
Oleh: Sepania Margareta Hutabarat
Katanya konsumsi micin terlalu banyak bisa bikin bodoh, tapi benarkah?
Micin atau yang secara ilmiah dikenal dengan nama Monosodium glutamate (MSG), adalah bahan tambahan makanan yang sering digunakan untuk meningkatkan rasa gurih dalam hidangan.
Melansir dari dataindonesia.id, hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 oleh Kementerian Kesehatan, menunjukkan sebanyak 73,8% responden di Indonesia mengaku mengonsumsi penyedap rasa/micin lebih dari satu kali dalam sehari. Di balik kepraktisannya, micin sering dihubungkan dengan berbagai mitos. Paling sering dikatakan dapat membahayakan kesehatan, terkhusus pada kemampuan otak.
Mitos ini sangat melekat di masyarakat, hingga muncul istilah “generasi micin” bagi anak muda yang dianggap bodoh dan malas. Istilah ini merujuk pada anggapan bahwa generasi muda sekarang bertumbuh dengan konsumsi micin yang berlebihan. Dari mana munculnya kepercayaan ini? Apakah benar micin bisa bikin bodoh atau hanya mitos belaka? Berikut penjelasannya.
Asal-usul micin
Micin, pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Jepang bernama Kikunae Ikeda di tahun 1908. Pada awalnya, Ikeda menemukan rasa gurih atau yang disebut umami—rasa yang tidak termasuk kategori rasa dasar—seperti manis, asam, asin, ataupun pahit. Ia menemukan pada masakan istrinya, yaitu sup rumput laut kombu yang mengandung senyawa asam glutamat.
Ikeda kemudian mengisolasi asam glutamat dari rumput laut kombu dan melakukan beberapa percobaan. Setelah berhari-hari melalui penguapan, rumput laut tersebut kemudian ditambahkan natrium (sodium) hingga terbentuklah micin.
Ikeda kemudian mematenkan temuannya dan mendirikan perusahaan micin yang sangat populer yaitu, Ajinomoto pada tahun 1909. Penemuan ini kemudian dalam waktu singkat menjadi sangat populer dan menyebar ke seluruh dunia.
Awal berkembangnya mitos micin di masyarakat
Munculnya misinformasi tentang micin bikin bodoh sudah cukup lama beredar di masyarakat. Namun, dari mana asalnya mitos ini? Hal ini berawal dari laporan oleh Dr. Ho Man Kwok kepada New England Journal Of Medicine pada tahun 1968.
Laporan tersebut berisi keluhan dari Dr. Kwok akan gejala aneh yang dirasakannya tiap kali mengonsumsi makanan di restoran Cina. Ia menjelaskan gejala tersebut seperti jantung berdebar sangat kencang dan dia akan merasa lemah, serta mati rasa di leher.
Dr. Kwok pun mencari tahu sumber gejala aneh ini, dengan membuat daftar kemungkinan yang menjadi dalangnya. Dari semua daftar tersebut, awalnya ia menduga bahwa kecap asin merupakan penyebabnya, tetapi kemudian mengurungkannya. Sebab, ia juga memakai bahan yang sama di rumah dan tidak terjadi gejala apa pun.
Dr. Kwok lalu berasumsi bahwa penyebab gejala aneh yang dialaminya disebabkan oleh micin yang banyak digunakan di restoran cina. Laporan ini kemudian diterbitkan oleh New England Journal of Medicine, dan menjadi sangat ramai dibicarakan oleh masyarakat.
Akibatnya, muncul istilah “Chinese Restaurant Syndrome”, yang merujuk untuk orang yang mengalami gejala seperti pusing, berkeringat, mati rasa di leher, jantung berdebar, setelah mengonsumsi makanan yang mengandung micin di restoran Cina.
Sejak saat itu, citra dari micin menjadi negatif di masyarakat. Stigma buruk ini tidak hanya berlaku pada micin, tetapi juga pada restoran Cina. Hal itu membuat banyak restoran Cina tidak lagi menggunakan micin dalam hidangannya.
Bagaimana fakta ilmiah menjelaskan hal tersebut?
Stigma buruk tentang micin ini masih beredar selama bertahun-tahun, walaupun sudah banyak penelitian membantah klaim tersebut. Banyak penelitian ilmiah yang telah dilakukan untuk menilai kebenaran konsumsi micin bisa berdampak negatif bagi otak atau kesehatan manusia.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Anals of Nutrition and Metabolism, menunjukkan bahwa konsumsi micin dalam dosis normal tidak menyebabkan peningkatan kadar glutamat secara signifikan di darah, apalagi di otak. Hal ini karena adanya blood-brain atau penghalang aktif yang menyaring zat dari aliran darah, agar tidak masuk ke jaringan otak. Dengan kata lain, glutamat dari makanan tidak serta-merta bisa menumpuk dan menyebabkan gangguan kognitif di otak.
Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat, mengkategorikan micin sebagai “Generally Recognized as Safe (GRAS)”, yang artinya aman digunakan pada makanan, selama tidak dikonsumsi secara berlebihan. Selain itu, micin merupakan salah satu asam amino yang juga secara alami diproduksi oleh tubuh manusia. Terdapat pula di beberapa makanan sehari-hari, seperti tomat, keju parmesan, jamur, bahkan Air Susu Ibu (ASI).
Dari sudut pandang ilmiah, konsumsi micin dalam batas wajar tidak berbahaya bagi kesehatan ataupun bisa menyebabkan kebodohan. Seperti halnya bahan makanan lain, yang terpenting adalah jumlah takaran yang dikonsumsi.
Jadi, mitos micin bikin bodoh telah dibantah dengan fakta ilmiah. MSG bukanlah penyebab utama kerusakan otak. Mengonsumsi micin secara berlebih, sama halnya dengan kelebihan konsumsi gula, lemak, ataupun garam. Tentu sangat tidak disarankan karena akan berdampak buruk pada kesehatan.



