Oleh: Reza Anggi Riziqo
“Dengan adanya SATGAS PPKS sangat diharapkan mahasiswa, dosen, tendik, dan seluruh warga kampus untuk dapat menyuarakan kebenaran.”
Begitulah sepenggal kalimat yang tertuang pada caption unggahan Instagram Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SATGAS PPKS) Universitas Sumatera Utara (USU) per 11 Februari 2023. Harapan begitu besar terpancar dari berbagai pihak agar Kampus USU dapat menjadi tempat aman yang terbebas dari berbagai bentuk pelecehan seksual.
Pelecehan seksual merupakan permasalahan serius yang harus diperhatikan berbagai pihak. Bentuk pelecehan seksual baik secara fisik maupun verbal akan sungguh berdampak bagi siapa pun korbannya. Tak memandang gender, agama, ras, dan ragam kategorisasi “manusia” lainnya. Tindak pelecehan seksual akan terus mengintai dan menjadi momok mengerikan yang siap mengintai siapa saja.
Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi adalah pendorong kuat terbentuknya SATGAS PPKS USU.
Namun disayangkan, USU terlihat lamban dan terkesan “ogah-ogahan” dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual itu sendiri, meskipun SATGAS PPKS sudah terbentuk.
Pembentukan SATGAS PPKS pun terlihat tidak niat. Jalan panjang pembentukan personel diwarnai beragam tanda tanya. Mulai dari formulir data diri calon Panitia Seleksi (Pansel) yang tidak substansial dengan mempertanyakan warna kulit dan cacat tubuh, kesamaan bentuk soal antara seleksi Pansel dan soal dalam seleksi personel SATGAS, serta tidak adanya tahap wawancara pada seleksi personel.
Pertor yang Tak Kunjung Turun
Rektorat USU selaku pemangku kuasa di lingkungan “Kampus Hijau” telah menerbitkan Surat Keputusan Rektor No. 2132/UN.1.R/SK/SDM/2022 tentang penetapan personel SATGAS PPKS.
Memang, itu merupakan pertanda baik yang menjadi simbol bahwasannya Kampus Hijau sejalan dengan Kemendikbudristek. Menerapkan sikap preventif terhadap dampak yang dapat ditimbulkan oleh tindak pelecehan seksual di lingkungan kampus.
Akan tetapi sebuah anomali muncul ketika Rektorat hanya menerbitkan SK penetapan personel SATGAS saja tanpa diiringi oleh Peraturan Rektor (Pertor) Turunan dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 itu sendiri.
Untuk apa jika hanya ada SK saja? Apa landasan SATGAS PPKS dalam menjalankan tugas-tugasnya? Jika hanya berpedoman pada Permendikbudristek No. 30, itu menandakan ketidakseriusan USU dalam pencegahan dan penanganan tindak pelecehan seksual.
Padahal, dalam Pasal 2 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 disebutkan bahwa peraturan tersebut diundangkan sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk “menyusun kebijakan” dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus.
Sekali lagi, bagaimana bisa SATGAS PPKS USU hanya berpedoman pada Permendikbudristek No. 30 tanpa aturan turunan yang lebih mengikat berupa Pertor turunan?
Sekarang, kita alihkan dahulu sorot mata kita ke Universitas Indonesia (UI). Rektorat UI dalam Pertor UI No. 91 Tahun 2022 telah menerbitkan landasan mengikat bagi tim SATGAS PPKS UI. Hal itu dilakukan agar SATGAS PPKS UI dapat menjalankan tugasnya sebagai pencegah dan penangan tindak pelecehan seksual di lingkungan kampus UI dengan baik.
Pertor mereka begitu tegas mengatur dan sangat membantu SATGAS PPKS. Misalnya, dengan jelas mereka membagi bentuk kekerasan seksual dalam 25 jenis, padahal dalam Permendikbudristek sendiri hanya ada 21 jenis saja.
Ada penambahan 4 jenis kekerasan seksual dalam Pertor UI tersebut. Itu berarti mereka aktif mengevaluasi dan sangat peduli terhadap isu pelecehan seksual.
Jika Pertor UI menambahkan 4 jenis bentuk kekerasan seksual baru, saya rasa Pertor USU yang saat ini sedang disusun kayaknya, memuat puluhan hingga ratusan jenis kategori bentuk kekerasan seksual baru.
