Oleh : Adli Dzil Ikram
Aku mendapat pesan singkat dari perempuan yang tak pernah aku kenali. Pada malam ketika ada bulan yang bulat dan terang di langit. Ia datang dengan kabar gembira, baginya. Dan membuat perasaanku campur aduk. Aku terkejut dan berniat untuk mengabaikannya. Namun, tak ada alasan bagiku untuk tak membalasnya. Pesan permintaan bala bantuan. Bunyinya begini: halo, apa kabar amir? lusa, maukah kau datang ke rumahku, memotret acara lamaranku? Beberapa detik setelah aku membacanya, pesan lain masuk: tolong jangan beritahukan siapa-siapa ya.
Terlihat ia mengenaliku, kami seperti pernah bertemu, dan sedikit akrab bukan? Tapi, aku benar-benar tidak mengenalinya.
Namanya Sukma. Pertemuan kami pertama kali di dermaga tua di ujung barat Banda Aceh, saat pagi masih sejuk. Ia sebagai orang baru dalam perjalanan kali ini. Kami akan melakukan perjalanan dengan perahu nelayan ke Pulau Bunta. Di sela-sela menunggu perahu datang, kami semua berkenalan dengannya. Ia melapisi tangannya dengan jelbab panjang yang ia kenakan. Matanya indah. Harum tubuhnya membangunkanku dari kantuk. Aku yakin ia cantik, dari kulit tangannya yang putih terlihat saat kami bersalaman tadi.
Tapi, aku tak bisa mengenali wajahnya. Ia menutupnya dengan cadar. Setelah pulang dari Pulau Bunta, aku sempat beberapa kali bertemu dengannya. Secara sengaja atau tidak. Kesengajaan itu karena pekerjaanku sebagai jurnalis di salah satu majalah travelling. Di waktu yang lain, kami bertemu lagi dengan sangat buruk. Itu di sebuah festival kuliner tahunan. Ia sempat mondar-mandir di hadapanku dan aku sibuk dengan kameraku dan makanan yang telah dihias. Sukma berjalan ke arahku. Ia menepuk pundakku sembari berkata, “hey sombong!”
“Maaf!” kataku sambil terheran-heran.
“Sombong kali kau!” katanya dengan nada sedikit menekan.
“Oh, Sukma!”
Ah! Bahkan aku tidak bisa mengenali gerak-gerik tubuhnya. Kami bernostalgia di tengah-tengah keramaian dengan sangat buruk. Ia memintaku untuk memotretnya dan temannya. Sebelum kami berpisah dari sana, ia memintaku untuk mengirim hasil potret itu jika aku pulang ke rumah nanti. Tapi, aku lupa mengirimnya dan dia tidak pernah memintanya lagi setelah itu. Lewat pesan atau telpon.
Dan pada siang yang terik ini, aku berdiri di halaman rumahnya. Bercat coklat muda, berlantai dua. Atapnya plama berwarna merah. Puluhan orang berdiri dengan acak di sana. Kursi-kursi disusun rapi. Aroma kuah kari kambing tercium dari sisi kanan rumah ini. Tidak ada orang yang aku kenali. Semua orang melirik ke atasku. Aku mencari-cari Sukma. Kulihat seorang perempuan bercadar berjalan dari pintu samping. Sukma, panggilku. Perempuan itu kaget dan hanya menatapku. Oh, Sukma di dalam, sebentar saya panggilkan, katanya. Aku melihat ke sekitar. Orang-orang sibuk. Seorang lelaki tua menyapaku. Kami berbicara hal-hal remeh. Dua menit kemudian Sukma datang dengan gaun putih yang mewah. Jelbab dan cadar berwarna merah jambu. Ia berterimakasih padaku karena sudah datang dan menunjukan ruang pertemuan dua keluarga, untuk melamarnya. Di sayap kanan ruangan, dindingnya dihiasi bunga-bunga dan dedaunan palsu. Lampu dengan cahaya warna putih, membikin ruangan ini terlihat mewah.
Tak lama setelah itu, tamu yang ditunggu datang. Aku menebak-menebak yang mana si lelaki itu, yang membuat perasaanku campur aduk begini. Mungkin yang pakai peci dan baju koko itu, pikirku. Para tamu itu duduk bersilang di bawah ambal merah. Acara dimulai. Aku hanya bisa senyum tipis. Hatiku ngilu tapi kuat.
Perahu berukuran sedang bergerak dari dermaga tua itu dan sembilan orang di dalamnnya mengeluarkan kegembiraan dari wajah mereka. Kecuali, wajah pak Taufik nahkoda perahu yang sejak tadi datar. Kami sering menyewa perahunya jika hendak pergi ke pulau. Kami adalah sekelompok orang yang suka mengasingkan diri saat hari libur. Jumlahnya tak menentu. Kali ini, ada Sukma sebagai orang baru. Khalil yang mengajak Sukma. Khalil, boleh dibilang ketua dalam kelompok ini. Aku tidak tahu bagaimana Khalil bertemu dengannya. Mentari perlahan mulai menyengat kulit.
