Oleh: Tantry Ika Adriati
Jikalau engkau ingin aku “berubah”, aku tak berkeberatan. Hanya saja, janganlah sampai engkau minta aku “merubah” atau pun bersedia “dirubah”. Sungguh, aku tak mau jadi Rubah!
Saya sungguh tak bisa menerima, jika salah seorang teman saya tiba-tiba mengatakan kalimat ini di hadapan saya.
“Aku ingin kau merubah kebiasaan burukmu!”
Atau, “Kebiasaan burukmu harusnya sudah dirubah olehmu sejak lama.”
Pernahkah Anda mendengar kalimat itu ketika sedang berbicara dengan teman Anda? Beberapa orang yang sadar akan kejanggalan kalimat tersebut pasti merasa risi sendiri ketika mendengarnya.
Hal ini disebabkan pemenggalan yang benar pada kata tersebut ialah me-rubah dan di-rubah. Sehingga, jika diturunkan akan menjadi kata dasar rubah. Sementara beberapa orang yang tidak sadar akan menganggap makna kata tersebut ialah ubah.
Ini sebenarnya salah satu bentuk salah kaprah pelafalan kata ubah oleh masyarakat Indonesia.
Banyak orang secara tidak sengaja cenderung mengartikan kata “rubah” pada kata merubah dan dirubah menjadi bermakna ubah. Padahal, jelas-jelas menurut logika maknanya ialah rubah. Kesalahan ini disebut juga kesalahan leksikon. Kesalahan leksikon merupakan kesalahan pemakaian kata yang tidak atau kurang tepat. Pada kasus tadi kalimatnya tidak sesuai dengan kaidah pembentukan kata.
Rubah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti binatang jenis anjing, bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dsb. Sedangkan ubah dalam KBBI bermakna menjadi lain (berbeda) dari semula. Berbeda bukan?
Bentuk baku yang benar dalam bahasa Indonesia ialah diubah dan mengubah, bukannya “dirubah” dan “merubah”. Asal penggalan kata mengubah dan diubah adalah meng-ubah dan di-ubah. Sehingga kata dasarnya merupakan ubah.
Selain itu, tak ada prefiks mer- atau pun dir- dalam Ejaan Yang Disempurnakan, yang ada hanyalah prefiks meng-, di-, me-, ber-, pe-, di-, ter-, per-, se-, dan ke-.
Kata ubah sebenarnya sudah tercatat oleh Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) sebagai salah satu kata yang hampir selalu diucapkan salah di kalangan masyarakat Indonesia. Kata tersebut jelas “salah” menurut aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tetapi selalu muncul dan terucapkan dalam perkataan sehari-hari. Kata diubah dan mengubah hanya hidup secara tertulis dalam tulisan saja.
Seno Gumira Ajidarma, seorang wartawan Panajournal.com dalam kolom Bahasa Tempo berujar bahwa usaha pemusnahan kata dirubah dan merubah dari dunia lisan di bumi Indonesia tidak dapat dikatakan berhasil.
Hal ini karena kata merubah dan dirubah dianggap umum, biasa, dan benar. Tidak banyak yang memperdebatkan sebab dirasa tak ada yang salah. Selain itu, hampir semua orang langsung memaknai kata tersebut sebagai ubah.
Namun, jika kita lihat lagi secara seksama, ketika kita membuka kata Rubah pada KBBI, di bawah keterangan arti Rubah sebenarnya akan muncul tanda panah yang menuntun kita untuk menggunakan kata ubah. Hal ini membuktikan seringnya orang Indonesia menganggap dan menggunakan kata rubah sebagai ubah dalam konteks kalimat.
Terkait penggunaan kata rubah ini di Indonesia, Seno mengonfirmasi kepada Presiden Musang Lovers Indonesia Ray Chairudin untuk memastikan keberadaan binatang Rubah di Indonesia. Namun kenyataannya binatang Rubah tak ada di alam maupun budaya lisan Indonesia. Di dalam budaya tulis, rubah hanya muncul dalam dongeng terjemahan Eropa karya Aesop atau H C Andersen.
Inilah yang menyebabkan ketika masyarakat Indonesia mendengar kata merubah dan dirubah tidak ada sedikit pun gambaran seekor rubah muncul di benaknya.
Sebenarnya jika dikaitkan dengan alasan tersebut, tak ada salahnya jika masyarakat Indonesia menggunakan kata rubah pada konteks kalimat tertentu sebagai ubah. Hal ini lantaran binatang rubah tak ada di Indonesia. Namun tetap saja, seharusnya kita harus memperhatikan pembentukan kata ubah dengan menggunakan imbuhan yang benar.
Menjawab pertanyaan teman saya tadi, jika diberi kesempatan menjawabnya tentu saja saya ingin berubah (ber-ubah). Tapi tetap, saya tak mau diharuskan merubah atau dirubah dalam konteks kalimat teman saya itu. Alasannya sederhana; karena saya tak mau “dijadikan rubah” atau dirubah, dan “menjadi rubah” atau merubah seperti yang teman saya inginkan.
Jadi mulai sekarang kau harus jeli, apakah temanmu ingin engkau menjadi berbeda atau malah ingin kau menjadi rubah.