Maka dari itu, Pertor di Kampus Awak tak kunjung terbit. Tim perumus mungkin belum final dalam menentukan landasan, masih ingin hasil yang lebih mendetail dan maksimal. Atau sebenarnya Pertor sudah jadi, tapi belum dicetak, mungkin karena tinta printer rektorat habis. Entahlah.
Pemikiran Kolot
Dalam sosialisasinya ke fakultas-fakultas di USU pada 7 hingga 8 Februari 2023, SATGAS PPKS menemukan suatu “miskonsepsi” terkait isu pelecehan seksual. Miskonsepsi tersebut berupa pemikiran patriarkis yang menyebutkan gaya busana perempuan tertentu sebagai pemancing nafsu pelaku pelecehan seksual.
Nahas, miskonsepsi itu malah lahir dari perspektif beberapa dosen dan tenaga pendidik.
Seharusnya pemikiran kolot yang mendiskreditkan kelompok perempuan seperti itu tak patut berkeliaran di lingkungan universitas, apalagi dilontarkan oleh mereka para pengajar yang terhormat.
Peggy Reeves Sanday, Antropolog dari University of Pennsylvania dalam bukunya yang berjudul Fraternity Gang Rape: Sex, Brotherhood and Privilege on Campus menyebutkan nilai-nilai yang harus ada pada “Revolusi Seksual Baru”. Nilai tersebut yaitu: pengetahuan, kontrol, pilihan, persetujuan, komunikasi, dan pengawasan.
Revolusi seksual baru yang dimaksud oleh Sanday merupakan kondisi di mana wacana anti pelecehan seksual didasari oleh kesadaran akan kesetaraan seksual antara perempuan dan laki-laki.
Miskonsepsi tentang “menyalahi gaya berbusana perempuan” sebagai pemicu nafsu pelaku pelecehan seksual dan telah berpenetrasi pada gaya berpikir beberapa dosen serta tenaga pendidik di USU, bertentangan dengan konsep revolusi seksual baru. Pemikiran tersebut juga telah melecehkan nilai “pengetahuan” yang disebutkan oleh Sanday.
Dalam bukunya, Sanday pun mengatakan “Pengetahuan berarti memahami akar budaya, sosial, dan individu dari nafsu seksual manusia.”
Perspektif dosen dan tenaga pendidik yang bias dalam memandang akar permasalahan dari pelecehan seksual, menjadi bukti nyata jika USU gagal menjadikan kampusnya sebagai gudang “pengetahuan”.
USU Belum Siap!
“Dengan membina hubungan komunikasi, cinta, dan rasa hormat kita dapat mengambil langkah besar dalam perjuangan untuk mengakhiri kekerasan seksual,” Sepenggal misi dalam konferensi anti pelecehan seksual di kampus University of Wisconsin, Amerika Serikat pada tahun 1999 yang ditulis oleh Sanday.
Konferensi serta kampanye-kampanye anti pelecehan seksual di lingkungan kampus pada tahun-tahun tersebut memang sedang gencar dilakukan di Amerika Serikat. Meskipun kampanye tersebut dilakukan puluhan tahun silam di lain benua, tetapi misi yang disuarakan saat itu selaras dengan harapan kita masa kini. Harapan akan terwujudnya kehidupan kampus yang manusiawi dan bebas dari tindak pelecehan seksual.
Jika dibandingkan dengan penggalan kalimat misi dalam kampanye tersebut, kita dapat memahami bahwasannya ragam kisah dan langkah yang telah dilakukan USU dalam upayanya memberantas pelecehan seksual itu ibarat jauh panggang dari api.
Misalnya, komunikasi yang dilakukan USU dalam mensosialisasikan fungsi dan peranan SATGAS PPKS kepada publik masih nampak begitu pasif. Sosialisasi ke fakultas-fakultas pun baru dilakukan belakangan hari ini.
Bagaimana nilai “kontrol dan pengawasan” dalam revolusi seksual baru dapat dijalankan, jika USU pun ogah-ogahan membuat peraturan turunan yang mengikat terkait pelecehan seksual di kampusnya sendiri.
Apalagi perspektif patriarkis pada beberapa dosen dan tenaga pendidik yang semakin memojokkan kaum hawa sebagai kelompok yang rentan menjadi korban.
Jika alurnya begini saja, tidak ada perkembangan dan tindak serius dari pemangku kuasa di Kampus Hijau, jangan harap USU dapat menjadi rumah aman dari tindak pelecehan seksual.
Siapkan saja baju tertutup mu sebelum berkuliah disini agar kamu tidak dilecehi para predator seksual.