Sukma duduk di bagian depan perahu, di pinggir. Bersampingan dengan dua perempuan lain dalam perjalanan ini. Matanya tertutup kacamata hitam. Ia berpakain serba hitam. Cadar yang menutupi wajahnya juga berwarna hitam. Sukma mengulurkan tangan putihnya ke air laut. Memainkan buih air yang pecah karena mesin perahu. Ombak masih tenang ketika perahu meninggalkan jembatan Ule Lhe. Dua puluh menit kemudian, gelombang air laut tiba-tiba besar. Bagian depan perahu mengikuti alur ombak. Jauh di sebelah kiri perahu, ada dua arus air yang saling berlawanan. Pecah. Di apit satu batu besar dan sebuah pulau yang tak berpenghuni.
Perahu melewati arus itu. Kini di kiri kami tebing dari pulau tak berpenghuni itu. Pak Taufik, agak meminggirkan perahu ke pulau itu. Ombak semakin ganas. Perahu diayunkan ombak dan plak. Air membasahi siapa saja yang duduk di bagian depan. Aku kebutulan duduk berseblahan dengan pak Taufiq. Sukma pindah kebelakang, ia duduk berhadap-hadapan dengan pak Taufik. Ketika Sukma mengeluarkan isi tasnya, perahu mengayun mengikuti gelombang besar, satu gelombang lain menyusul dan plak. Semua orang dalam perahu basah.
“Alam menyambut kawan baru kita,” ucap Khalil sembari tertawa,”bisa berenang kan, Sukma?”
Aku menatap Sukma dan berkhayal dalam pikiran. Siapa perempuan di balik cadar itu? Ia mengubah persepsiku tentang perempuan bercadar yang selama ini pernah aku temui. Dari situlah, aku terangsang untuk menceritakan Sukma.
Sudah hampir satu jam kami di tengah laut. Pulau yang kami tuju sudah terlihat mata. Tapi, ombak membuat itu terasa jauh. Matahari mulai panas, bagian kanan wajahku terasa panas. Perlahan-lahan, pada akhirnya kami tiba. Perahu merapat ke dermaga. Aku terus memerhatikan Sukma, berharap cadar itu terbuka, saat dia melompat ke dermaga atau tak sengaja terlepas. Pikiranku jadi kacau. Aku benar-benar penasaran bagaimana lekuk wajahnya?
Kami disambut kesunyian ketika perahu pak Taufik meninggalkan pulau. Besok ia akan menjemput kami, saat senja begitu bagus dinikmati dari pulau ini. Khalil, pelawak jempolan di tongkorgan. Jadi kesunyian bisa di atasi olehnya dengan baik. Pulau Bunta memang pulau sunyi, ia hanya dihuni empat puluh empat Kartu Keluarga. Menurut, Khalil yang sudah sering kemari, “kadang mereka jarang balik kemari, jika sudah di kota.”
Saat matahari, sudah di atas kepala, seorang lelaki tua berperut buncit datang menyapa kami. Ia salah satu tetua di sini. Setelah berbasa-basi, kami berjalan menuju ujung pulau ini. Di sana ada tower navigasi untuk kapal, begitu yang kudengar dari lelaki itu. Sukma berjalan di belakangku. Aku memperkecil langkah. Kuambil kamera dari tas dan memotret pemandangan.
Kini jalan stapak itu mulai sedikit menanjak. Sukma tertatih berjalan. Barang-barangnya dibawa Khalil. Tangannya sekali-kali harus menmengang roknya yang begitu lebar, menghindarinya dari becek. Aku beridiri cukup lama di bawah pohon kelapa. Menunggu Sukma. Mengajaknya bicara. Tapi, ia yang duluan menyapa.
“Punya air?” tanyanya
Kuserahkan botol sedang berisi air sentengah. “Mau duduk dulu?” tanyaku. Tanpa menjawab apapun, ia duduk di atas gundukan dekat pohon kelapa tadi. Aku ikutan. Aku mengintip wajahnya, saat ia menyibak cadar untuk minum. Ia tidak mengizinkan bulatan botol menyentuh bibirnya. Kurang jelas. Ia menyibak lagi. Hidungnya pesek dan bibirnya seksi. Tapi aku kurang yakin. Ia menyibak lagi. Oh, ternyata mancung. Aku sangat yakin kini. Itu terlihat jelas dari cadar yang mencak di hidung mancung itu, agak menonjol, tidak rata. Sukma menyerahkan botol itu. Kita tunggu kawan-kawan di belakang dulu, kataku, baru kita lanjut lagi. Sukma mengiyakan.
“Aku berniat untuk menceritakan kisahmu. Kau tau aku jurnalis, kan?”
