tegap lurus, memalingkan wajah hanya ketika ia rasa ada persimpangan. Itu saja. Tak ada yang sadar jika ia punya sesuatu yang lebih dari mereka semua.
Malam ini dia ingin merasakan Angin saat tidur. Bukan berarti ia tak pernah merasakan Angin, namun ia sangat ingin dengan intim merasakan belaian lembut sang sahabat tak terlihatnya. Bercengkerama berdua dan saling berbagi cerita di antara kebisuan. Kemarin-kemarin ia sudah mendapatkan nasihat dari sahabat lamanya, Matahari. Ia selalu diderai dengan kata-kata yang menyengat hati. Terkadang sahabatnya si Angin kasihan juga melihatnya, untuk itu ia berusaha menyuruh awan menyembunyikan Matahari.
Ah.. dunia memang penuh rasa. Dia kerap dipandang manusia buangan. Hanya sebagai vektor pengganggu. Sungguh malu rasanya ketika orang yang ia cintai melihatnya seperti ini. Bukan ia yang minta. Bukan ia yang mau. Namun kehendaklah yang menjadikan semuanya seperti ini.
Mamak, dia tak punya. Dia tak tahu. Pun demikian bapak. Aneh. Tapi demikianlah keadaannya. Jika dipikirkan sekali lagi semua ini di luar batas pemikiran manusia. Mamak dan bapak, dia punya hanya sebutan saja.
Oh ya, sebab ia bersama Angin, ia tak takut lagi duduk di persimpangan jalan melihat lampu-lampu di kegelapan malam. Cantik menawan, tersimpan sejuta kenangan yang tak ingin ia ingat lagi. Ada seorang sahabatnya yang membungkusnya dengan erat. Masih Angin. Sesekali ia mengeluarkan senyuman yang hanya dia sendiri yang tahu apa arti senyuman itu.
Masa bodoh adalah sifatnya. Aku mau apa, kapan, di mana, itu terserah diriku! Hanya kalimat itu yang ada dalam pikirannya. Tak ada yang lebih berarti dari semua yang ada dalam otak kecilnya. “Mari masuk dalam dekapanku,” ujar sahabatnya usai satu jam ia hanya memandang kerlipan lampu. Rupanya hal itu saja sudah mampu memikat hati dan pikirannya. Sungguh sederhana sekali!
Lagi-lagi, dia merasa kurang lengkap. Dia ingin mengajak Angin berjalan-jalan sejenak. Namun Angin malah melarangnya. Sang Angin pun tak mengerti bagaimana ia akan menyampaikan hal ini. Sang Angin sudah tahu bahwa orang-orang akan aneh melihatnya dan berusaha menjahatinya.
Dia tetap berjalan menggandeng sang Angin. Sang Angin pasrah dan mengikuti kemauannya. Benar saja, belum beberapa menit keluar dari sarang, ocehan sana-sini bergelut saling menduluani. Lagi-lagi ia tak berpaling. Seakan telinganya ditutupi oleh headphone besar di mana sang idola sedang melantunkan lagu favoritnya.
Sang Angin hanya tersenyum menanggapi tingkah sahabatnya. Dari ujung kaki hingga rambut sudah sangat modis menurutnya. Diikat dengan berbagai gaya yang sedang trend. Pori-pori wajah dibalut dengan tata rias yang sangat tak biasa orang pakai. Aih.. campur sana, tempel sini hanya itu yang dia perbuat. Alhasil jadilah ia seperti sekarang ini. Ketika orang menatap padanya, tak lepaslah ia dari senyum sinis. Terkadang orang menyebutnya “sungguh memalukan”.
Sang Angin terkadang sedih melihat sahabatnya diperlakukan seperti tak manusia. Padahal ia dan mereka sama-sama ciptaan. Tiba-tiba, di sisi kanan jalan ada sebuah benda yang menarik perhatiannya. Seperti bling-bling, bisa jadi. Namun ini sungguh cantik luar biasa. Ia menyerobot sebelum orang lain melihat dan mengambil. Ketika itu terjadi, ia menangis tak karuan. Sang Angin hanya bisa menenangkan dengan penuh kasih.
Sebelumnya sang Angin tetap melerainya untuk tak bersikap ceroboh di tempat asing. Sebab di sana-sini tak ada yang ia kenal. Sama sekali tak kenal. Sayang sungguh sayang, seperti pepatah berkata nasi telah jadi bubur kacang ijo. Atau apalah. Si dia telah berlari duluan tanpa melihat sana-sini.
Brakk!
Dia telah mati. Si Gila mati! Tergambar raut wajah penyesalan yang tak berarti. Wajah-wajah miris yang memuakkan. Sang Angin yang turut menyaksikan kepergian sahabatnya hanya mematung tak berdaya. Udara saat itu seakan panas tak terpari. Sang hujan pun turut menangis tak dapat menahan rasa iba.
Rupa yang mirip keluar dari tubuh tersebut. Ia meninggalkan daging yang tak berharga lagi, meninggalkan segala keburukan dunia. Apa pun itu, sang Angin sahabatnya tetap menemani kepergiannya hingga ke ujung langit. Mereka saling menggenggam dan tak ada ingin untuk saling menyakiti. Sekarang ia bukan seperti dulu lagi.
Ia sudah dewasa, sudah tahu bagaimana bersikap. Itu yang selama ini tak ia dapat dalam dirinya. Berpaku dalam pikirannya sendiri. Masih sempat ia bertanya ke mana selama ini fungsi segumpal lemak yang terbungkus rapi dalam dalam cangkang keras tak ketolongan yang dibawa-bawa setiap hari ini. Mengapa ia tak sempat menggunakannya. Padahal banyak perubahan yang ia ingin tunjukkan pada dunia. Ia tak bodoh, hanya sebentar saja.
Mengapa tak ada yang mengerti. Aku tak mengganggu, hanya ingin punya teman saja! Awan dan Angin menemani kepergiannya.