Ia mengangguk. “Kisah yang bagaimana?” tanyanya. Di balik cadar itu ia tersenyum dan tertawa tipis. Tapi sayang, aku tak bisa melihatnya, hanya mendengarnya.
“Kau mengubah persepsiku tentang perempuan bercadar. Dengan pakaian yang seperti itu, kau suka jalan-jalan jauh, kau pasti sering mengalami kisah-kisah sedih.”
“Hahaha,” ia tertawa keras, “tidak juga. Hmm… ya sekali- dua kali pasti ada.”
“Sekali-dua kali itu yang akan kuceritakan, berserta perjalanan ini,” kataku, “emang sesering apa kau travelling?”
“Cukup sering. Aku punya blog, kau boleh membacanya.”
“Nanti akan kubaca. Mungkin selama di pulau ini aku akan memotretmu. Semoga kau tidak risih. Dan sepulang dari sini, ayo kita lakukan wawancara. Kau mau?”
“Kenapa tidak di sini saja?”
Suara desahan dan tapak kaki terdengar dari tempat kami duduk. Itu teman-teman yang tadi kami tunggu. Aku bangkit. Sukma juga. Kami berjalan lagi. Hari sudah siang .
Selama dua hari satu malam di pulau, aku tidak berhasil mengenali wajah Sukma. Aku cukup sering mengintipnya, ketika makan siang dan malam, kami ngobrol panjang sorenya. Ia bercerita panjang. Sepertinya ia kesepian dalam waktu yang lama.
Dua bulan setelah perjalanan ke Pulau Bunta, kisah tentang Sukma tak pernah terpublikasi. Editorku tidak tertarik dengan kisahnya. Namun, kami jadi lebih dekat setelah itu. Kami sempat bertemu di sebuah coffee, di pusat kota Banda Aceh. Saat itu, ia mengatakan akan melakukan perjalanan ke Lombok. Aku sudah lima kali ke sana, katanya. Aku belum sama sekali, kataku. Ia menyarankan agar aku ikut dan bisa menulis kisahnya selama di sana. “Ceritamu akan sangat lengkap! Ayolah!” Tapi, semua itu sirna. Aku menyesal telah meminta hal yang konyol padanya. Aku menyesal telah mengangap remeh jawabannya.
“Bolehkah aku mengetahui seperti apa lekuk wajahmu?” tanyaku pelan.
Aku jadi tengang, meskipun musik yang diputar di coffee itu cukup santai. Sukma cukup lama terdiam. Ia menatap gelas dan memainkan pipet hitam. Mengangkat dan menurunkannya. Cadarnya agak melebar. Sepertinya ia akan bersuara. Namun, aku duluan mengangkat suaraku. Maaf, tapi aku sudah lama penasaran, kataku.
“Kau harus menikahiku!” suaranya tegas. Aku tersenyum tipis, lalu tawaku pecah. Aku terdiam saat melihat matanya yang serius. “Kau sama saja, seperti orang-orang yang membuat kesedihan dalam perjalananku!”
Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya, sejak kejadian di coffee, sejak aku memotret hari tunangannya. Ia tidak pernah mengabariku lagi. Bahkan ia tak mengundangku ke pernikahannya. Aku tidak tahu, apakah dia marah padaku? Lalu, mengapa ia menghubugiku saat tunangan? Mungkin, hanya untuk memetahkan harapanku atau mengajariku cara mengenali wajahnya? Bertahun-tahun aku menympan pertanyaan itu dan tidak berani bertanya langsung padanya.
Sukma tak pernah lagi bercerita di blognya. Halaman itu sunyi. Aku jadi lupa, bahwa ia sudah bersuami. Ia tak sempat lagi jalan-jalan. Sayang sekali, pikirku. Hingga suatu hari, aku mendapati halaman itu terisi cerita baru; ia baru pulang dari Maroko. Aku langsung mengirimkannya email, mengajaknya bertemu. Lima menit kemudian, ia langsung membalasnya. Aku senang. Kami janjian di coffee itu lagi. Kulupakan masa lalu yang konyol dan akan menganggapnya sebagai teman.
Aku tiba lebih awal di sana. Memesan secangkir kopi dan kentang goring. Menyeruputnya dengang tengang. Perasaanku benar-benar berantakan. Kuharap aku bisa berkenala baik dengan suaminya. Beberapa menit kemudian, seorang perempuan berkulit putih, berhidung mancung, berkacamata, dan mengenakan: jelbab hitam, kemeja putih dan bercelana jeans, menghampiri mejaku. Ia duduk di hadapanku. Aku kaget dan terdiam. Perempuan ini benar-benar mempesona. Harumnya tak tertahankan. Aku terus menatapnya. Ia tersenyum. Melihat ke sekitar dan tersenyum lagi.
“Aku Sukma.” Kata perempuan itu.
Adli Dzil Ikram, penikmat sastra dari Banda Aceh. Ia sedang menyelesaikan studinya di prodi Arsitektur UIN Ar-Raniry.